Ajakan Koalisi Politik di Tengah Bencana Sumatera
DI TENGAH gemuruh politik yang tak pernah benar-benar tidur, suara Puan Maharani datang seperti refleksi bangsa untuk merenung: ada saat ketika percakapan tentang koalisi politik harus berhenti, sebab bangsa sedang duka dilanda bencana banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Ketika perempuan pertama yang menjadi Ketua DPR RI itu berucap pada pers bahwa: “urusan politik masih jauh”— ini bukan sekadar retorika, tapi seruan moral bahwa kekuasaan kehilangan maknanya ketika rakyat sedang berjuang bertahan hidup akibat bencana alam.
Dalam lanskap demokrasi yang semakin pragmatis, pernyataan itu memperkuat pula bahwa stabilitas sosial adalah fondasi bagi stabilitas politik; negara tidak dapat membangun legitimasi tanpa memastikan rasa aman warganya.
Ketika Puan menempatkan duka rakyat di atas wacana koalisi permanen, ia sesungguhnya menghidupkan kembali prinsip normatif yang kerap tergerus oleh ambisi elektoral: bahwa politik tidak boleh mendahului kemanusiaan.
Jelas ini kepekaan filosofis yang langka dalam arena politik hari ini—kesadaran bahwa kekuasaan hanya sah sejauh ia berpihak pada mereka yang paling rentan.
Dalam perspektif governance, sikap ini bukan romantisme, melainkan strategi moral untuk mempertahankan kepercayaan publik.
Namun, realitas kekuasaan bergerak dengan ritmenya sendiri. Ketika gagasan koalisi permanen muncul dari kubu lain, ia merepresentasikan kebutuhan struktural pemerintahan: stabilitas, dukungan legislatif, dan konsolidasi politik.
Ketika usulan itu disuarakan di tengah duka nasional, ia berubah menjadi simbol betapa sering politik berlari lebih cepat daripada denyut perasaan rakyat.
Di sinilah ketegangan itu mengeras—negara yang ingin stabil secara kelembagaan, tetapi berisiko kehilangan simpati moral jika gagal membaca konteks.
Politik yang mengabaikan luka masyarakat, ibarat bangunan megah tanpa pintu: berdiri kokoh, tetapi terputus dari mereka yang seharusnya dilindungi.
Meninggalkan ambisi politik
Sesungguhnya bahwa negara bisa dipahami sebagai entitas, yang harus mampu menanggalkan sementara ambisi-ambisi politiknya demi merawat luka rakyat ketika bencana menerpa.
Pandangan ini menempatkan “respons kolektif” sebagai prioritas mutlak sebelum elite kembali berbicara tentang koalisi, kontestasi, atau pun kalkulasi kekuasaan.
Dalam bingkai pemikiran tersebut, maka legitimasi lembaga politik tidak lahir dari retorika, melainkan dari kemampuan mereka hadir dalam situasi krisis.
Ketika ia menggeser wacana dari perekat koalisi menuju solidaritas nasional, ia sebenarnya sedang menata ulang panggung politik agar kembali berpijak pada manusia yang sedang ditimpa nasib buruk.
Sejumlah pengungsi antre bantuan sembako di Kelurahan Hutanabolon, Kecamatan Tukka,Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Senin (8/12/2025). Banyaknya akses terputus akibat bencana dan wilayah perbukitan menyebabkan pendistibusian bantuan untuk korban bencana belum merata.Di tengah meningkatnya bencana hidrometeorologis akibat perubahan iklim, kebencanaan kini bukan lagi peristiwa insidental, melainkan realitas struktural yang membentuk wajah pemerintahan modern.
Setiap kali banjir merendam desa-desa atau longsor mengubur kehidupan, negara diuji bukan hanya pada kemampuan teknisnya, tetapi pada sejauh mana pejabat publik selaras antara apa yang mereka ucapkan dan apa yang benar-benar mereka lakukan.
