Kasus By Ayu Puspita, Alarm Lemahnya Tata Kelola Industri Wedding Organizer
- Kasus dugaan penipuan dan penggelapan wedding organizer (WO) By Ayu Puspita membuka tabir praktik bisnis bermasalah yang diduga telah berlangsung bertahun-tahun.
Di balik janji pernikahan murah dan fasilitas mewah, polisi menemukan pola “gali lubang tutup lubang” yang menyerupai skema ponzi, dengan ratusan korban dan kerugian miliaran rupiah.
Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya mencatat, hingga kini terdapat 207 korban yang melapor, dengan total kerugian ditaksir mencapai Rp 11,5 miliar.
Korban bukan hanya calon pengantin, tetapi juga vendor pernikahan yang jasanya telah digunakan namun tidak pernah dibayar.
Dalam perkara ini, polisi menetapkan dua tersangka, yakni Ayu Puspita selaku pemilik WO dan Dimas Haryo sebagai pegawai.
Keduanya kini ditahan dan dijerat Pasal 378 KUHP tentang penipuan serta Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dengan ancaman maksimal empat tahun penjara.
Pola gali lubang tutup lubang berkedok paket murah
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Pol Iman Imanuddin menjelaskan, bisnis WO tersebut dijalankan dengan pola menyerupai skema Ponzi.
Uang dari pelanggan baru digunakan untuk menutup kewajiban kepada pelanggan lama.
“Memang di dalam menjalankan bisnisnya ini, tersangka menggunakan sistem gali lubang tutup lubang. Untuk menutupi kegiatan yang daftar lebih dahulu, digunakan dana dari pendaftar berikutnya,” ujar Iman dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Sabtu (13/12/2025).
Skema itu dijalankan dengan menawarkan paket pernikahan berharga murah untuk menarik konsumen dalam jumlah besar.
Paket tersebut kerap dilengkapi janji fasilitas tambahan, mulai dari venue megah, bonus dekorasi, hingga paket liburan dan honeymoon.
“Pertama yang ditawarkan adalah paket murah. Kemudian dari paket murah itu ada fasilitas lain, misalnya tempat pelaksanaan pernikahan yang fantastis. Lalu ada paket liburan, ke Bali misalnya, termasuk paket honeymoon,” kata Iman.
Korban bahkan dijanjikan keuntungan tambahan apabila melunasi pembayaran lebih awal.
Akibatnya, banyak calon pengantin menyetor uang muka besar, bahkan melunasi biaya jauh sebelum hari pernikahan.
Masalah muncul ketika arus pelanggan baru melambat.
Kewajiban terhadap konsumen lama tak lagi tertutup.
Acara pernikahan pun berantakan ketika katering tidak tersedia, vendor tidak hadir, dekorasi tak sesuai, hingga pernikahan yang gagal total pada hari pelaksanaan.
Dana pernikahan untuk hedonisme pribadi
Alih-alih digunakan untuk membiayai kebutuhan pernikahan, uang korban justru dipakai untuk kepentingan pribadi para tersangka.
“Motifnya ekonomi. Keuntungan yang diperoleh atas perbuatan para tersangka digunakan untuk kepentingan pribadi, baik itu untuk membayar cicilan rumah, kemudian untuk kegiatan jalan-jalan ke luar negeri, dan kepentingan pribadi lainnya,” ujar Iman.
Polisi masih mendalami tujuan perjalanan ke luar negeri tersebut.
Dari delapan laporan polisi yang telah diterima, salah satunya berasal dari vendor pernikahan yang tidak menerima pembayaran meski telah menjalankan kewajibannya.
“Vendor tersebut sudah melaksanakan kewajibannya, memenuhi permintaan atau order dari tersangka, namun tidak dilakukan pembayaran,” jelas Iman.
Kerugian korban bervariasi, mulai dari Rp 40 juta hingga Rp 60 juta per orang, tergantung paket dan besaran pembayaran awal.
Tak cukup pidana, kerugian konsumen harus diganti
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menilai, penanganan pidana saja tidak cukup untuk memulihkan kerugian korban.
