Kala Hujan Tak Lagi Jadi Berkah, Mengurai Akar Masalah Banjir Sumatra
Foto Ilustrasi banjir Sumatra. (Tim grafis Suara.com/Aldie)
15:56
1 Desember 2025

Kala Hujan Tak Lagi Jadi Berkah, Mengurai Akar Masalah Banjir Sumatra

Baca 10 detik
  • Banjir bandang dan longsor di Sumatra akhir November 2025 menewaskan ratusan jiwa akibat curah hujan ekstrem dan Siklon Tropis Senyar.
  • Kerusakan alam seperti deforestasi, sedimentasi sungai, dan tata ruang terabaikan di hulu memperparah dampak bencana.
  • Pemerintah fokus pada penanganan darurat korban dan pemulihan infrastruktur, sementara WALHI menuntut restorasi ekologis mendasar.

"Tidak pernah ada cerita pohon di hutan melakukan bunuh diri massal." Kalimat tajam dilontarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di akun Facebook-nya menjadi tamparan keras di tengah duka yang menyelimuti Sumatra.

Saat lumpur dan gelondongan kayu menumpuk di permukiman warga dari Aceh hingga Sumatra Barat, pertanyaan mendasar kembali mengemuka. Apakah ini murni amarah alam, atau warisan dari ulah manusia yang abai?

Banjir bandang dan longsor yang menerjang sejumlah provinsi di Sumatra pada penghujung November 2025 meninggalkan luka mendalam. Ratusan nyawa melayang, ribuan orang kehilangan tempat tinggal, dan infrastruktur luluh lantak.

Di permukaan, pemicunya jelas, air dari langit seolah tumpah tanpa henti. Namun, mengkambinghitamkan cuaca ekstrem semata berarti menutup mata pada borok yang lebih dalam di daratan.

Pemicu di Langit: Saat Hujan Tak Lagi Jadi Berkah

Tak bisa dimungkiri, cuaca ekstrem adalah pemicu awal dari rentetan bencana ini. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan yang turun masuk dalam kategori ekstrem, dengan beberapa wilayah mencatat intensitas lebih dari 150 hingga 300 milimeter per hari.

Di Lubuk Minturun, Kota Padang, curah hujan bahkan memecahkan rekor tertinggi dalam 30 tahun terakhir, mencapai 261 mm dalam sehari.

Dalam keterangannya yang dikutip, Senin (1/12/2025), pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Muhammad Rais Abdillah, menjelaskan bahwa wilayah Sumatera memang tengah berada di puncak musim hujan.

Kondisi itu diperparah oleh munculnya pusaran atau sirkulasi siklonik yang kemudian berkembang menjadi Siklon Tropis Senyar di sekitar Selat Malaka, yang mendorong pembentukan awan hujan masif.

"Namun, cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal. Dampak merusak banjir bandang tersebut sesungguhnya diperparah oleh rapuhnya benteng alam di kawasan hulu," ujar Hatma Suryatmojo, Peneliti Hidrologi Hutan dari UGM dalam keterangannya sebagaimana dibagikan UGM pada Senin hari ini.

Akar Masalah di Darat: "Dosa Ekologis" yang Menumpuk

Warga berjalan melintasi sungai dengan jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/bar] PerbesarWarga berjalan melintasi sungai dengan jembatan darurat di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/bar]

Di sinilah benang kusut itu mulai terurai. Air hujan yang seharusnya menjadi berkah berubah menjadi bencana ketika jatuh di atas bentang alam yang sudah terluka parah.

1. Hutan yang Terus Menyusut

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa tutupan hutan di Sumatra terus menyusut dari tahun ke tahun. Alih fungsi lahan besar-besaran menjadi perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan area pertambangan telah menghilangkan "spons raksasa" alami.

"Ketika kawasan penahan air alami hilang, wilayah tersebut kehilangan kemampuan menahan limpasan. Akibatnya, hujan yang turun langsung mengalir cepat ke sungai dan memicu banjir," kata Dr. Heri Andreas, pakar geospasial ITB sebagaimana dikutip dari laman ITB.