Maka di sinilah respons Puan mendapatkan kekuatan akademisnya: ia berkorespondensi dengan preskripsi bahwa fase tanggap darurat adalah ruang di mana politik elektoral harus merunduk, memberi tempat bagi kemanusiaan untuk memimpin langkah.
Refleksi itu menandai pula bahwa tata kelola pemerintahan yang baik bukan hanya soal aturan yang tertulis, tetapi juga kecakapan membaca suasana batin publik.
Ketika duka menyelimuti provinsi-provinsi di Sumatera, masyarakat tidak membutuhkan narasi tentang koalisi permanen atau kalkulasi kekuasaan—yang mereka perlukan adalah kepastian bahwa negara hadir dengan rasa dan tindakan.
Mengalihkan fokus dari politik ke penyelamatan bukan sekadar gestur simbolik, tetapi strategi untuk memperkuat kepercayaan publik, yang menjadi modal paling mahal dalam setiap rezim demokratis. Tanpa modal moral itu, apa pun struktur koalisi yang dibangun akan tetap rapuh.
Dalam kacamata filosofis, sikap menempatkan bencana di atas ambisi politik juga mencerminkan etika publik yang semakin langka di ruang demokrasi kontemporer.
Politik, dalam esensi terdalamnya, selalu dimaksudkan sebagai alat untuk merawat kehidupan bersama.
Ketika elite memilih untuk menunda pertarungan wacana demi mendahulukan pemulihan rakyat, mereka sesungguhnya sedang mengembalikan politik pada maknanya yang purba: sebagai upaya menjaga keharmonisan komunitas.
Sikap ini sejalan dengan nilai Pancasila, yang menempatkan kemanusiaan dan persatuan sebagai dua pilar utama bagi bergeraknya negara.
Koalisi Permanen
Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menyampaikan sambutan dalam peringatan puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Jakarta, Jumat (5/12/2025). Puncak HUT Partai Golkar tersebut mengusung tema Doa untuk Bangsa: Merajut Kebersamaan, Membangun Indonesia Maju. Tema ini diangkat sebagai respons terhadap situasi bangsa Indonesia yang sedang menghadapi bencana di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Adalah Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia yang kembali melontarkan pentingnya membentuk koalisi permanen.
Di hadapan Presiden Prabowo Subianto pada puncak perayaan Hari Ulang Tahun Ke-61 Partai Golkar di Jakarta, Jumat (5/12/2025), Bahlil menegaskan, koalisi permanen dibutuhkan karena pemerintahan yang kuat membutuhkan stabilitas politik.
Maka usulan ini memasuki ruang politik Indonesia seperti gema awal perubahan besar, sebuah upaya untuk menata ulang hubungan eksekutif–legislatif di era pemerintahan Prabowo.
Dalam bahasa yang gamblang usulan itu juga menghadirkan gagasan, bahwa stabilitas politik dapat dicapai melalui rekatan struktural antarpartai yang bersifat jangka panjang.
Meskipun istilah itu tidak dikenal secara formal dalam sistem presidensial Indonesia, ia mengandung ambisi untuk memperkokoh pemerintahan melalui mayoritas yang solid di parlemen.
Namun, seperti setiap gagasan besar dalam politik, ia membawa serta bayangan kemungkinan dan risiko.
Dalam kajian politik komparatif, koalisi permanen bukan barang baru; ia adalah anatomi yang lazim dalam sistem parlementer, di mana pemerintah dapat tumbang sewaktu-waktu jika kehilangan dukungan mayoritas.
Maka koalisi permanen hadir sebagai perekat agar pemerintahan tidak jatuh di tengah jalan.
Namun, saat konsep ini dipindahkan ke dalam sistem presidensial seperti Indonesia—di mana masa jabatan presiden tidak dapat diganggu oleh dinamika parlemen—ia berubah watak, menemukan bentuk baru yang sarat konsekuensi.
