Walhi Sebut Bencana Banjir dan Longsor Sumatera Diperparah Kerusakan Lingkungan Sejak Era Soeharto
- Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menerjang wilayah Sumatera tidak hanya dipicu oleh cuaca ekstrem.
Musibah yang menewaskan ratusan orang itu diduga merupakan dampak dari kerusakan lingkungan yang telah terjadi selama puluhan tahun.
Ketua Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur, menegaskan bahwa banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar) bukan semata-mata disebabkan faktor alam.
Menurutnya, bencana ini merupakan konsekuensi panjang dari eksploitasi hutan yang berlangsung sejak era pemerintahan Presiden Soeharto.
Ia menjelaskan, kerusakan hutan di Pulau Sumatera terjadi dalam rentang waktu yang sangat lama dan melibatkan banyak pihak.
Praktik tersebut mencakup pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH), pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI), alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit, tambang ilegal, perluasan permukiman, hingga pembangunan jalan yang menembus kawasan hutan.
“Semua itu terjadi secara kolektif. Penambangan ilegal dibiarkan, pembukaan sawit baru dipermasalahkan setelah panen. HTI menebang kayu dalam jumlah sangat besar. Itu semua bisa dilihat secara fakta,” kata Nur saat dikonfirmasi, Kamis (4/12).
Merujuk data Walhi dan Auriga Nusantara dalam sebuah jurnal yang diterbitkan pada September 2022 lalu, konsesi lahan sudah terjadi sejak era Presiden ke-2 RI Soeharto, sebanyak 79 juta hektare lahan, selama 32 tahun berkuasa.
Kondisi tersebut diperparah pada era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama 10 tahun berkuasa, SBY memberikan 55 juta hektare lahan kepada korporasi.
Penguasaan hutan oleh korporasi ini dilakukan melalui berbagai bentuk. Seperti konsesi dan izin pertambangan, izin usaha perkebunan dan atau hak guna usaha pada perkebunan sawit, hingga konsesi atau izin logging HPH atau kebun kayu HTI.
Ia menekankan, situasi tersebut melemahkan daya dukung lingkungan dan meningkatkan kerentanan terhadap bencana.
Di balik predikat Sumatera sebagai penghasil sawit terbesar di Indonesia, tersimpan ironi berupa penurunan kualitas lingkungan. Pembukaan hutan untuk kebun sawit yang berdampingan dengan permukiman warga membuat wilayah semakin rentan.
Ia pun merasa miris, karena kemampuan tanah dan sungai di Sumatera dalam menampung air kini semakin berkurang. Struktur tanah yang berubah serta sungai yang dipenuhi material bebatuan meningkatkan daya rusak banjir.
“Banyak sungai di Sumatera sudah rusak. Ketika sungai tidak lagi bisa menampung air dan berubah menjadi tempat kumpulan batu, daya rusaknya menjadi sangat tinggi,” jelasnya.
Melihat kondisi bencana yang kian memprihatinkan, Nur mendorong pemerintah untuk menetapkan status bencana nasional agar penanganan dapat dilakukan lebih cepat dan menyeluruh.
Ia pun menekankan, pemerintah dapat membuka peluang menerima bantuan internasional jika kapasitas nasional tidak mencukupi.
“Korban banjir harus dibantu, baik dari aspek kemanusiaan, ekonomi rakyat, maupun dampak iklim. Pemerintah kabupaten atau provinsi tidak akan sanggup menanganinya sendiri,” tegasnya.
Terkini, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Kamis (4/12) pagi, bencana di wilayah Aceh, Sumut, dan Sumbar mengakibatkan 780 jiwa meninggal dunia. Sementara, sebanyak 564 orang dilaporkan masih hilang.
Tag: #walhi #sebut #bencana #banjir #longsor #sumatera #diperparah #kerusakan #lingkungan #sejak #soeharto