Menanti Status Bencana Nasional Sumatera sampai Warga Ingin Ajukan Gugatan
- Busyro Muqoddas, mendesak Presiden Prabowo menetapkan status darurat kemanusiaan Sumatera dalam dua hari.
- YLBHI menyatakan bencana telah memenuhi lima indikator status bencana nasional sesuai undang-undang yang berlaku.
- Koalisi masyarakat sipil mengancam somasi susulan dan gugatan warga negara jika pemerintah tetap lamban merespons.
Jari-jemarinya menggerus dagu, menyetop sejenak kalimat yang sempat terucap. Tokoh Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, tampak menahan kesedihan mendalam.
Ia menyusun ulang kata demi kata, menyampaikan pesan emosional bagi saudara sebangsa yang kini menjadi korban bencana ekologis di Sumatera.
"Maaf," ujar Busyro mengawali kalimat penutup dalam konferensi pers daring yang digelar Posko Nasional untuk Sumatera, Jumat (12/12/2025).
Ia melanjutkan, "Sahabat-sahabat kami di tiga wilayah itu (Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat), Anda tidak mungkin sendirian, ya. Kami dengan setia akan mendampingi dengan kemampuan yang ada," kata Busyro memastikan solidaritas anak bangsa bagi para korban.
Pernyataan tersebut bukan sekadar simpati, melainkan ultimatum.
Busyro mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan status bencana nasional atas tragedi yang melanda Sumatera dua pekan terakhir. Tanpa basa-basi, ia memberikan tenggat waktu tegas.
"Segera dalam waktu dua hari ini paling lama itu menetapkan status darurat kemanusiaan untuk tiga wilayah itu," tegas Busyro.
Ultimatum ini tak hanya untuk Istana, tetapi juga dialamatkan ke Senayan.
Busyro meminta DPR tidak diam melihat penderitaan rakyat Sumatra.
"Mereka perwakilan rakyat, bukan perwakilan taipan-taipan dan sebagainya," imbuhnya.
Bagi Busyro, bencana yang telah menelan 990 korban jiwa dan 222 orang hilang per Kamis (11/12/2025) ini bukan bencana alam biasa.
Ia menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan, tragedi keadaban, serta runtuhnya etika moral kebangsaan.
Banjir bandang dan longsor yang membawa gelondongan kayu serta meluluhlantakkan permukiman, menurutnya, adalah buah dari kriminalisasi lingkungan, radikalisasi, hingga terorisme politik negara.
"Mengapa?" tanya Busyro retoris.
PerbesarKLH tidak mengenyampingkan potensi pidana terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga memperparah banjir Sumatera Utara. Foto: Masjid ambruk disapu banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). [Antara]Ia menegaskan kerusakan lingkungan di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah ulah kebijakan negara yang mengatasnamakan investasi, serupa dengan kasus di Rempang, Ternate, Morowali, hingga Pantai Indah Kapuk.
"Tragedi ini adalah produk dan praktik nyata hilirisasi dari apa yang tadi di atas saya sebut sebagai radikalisme politik, akibatnya terjadi terorisme politik. Korbannya adalah rakyat yang nyata-nyata seperti tadi digambarkan," paparnya.
Busyro menuding hulu dari malapetaka ini adalah proyek-proyek pemerintah, termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Yang dalam praktik menimbulkan 'proyek sengsara nasional' yang memiliki payung politik, yaitu Undang-Undang Cipta Kerja, Undang Undang Minerba, dan undang-undang lain yang terkait, termasuk Undang-Undang ITE yang justru sering digunakan aparat polri kita untuk menjerat aktivis-aktivis demokrasi dan HAM," kata Busyro tajam.
5 Indikator Darurat Nasional: Negara Harus Hadir
Desakan serupa datang dari Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Edy K. Wahid.
Mewakili koalisi masyarakat sipil, Edy menyebut YLBHI telah mendesak status bencana nasional sejak 1 Desember, namun pemerintah bergeming.
Menurut Edy, bencana Sumatra telah memenuhi lima indikator status bencana nasional sesuai UU No. 24 Tahun 2007 dan PP No. 21 Tahun 2008: jumlah korban masif, kerugian harta benda, dampak sosial ekonomi, kerusakan infrastruktur, dan luas wilayah terdampak.
"Masyarakat yang kehilangan nyawa bukan hanya karena terseret banjir dan longsor, tapi karena kelaparan, karena penyakit, karena kurangnya bantuan medis, dan bantuan logistik," ungkap Edy.
