Perempuan di Balik Tenda-Tenda Krisis
DALAM beberapa waktu terakhir, bencana yang melanda Indonesia—dari Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara—kita seperti kembali diingatkan bahwa kehidupan manusia sungguh rapuh. Gempa yang mengguncang, banjir bandang yang datang tiba-tiba, tanah longsor yang merenggut rumah-rumah, semuanya seakan membuka kembali tirai yang menutupi ketimpangan sosial yang telah lama mengendap dalam kehidupan kita.
Kerusakan alam dan bencana alam memaksa kita menatap kenyataan yang pahit, namun juga menghadirkan ruang bagi solidaritas. Di tengah reruntuhan itu, masyarakat bergerak dengan solidaritas: donasi dibuka, relawan datang, pemerintah mengerahkan bantuan, dan bangsa ini kembali menunjukkan bahwa persaudaraan dan semangat gotong royong masih hidup di antara kita.
Namun, di balik gerak cepat dan keramaian solidaritas itu, terdapat sisi lain dari kemanusiaan yang masih tersembunyi—sunyi, tak banyak disebutkan, nyaris tak terlihat—yaitu kerentanan yang dialami perempuan.
Tenda-tenda pengungsian, yang seharusnya menjadi ruang aman, sering kali menjelma ruang dengan ancaman terselubung. Di sanalah persoalan kekerasan berbasis gender (KBG) muncul—notabene bukan karena bencana menciptakan kekerasan, tetapi karena bencana menyingkap ketimpangan yang telah lama bersemayam dalam kehidupan sosial.
UN Women mencatat bahwa setiap krisis kemanusiaan meningkatkan risiko KBG; UNFPA menegaskan bahwa dalam situasi bencana, hingga 70 persen perempuan dan anak perempuan berada dalam risiko mengalami kekerasan.
Di Indonesia, gambaran itu terlihat jelas. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan bahwa perempuan dan anak memiliki risiko menjadi korban bencana 14 kali lebih tinggi dibanding laki-laki dewasa.
Laporan Community Support Center (CSC) kepada UNFPA Indonesia menyebutkan bahwa selama respon tsunami Aceh, setidaknya 97 perempuan mengalami kekerasan berbasis gender. Setelah gempa Padang pada 2010, tercatat tiga kasus pemerkosaan di lokasi pengungsian. Komnas Perempuan juga mendokumentasikan empat laporan kekerasan seksual selama masa pengungsian akibat tsunami Aceh (KPPPA, 2020).
Di berbagai bencana lainnya, pelecehan, intimidasi, kawin paksa, hingga eksploitasi seksual muncul dalam senyap—sering kali tanpa tersorot publik. Dari sini tampak bahwa angka-angka itu sekadar pintu masuk ke kenyataan yang lebih sunyi. Ada ketakutan yang tak terucap, ada pengalaman yang memilih diam, ada luka yang tak tampak.
Sunyi semacam itu tidak muncul dalam statistik, tetapi justru mengungkap kedalaman persoalan yang dihadapi perempuan di tengah situasi darurat. Sunyi yang menegaskan bahwa di balik tenda-tenda krisis, terdapat pergulatan martabat manusia yang menuntut perhatian lebih dari sekadar hitungan korban dan kerusakan.
Bencana memperparah kerentanan perempuan bukan hanya karena situasi darurat, tetapi karena struktur sosial yang sejak sebelum bencana sudah timpang.
Ketika rumah runtuh dan ruang privat menghilang, perempuan yang sudah memiliki akses terbatas terhadap sumber daya, informasi, dan keputusan tiba-tiba masuk dalam lanskap baru yang lebih tidak pasti: ruang tidur bercampur bersama keluarga lain, Mandi Cuci Kakus (MCK) tanpa pembatas yang memadai, penerangan minim di malam hari, jalur evakuasi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan perempuan, ruang aman yang tidak tersedia, serta mekanisme pelaporan kekerasan yang tidak ada.
Studi di berbagai lokasi bencana, termasuk riset yang dilakukan UNFPA Indonesia pada 2019–2024, menunjukkan bahwa kekerasan paling banyak terjadi pada malam hari—di bagian tenda yang gelap, di sekitar toilet umum, di barisan pembagian logistik, dan dalam situasi ketika perempuan bergantung pada orang lain untuk akses makanan ataupun bantuan.
Pelecehan verbal, kekerasan fisik, pemaksaan seksual, intimidasi, dan kekerasan psikologis juga dapat muncul karena tenda-tenda darurat yang dibangun tanpa perspektif gender. Dalam kondisi demikian, perempuan hidup dalam ruang yang sama sekali tidak memberi jaminan keamanan.
Namun, seperti di banyak tragedi, angka-angka hanya menjadi pintu masuk bagi kenyataan yang jauh lebih dalam dan lebih sunyi. Di balik satu kasus kekerasan, ada perempuan yang harus tidur dalam kecemasan sepanjang malam. Di balik laporan “pelecehan di toilet umum”, ada seorang ibu yang menahan rasa takut setiap kali harus mandi.
Di balik data risiko "70 persen perempuan" ada gadis remaja yang tidak berani keluar tenda karena tatapan-tatapan asing yang membuatnya gemetar. Dan di balik setiap catatan Komnas Perempuan tentang “korban yang tidak melapor”, ada perempuan yang memilih bungkam karena ia tahu bahwa sistem tidak berpihak kepadanya. Itulah sunyi yang tidak pernah masuk dalam laporan resmi.