Penelitian menunjukkan, hutan alami mampu menyerap hingga 55 persen air hujan ke dalam tanah, sehingga hanya 10-20 persen yang menjadi aliran permukaan. Ketika hutan berganti menjadi perkebunan monokultur atau lahan terbuka, kemampuan tanah menyerap air turun drastis.

2. Sungai yang Sekarat

Air yang meluncur deras dari perbukitan gundul membawa serta material tanah dan batuan. Proses erosi masif ini menyebabkan pendangkalan atau sedimentasi parah di dasar sungai.

Sungai yang dulu dalam kini menjadi parit dangkal yang tak mampu lagi menampung debit air yang melonjak.

Kondisi ini diperburuk oleh penyempitan badan sungai akibat pembangunan permukiman dan infrastruktur di area sempadan, serta sampah yang menyumbat aliran air.

3. Tata Ruang yang Terabaikan

Bencana ini juga menelanjangi lemahnya perencanaan tata ruang dan penegakan hukum. Pembangunan seringkali dilakukan di zona rawan bencana tanpa mitigasi yang memadai.

Izin-izin konsesi lahan di kawasan hulu yang krusial sebagai daerah tangkapan air terus dipertanyakan.

"Tragedi banjir bandang yang melanda Sumatra pada November 2025 sejatinya merupakan akumulasi 'dosa ekologis' di hulu DAS (Daerah Aliran Sungai)," tegas Hatma Suryatmojo.

Banjir dahsyat di Sumatra adalah sebuah alarm keras. Ini bukan lagi sekadar siklus alam, melainkan cerminan dari bagaimana manusia telah memperlakukan lingkungannya. Curah hujan ekstrem mungkin datang dari Tuhan, tetapi banjir adalah akibat dari pilihan-pilihan yang dibuat di daratan.

Korban Tembus Ratusan Jiwa, Pemerintah Dikejar Waktu

Sejumlah warga melintasi jembatan alternatif yang menghubungkan Desa Blang Meurandeh dan Desa Blang Puuk Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, Aceh, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz] PerbesarSejumlah warga melintasi jembatan alternatif yang menghubungkan Desa Blang Meurandeh dan Desa Blang Puuk Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya, Aceh, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz]

Angka korban jiwa akibat banjir Sumatra terus bertambah menembus ratusan, ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal, dan kerugian materiil diperkirakan mencapai triliunan rupiah, menjadikannya salah satu bencana hidrometeorologi paling mematikan dalam dekade terakhir.

Pemerintah kini dihadapkan pada tugas raksasa, berpacu dengan waktu untuk mencari korban yang masih hilang, memulihkan akses yang terputus, dan memenuhi kebutuhan dasar puluhan ribu pengungsi.

Data yang dihimpun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melukiskan gambaran suram dari tragedi ini. Di Sumatra Barat saja, jumlah korban meninggal dunia akibat banjir lahar dingin dan longsor telah mencapai 129 jiwa, dengan 118 orang lainnya masih dalam status hilang.

Kabupaten Agam menjadi wilayah dengan dampak paling parah, mencatatkan puluhan korban jiwa dan hilang.

Berdasarkan update terkini hingga Senin (1/12/2025) pagi, secara keseluruhan bencana yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat telah merenggut total 442 nyawa. Angka itu diperkirakan masih akan terus bergerak seiring dengan upaya tim SAR gabungan yang bekerja tanpa henti.

"Proses pencarian dan pertolongan masih terus dilakukan tim gabungan di sejumlah titik terdampak," tegas BNPB dalam rilis terbarunya.

Selain korban jiwa, dampak kemanusiaan lainnya juga sangat signifikan. Di Sumatera Barat, lebih dari 77.918 jiwa dari 11.820 KK terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Kerugian Ekonomi Triliunan Rupiah

Dampak bencana tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga melumpuhkan sendi-sendi perekonomian. Taksiran kerugian akibat kerusakan infrastruktur, lahan pertanian, hingga rumah penduduk sangat fantastis.

Di Kabupaten Tanah Datar, Bupati Eka Putra menyebut kerugian sementara akibat bencana mencapai lebih dari Rp500 miliar, dengan 500 hektar lahan pertanian terdampak.