Ketua Komisi Advokasi BPKN, Fitrah Bukhari, mendorong aparat penegak hukum menerapkan Pasal 63 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
“Kami mendorong penyidik dan penuntut umum untuk menggunakan Pasal 63 UUPK yang memungkinkan hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar ganti rugi kepada konsumen,” kata Fitrah kepada Kompas.com, Senin (15/12/2025).
“Dengan jumlah 207 korban dengan total kerugian mencapai Rp 11,5 miliar, maka kerugian yang terjadi nyata, terukur, dan masif. Pemulihan hak bukan pilihan, tetapi keharusan hukum,” ucapnya.
Pasal 63 UUPK membuka ruang bagi empat jenis pidana tambahan, yakni penarikan barang atau jasa dari peredaran, penghentian kegiatan tertentu, kewajiban membayar ganti rugi, serta pengumuman putusan hakim.
Namun, ketentuan ini selama ini jarang digunakan, padahal dinilai sangat relevan untuk kasus penipuan jasa seperti wedding organizer.
Konsumen pernikahan, kelompok rentan yang terabaikan
BPKN menilai, konsumen jasa pernikahan tergolong konsumen rentan.
Pernikahan adalah peristiwa bernilai tinggi, sarat emosi, dan umumnya hanya terjadi sekali seumur hidup.
“Dalam kondisi emosional tinggi, konsumen cenderung menurunkan kewaspadaan dan mempercayai pihak ketiga lebih dari biasanya. Di sinilah ruang eksploitasi melalui janji berlebih,” ujar Fitrah.
Selain faktor emosional, terdapat pula informasi asimetris antara konsumen dan pelaku usaha.
Konsumen umumnya tidak memahami detail teknis pernikahan mulai dari vendor, logistik, hingga kewajaran harga sehingga sulit menilai apakah kontrak dan skema pembayaran merugikan mereka.
Kerugian yang dialami pun bukan hanya materiil.
Banyak korban mengalami tekanan psikologis, rasa malu, hingga rusaknya martabat keluarga akibat acara sakral yang gagal total.
“Mereka seperti gelas kaca. Ketika retak, tak pernah benar-benar bisa kembali seperti semula,” kata Fitrah.
BPKN menilai kasus WO By Ayu Puspita hanyalah puncak gunung es dari lemahnya tata kelola industri wedding organizer di Indonesia.
Minimnya standar layanan, tidak adanya kontrak baku yang melindungi konsumen, serta lemahnya pengawasan membuat praktik curang mudah berulang.
Industri ini membutuhkan standardisasi nasional, termasuk mekanisme pembayaran aman, sertifikasi usaha, dan pengawasan yang lebih ketat.
Penegakan hukum yang tegas, termasuk penerapan pidana tambahan ganti rugi, dinilai penting untuk memberikan efek jera dan menjadi sinyal bagi pelaku usaha jasa event agar tidak melakukan over-promise dan pemasaran menyesatkan.
Saran untuk konsumen dan pemerintah
BPKN mengimbau calon pengantin untuk lebih waspada.
Konsumen diminta memastikan WO memiliki badan hukum dan kantor jelas, memeriksa rekam jejak, serta menuntut kontrak tertulis yang mengatur ruang lingkup layanan, termin pembayaran, mekanisme refund, dan penyelesaian sengketa.
Konsumen juga diminta curiga terhadap harga yang tidak masuk akal dan desakan pelunasan jauh sebelum hari acara sebagai indikasi awal skema Ponzi.
Sementara itu, pemerintah didorong segera melakukan pembenahan struktural melalui standardisasi perizinan, sertifikasi WO, edukasi konsumen, serta integrasi mekanisme pengaduan.
“Ini bukan sekadar dugaan penipuan. Ini alarm keras bahwa industri ini membutuhkan standar dan pengawasan yang lebih kuat. Hak konsumen adalah martabat warga negara, dan negara wajib menjaganya,” kata Fitrah.
Tag: #kasus #puspita #alarm #lemahnya #tata #kelola #industri #wedding #organizer