Dalam pergulatan moral ini, kita diingatkan pada kata-kata Simone de Beauvoir dalam The Second Sex (1949) bahwa perempuan sering diposisikan sebagai “yang kedua”—bukan karena mereka kurang penting, tetapi karena struktur sosial menempatkan mereka dalam posisi yang lebih rentan.
Dalam konteks bencana, posisi “kedua” itu berwujud dalam pelayanan kesehatan reproduksi yang tidak tersedia, pembagian logistik yang tidak merata, serta ruang-ruang pengungsian yang tidak dirancang untuk keamanan perempuan.
Sementara Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments (1759), menyebutkan bahwa inti dari empati atau moralitas adalah kemampuan menempatkan diri dalam penderitaan orang lain. Ketika kita membayangkan kecemasan seorang ibu di tenda yang gelap atau kegamangan seorang remaja yang takut pergi ke toilet, kita sesungguhnya sedang merawat empati sebagai dasar kemanusiaan.
Pun, Eleanor Roosevelt, ketika merumuskan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa “hak asasi manusia dimulai dari tempat kecil, dekat rumah.” Dalam bencana, tempat kecil itu adalah tenda-tenda pengungsian— ruang pertama tempat martabat manusia diuji kembali.
Karena itu, perhatian pada perempuan dalam situasi bencana bukanlah upaya mengurangi pentingnya bantuan fisik atau logistik—yang memang mutlak—melainkan bagian dari upaya merawat kehidupan secara utuh. Penanganan bencana yang bermartabat menuntut sekat ruang yang aman, penerangan memadai, pemisahan toilet dan tempat mandi, pelatihan relawan tentang KBG, mekanisme pelaporan yang aman, serta pelibatan perempuan dalam perencanaan respons.
Semua ini bukan tambahan teknis, melainkan inti dari kemanusiaan. Namun persoalan ini tidak hanya menyangkut empati personal; ia menyangkut struktur kebijakan yang dibangun secara kolektif. Banyak respons bencana—baik pemerintah maupun lembaga kemanusiaan—masih terjebak dalam paradigma “logistik dulu, perlindungan menyusul”. Padahal, tanpa perlindungan perempuan, bantuan logistik tidak pernah cukup.
Ketika tenda didirikan tanpa sekat yang memadai, ketika toilet tidak dipisah, ketika penerangan tidak dipasang, ketika relawan tidak dilatih menghadapi kasus kekerasan, dan ketika tidak ada tempat pelaporan yang aman, maka kita sebenarnya sedang membiarkan ancaman kekerasan tumbuh.
KBG dalam peristiwa bencana berpotensi menjadi “bencana dalam bencana”—tragedi kedua yang berlangsung ketika tragedi pertama belum selesai. Di sinilah pentingnya pendekatan responsif gender dalam penanganan bencana. Responsif gender bukan sekadar istilah teknokratis, melainkan keberpihakan sadar dalam setiap aktivitas kemanusiaan.
Ia menuntut kehadiran perempuan dalam pengurusan posko sebagai subjek pengambil keputusan. Ia meniscayakan pembagian hygiene kit yang mencakup pakaian dalam dan pembalut sebagai kebutuhan esensial. Ia mengharuskan jumlah toilet perempuan lebih banyak, pemisahan dan pengamanan fasilitas mandi, penyediaan bilik asmara bagi suami-istri, serta kehadiran pojok laktasi di posko pengungsian.
Lebih jauh, responsif gender menuntut kesiapsiagaan institusional. Panduan penanganan kekerasan berbasis gender harus tersedia sejak hari pertama bencana. Relawan perlu dibekali perspektif perlindungan, mekanisme pelaporan harus aman dan bebas stigma, serta layanan kesehatan reproduksi dan pendampingan psikososial harus menjadi bagian integral dari respons darurat.
Perlindungan bukan pekerjaan teknis semata; ia adalah tugas moral dan politik. Bencana mungkin tak dapat kita cegah. Namun kekerasan berbasis gender dapat—dan harus—dicegah. Ia bukan akibat gempa atau banjir, melainkan akibat ketidakadilan yang dibiarkan. Ia adalah cermin cara kita memandang perempuan.
Akhirnya, perempuan di balik tenda-tenda krisis mengingatkan kita bahwa tugas kemanusiaan bukan sekadar menyelamatkan tubuh, tetapi melindungi martabat. Solidaritas sosial adalah kekuatan besar bangsa ini, tetapi ia akan lebih bermakna jika disertai komitmen melindungi yang paling rentan.
Selama masih ada satu perempuan yang takut ke toilet karena gelap, satu remaja yang takut tidur karena tenda bercampur, dan satu ibu yang memilih diam karena stigma, maka tanggung jawab kemanusiaan kita belum selesai.
Bencana memanggil kita bukan hanya untuk membangun kembali yang hancur, tetapi untuk memperbaiki yang cacat dalam sistem sosial kita. Dan dari balik tenda-tenda krisis itu, perempuan mengingatkan kita bahwa kemanusiaan yang sejati adalah kemanusiaan yang melindungi yang paling rentan.
Tag: #perempuan #balik #tenda #tenda #krisis