Sementara itu, Kota Padang melaporkan taksiran kerugian infrastruktur hingga Rp202,8 miliar, dan Padang Pariaman menaksir kerusakan infrastruktur mereka mencapai Rp284,12 miliar. Di Kabupaten Agam, total kerugian ditaksir mencapai Rp59,82 miliar.

Jika diakumulasikan dari berbagai daerah terdampak, angka kerugian total diperkirakan bisa menembus triliunan rupiah, mengingat masifnya kerusakan jembatan, jalan, irigasi, sekolah, dan fasilitas umum lainnya.

"Cukup banyak infrastruktur yang rusak akibat bencana hidrometeorologi ini, tidak saja infrastruktur tetapi juga korban jiwa dan lainnya," ungkap Wali Kota Padang Fadly Amran baru-baru ini.

Gelondongan kayu yang menyapu rumah, lumpur tebal yang menenggelamkan desa, dan ratusan nyawa yang hilang. Pemandangan mengerikan dari serangkaian banjir bandang dan longsor di Sumatra bukanlah sekadar potret amarah alam.

Di baliknya, tersimpan cerita panjang tentang sebuah ekosistem yang sekarat, sebuah bencana yang sengaja diproduksi oleh kebijakan yang abai.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menolak menyebutnya musibah alam. Ini adalah alarm paling keras dari sebuah "bencana ekologis" yang akarnya telah menjalar selama bertahun-tahun.

”Ini bukan musibah alam. Ini bencana ekologis akibat buruknya tata kelola lingkungan hidup dan pemanfaatan SDA," tegas Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin kepada , Senin (1/12/2025).

Siklon Pemicu, Lanskap Rusak Pemicu

Foto Udara sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Nagari Muaro Pingai, Kecamatan Junjung Sirih, Kab. Solok. Sumatera Barat, Sabtu (29/11/2025). [ANTARA FOTO/Wawan Kurniawan/Lmo/bar] PerbesarFoto Udara sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Nagari Muaro Pingai, Kecamatan Junjung Sirih, Kab. Solok. Sumatera Barat, Sabtu (29/11/2025). [ANTARA FOTO/Wawan Kurniawan/Lmo/bar]

Banyak yang menunjuk Siklon Tropis Senyar sebagai biang keladi utama. Badai anomali yang membawa curah hujan ekstrem ini memang menjadi pemicunya.

Namun, menurut Greenpeace, siklon ini hanya menekan pelatuk dari pistol yang sudah terkokang sejak lama. Pistol itu adalah lanskap Sumatra yang sudah hancur lebur.

"Ini kan ada dua faktor. Pemicunya Siklon Tropik Senyar... tapi pemicu kedua memang soal daya tampung dan daya dukung lingkungan yang, Pulau Sumatra itu sendiri memang sudah lama dieksploitasi," jelas Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas yang juga dihubungi , Senin ini.

Daya dukung lingkungan inilah yang menjadi persoalan inti. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai spons raksasa penyerap air hujan telah sirna. Akibatnya, ketika hujan deras datang, air tak lagi meresap, melainkan langsung meluncur ke hilir membawa petaka.

Hulu Terluka, Hilir Jadi Korban

Akar masalahnya terletak jauh di hulu, di jantung Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kini kritis. Ekspansi perkebunan sawit, konsesi tambang, pembukaan jalan baru, hingga aktivitas brutal Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) telah menggunduli benteng pertahanan alam.

WALHI menyoroti bagaimana 99 persen lokasi PETI berada di dalam DAS, secara membabi buta mengeruk tebing sungai dan membelah bukit. Akibatnya, tanah menjadi labil dan mudah longsor.

“Hutan digunduli, sungai didangkalkan, bukit dikeruk. Pemerintah masih sibuk bangun tanggul, bukan menghentikan akar bencananya,” kata Shalihin.

Material longsoran ini kemudian mengendap di sungai, menyebabkan pendangkalan ekstrem. Sungai-sungai utama di Aceh dan wilayah Sumatra lainnya kini tak lebih dari selokan raksasa yang daya tampungnya telah runtuh. Begitu volume air dari hulu datang, sungai tak sanggup menampung dan meluap ke permukiman.