YLBHI menilai pemerintah lamban. Seharusnya penetapan status darurat dilakukan paling lama 14 hari pascabencana.
"Ini harus membutuhkan tindakan kebijakan yang segera, tidak untuk ditunda-tunda, bukan untuk dipikirkan dan ditimbang-timbang karena korbannya dan dampaknya sangat nyata," desaknya.
Edy mengingatkan negara harus menggunakan prinsip maximum available resources atau pengerahan sumber daya maksimal.
"Yaitu memaksimalkan seluruh sumber daya yang tersedia demi keselamatan rakyat karena kami sudah mengingatkan dari awal dalam situasi seperti ini, satu nyawa yang hilang itu adalah kelalaian dan tanggung jawab negara dan kami akan terus menuntut itu dan menggugat negara," kata Edy.
Kritik "Omon-omon" dan Politik Anggaran
Penetapan status bencana nasional melalui Keputusan Presiden (Keppres) dinilai krusial agar pertanggungjawaban negara jelas secara administratif dan konstitusional.
"Bukan hanya omon-omon karena negara ini bukan negara kerajaan, bukan negara monarki, bukan warung makan yang semua bisa diselesaikan dengan omon-omon. Harus ada tindakan yang akuntabilitas," sindir Edy.
Lebih jauh, Edy menyoroti kegagalan pemerintah mengelola politik anggaran. Dana siap pakai BNPB yang hanya sekitar Rp500 miliar hingga Rp2,5 triliun dinilai sangat jomplang dibandingkan kerugian bencana Sumatra yang ditaksir mencapai Rp50 triliun.
Ia mempertanyakan prioritas anggaran pemerintah yang royal pada proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Makan Bergizi Gratis (MBG), namun pelit untuk keselamatan warga.
"Itu dengan cepat dan secara semena-mena melakukan pemangkasan dan efisiensi di semua sektor yang notabenenya urgensi dan dampaknya masih bisa kita pertanyakan... Tapi soal keselamatan warga negara urgensinya jelas ada korban... kenapa tidak diambil langkah itu?" gugat Edy.
Senada dengan Edy, Busyro Muqoddas bahkan meminta Presiden Prabowo mengalihkan sementara anggaran Makan Bergizi Gratis untuk penanganan bencana.
"Syukur untuk selamanya, tapi untuk sementara ini darurat prioritas utama untuk tiga wilayah tersebut. Jadi MBG ini jangan sampai menjadi etalase dan permainan silat-silat politik," ujar Busyro.
Edy juga menyoroti ironi sikap pemerintah pusat. Dalam urusan perizinan tambang dan hutan, pemerintah pusat menarik semua kewenangan (sentralisasi) agar pajak dan royalti mengalir ke Jakarta.
"Daerah tidak mendapatkan apa-apa dari pengelolaan tadi... Tapi giliran urusan kemanusiaan seperti ini maka pemerintah pusat berlindung di balik otonomi kemandirian daerah. Ini pola pikir kebijakan macam apa?" kecam Edy.
Tak hanya itu, pemerintah juga dikritik karena menutup keran bantuan asing atas nama nasionalisme, sementara investasi asing dibuka lebar-lebar.
"Jika urusan kemanusiaan pemerintah malah ngomong soal nasionalisme. Ini menurutku cara berpikir penjajah," tegas Edy.
"Harusnya itu buang jauh-jauh nasionalisme dan harga diri. Ini adalah isu kemanusiaan, ini adalah isu kesemestaan."
Somasi hingga Ancaman Gugatan
Atas lambannya respons negara, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari 130 organisasi dan korban telah melayangkan somasi terbuka kepada Presiden Prabowo dua hari lalu. Dukungan publik terus mengalir.
"Dan tidak menutup kemungkinan ke depan kami akan melayangkan somasi susulan bahkan menaikkan pada level gugatan warga negara," ancam Edy.
Namun, ia menegaskan bahwa jalur hukum adalah opsi terakhir. Harapan utamanya tetap pada niat baik pemerintah.
"Yang kita harapkan itu adalah harusnya warga tanpa melakukan gugatan, Presiden Prabowo sudah punya political will, sudah punya niat untuk segera menetapkan status ini sebagai status bencana nasional tanpa harus masuk ke meja hijau," pungkasnya.
Tag: #menanti #status #bencana #nasional #sumatera #sampai #warga #ingin #ajukan #gugatan