Ia berpotensi memberikan stabilitas luar biasa bagi presiden, karena setiap kebijakan akan melaju lebih mulus di Senayan, tetapi sekaligus mengikis ruang oposisi yang dibutuhkan demokrasi untuk tetap bernapas.
Tentu, stabilitas adalah mata uang penting dalam pemerintahan modern. Ia menentukan arah kebijakan, presisi implementasi, dan kecepatan negara merespons tantangan global.
Namun, stabilitas yang lahir dari absolutisme dukungan bukan tanpa risiko. Bila oposisi mengecil hingga nyaris tak terdengar, mekanisme checks and balances dapat merapuh, dan demokrasi kehilangan salah satu pilar keseimbangannya.
Sistem yang seharusnya dibangun atas dialog kritis perlahan dapat berubah menjadi ruang gema—tempat hanya suara penguasa yang bergaung tanpa tandingan. Inilah paradoks koalisi permanen: ia menjanjikan keteraturan, tetapi dapat merayap menuju sentralisasi.
Bahlil berbicara tentang perlunya “prinsip yang kuat dalam kerangka koalisi”, ini menjadi frase yang tampak teknokratis, tapi sesungguhnya mengandung hasrat mendalam untuk menciptakan governability –sebuah kemampuan pemerintah untuk bekerja tanpa hambatan.
Namun dalam sistem presidensial, governability tidak cukup ditopang oleh banyaknya partai yang bergabung.
Oleh karena itu, ia harus bertumpu pula pada kualitas tata kelola, transparansi dalam proses, dan keberanian menghadapi risiko kebijakan dengan penuh tanggung jawab.
Koalisi, betapapun solidnya, tidak akan berarti jika pemerintah tidak mampu mengelola “trust” publik dan menjaga integritas proses demokrasi.
Dengan begitu gagasan koalisi permanen mengingatkan kita bahwa politik selalu bergerak di antara dua kutub: kebutuhan akan stabilitas dan keharusan menjaga kebebasan.
Di satu sisi, pemerintahan membutuhkan mayoritas yang kuat agar bisa bekerja; di sisi lain, demokrasi membutuhkan oposisi agar kekuasaan tetap sadar diri.
Menanamkan fondasi emosional
Maka pernyataan Puan Maharani yang menolak membicarakan koalisi permanen di tengah situasi bencana, bukanlah sekadar gestur spontan politisi yang sedang berada di ruang publik.
Koalisi bisa menunggu, sementara air mata rakyat tidak, maka di sinilah moralitas harus berdiri di atas kalkulasi kekuasaan.
Inilah framing awal yang menggeser diskursus politik dari arena transaksional menuju ruang empati dan tanggung jawab sosial.
Di tengah atmosfer pasca-Pemilu 2024 yang dipenuhi kalkulasi 2029, dan manuver elite, maka hal ini untuk mengembalikan arah percakapan publik kepada hal-hal mendasar: keselamatan warga, penanganan bencana, dan kehadiran negara.
Dengan menunda pembahasan koalisi, ini pula menandai bahwa politik yang sehat harus dimulai dari pengakuan atas penderitaan manusia.
Sikap itu sekaligus menegaskan moral high-ground bahwa politik tidak boleh berjalan dengan mengabaikan luka rakyat.
Dalam kultur politik yang kerap memprioritaskan negosiasi kekuasaan, maka hierarki nilainya adalah: kemanusiaan ditempatkan paling atas, sementara kepentingan elektoral berada di belakang.
Dari perspektif komunikasi politik, ini strategi emotional resonance—menghubungkan ranah politik dengan rasa duka kolektif—adalah manuver yang meningkatkan legitimasi moral.
Strategi ini juga menanamkan fondasi emosional, bahwa air mata rakyat memang lebih penting daripada apapun yang terjadi di meja perundingan kekuasaan.