Hutan Sumatra di Titik Nadir

Foto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/nz] PerbesarFoto udara kondisi rumah warga yang rusak akibat banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Minggu (30/11/2025). [ANTARA FOTO/Yudi Manar/nz]

Seberapa parah kerusakan yang terjadi? Data dari Greenpeace melukiskan gambaran yang suram. Hampir seluruh DAS di Sumatra kini berada dalam kondisi kritis.

"Hampir semua DAS nya itu di bawah dari 25 persen tutupan hutannya," kata Arie Rompas.

Secara keseluruhan, lanskap Pulau Sumatra telah kehilangan mahkota hijaunya. Izin-izin Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan sawit, dan pertambangan telah menggerus hutan alam secara masif. Yang tersisa kini hanyalah serpihan.

"Luas hutan alam di Pulau Sumatra saat ini hanya tersisa 10 sampai 14 juta hektare, kurang dari 30 persen dalam wilayah lanskap Pulau Sumatra," tambah Arie.

Peringatan Krisis Iklim dan Desakan Perubahan

Kemunculan Siklon Tropis Senyar di wilayah khatulistiwa adalah sebuah anomali yang menurut para ahli merupakan dampak nyata dari krisis iklim. Ini adalah peringatan bahwa bencana hidrometeorologi serupa bisa terus berulang dengan intensitas yang lebih tinggi di masa depan.

Di tengah situasi ini, solusi tambal sulam seperti pengerukan sungai dan pembangunan tanggul dianggap tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Desakan untuk perubahan fundamental pun menguat. Greenpeace dan WALHI satu suara, pemerintah harus melakukan evaluasi dan audit menyeluruh terhadap perizinan yang merusak hulu.

"Pemerintah segera mengevaluasi dan mencabut. Mengevaluasi dan kemudian melakukan penegakan hukum termasuk merehabilitasi wilayah-wilayah DAS yang sudah rusak," tegas Arie.

Lantas Apa Langkah Pemerintah?

Foto udara pengendara melintasi jalan nasional Medan-Banda Aceh yang terendam banjir di Desa Peuribu, Arongan Lambalek, Aceh Barat, Aceh, Kamis (27/11/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc] PerbesarFoto udara pengendara melintasi jalan nasional Medan-Banda Aceh yang terendam banjir di Desa Peuribu, Arongan Lambalek, Aceh Barat, Aceh, Kamis (27/11/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc]

Menghadapi skala bencana yang luar biasa, pemerintah pusat dan daerah bergerak cepat. Presiden Prabowo Subianto telah meninjau langsung lokasi bencana untuk memastikan penanganan berjalan optimal.

Langkah-langkah penanganan darurat difokuskan pada beberapa hal utama:

Pencarian dan Evakuasi Korban: Tim SAR gabungan dari BNPB, Basarnas, TNI-Polri, dan relawan dikerahkan secara masif untuk mencari korban yang masih hilang, bahkan menggunakan anjing pelacak (K9) untuk membantu.

Pemenuhan Kebutuhan Dasar Pengungsi: Pemerintah memastikan ketersediaan logistik, makanan, tenda, selimut, dan layanan kesehatan di posko-posko pengungsian.

Pemulihan Akses dan Infrastruktur Darurat: Prioritas utama adalah membuka akses jalan yang terisolasi. Kementerian PUPR mengerahkan puluhan alat berat untuk membersihkan material longsor dan membangun jembatan darurat agar distribusi bantuan lancar.

Bantuan Perbaikan Rumah dan Relokasi: Pemerintah menyiapkan bantuan stimulan bagi warga yang rumahnya rusak, dengan nilai bervariasi dari Rp15 juta hingga Rp60 juta tergantung tingkat kerusakan. Bagi warga yang tinggal di zona berbahaya seperti bantaran sungai, opsi relokasi disiapkan.

"Pemerintah daerah menyiapkan lahan dan pemerintah pusat yang akan bangun," jelas Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto.

Editor: Bangun Santoso

Tag:  #kala #hujan #lagi #jadi #berkah #mengurai #akar #masalah #banjir #sumatra

KOMENTAR