Rehabilitasi Ira Puspadewi: Menimbang Batas Prerogatif Presiden dan Independensi Hukum
Keputusan Presiden RI Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, memunculkan diskursus mengenai batas kewenangan Presiden dan independensi peradilan.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai rehabilitasi ini merupakan bentuk intervensi eksekutif terhadap proses peradilan yang berpotensi mencederai independensi peradilan dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
“Pemberian ini adalah ketiga kalinya Presiden Prabowo melakukan intervensi terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi,” ujar Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah kepada Kompas.com, Selasa (25/11/2025).
Sebelumnya, Prabowo telah memberikan amensti kepada Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong ketika vonis keduannya belum berkekuatan hukum tetap.
ICW memahami pemberian rehabilitasi merupakan hak prerogatif presiden yang tertuang dalam UUD 1945 di mana presiden dapat memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Namun, sama seperti pemberian abolisi dan amnesti, hak ini dinilai tidak disertai ketentuan yang jelas terkait tata cara pemberian dan apa saja syarat yang harus dipenuhi untuk memberikan rehabilitasi.
Dengan kata lain, presiden memiliki kewenangan yang sangat luas untuk menggunakan hak-hak memberikan grasi, amnesti, rehabilitasi, dan abolisi tanpa ada garis batasan yang jelas.
Padahal, badan peradilan dibangun sebagai lembaga yudikatif yang independen, transparan, dan bebas dari intervensi politik.
Praktik pemberian yang dilakukan tanpa standar transparansi dan akuntabilitas justru mengaburkan batas tersebut.
Menurut ICW, jika praktik ini dibiarkan berlanjut, relevansi institusi peradilan banding dan kasasi akan kian terkikis.
Padahal, dalam institusi peradilan seharusnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung diposisikan sebagai ruang koreksi yuridis untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang berada di bawahnya.
“Jika aktor-aktor yang berkepentingan lebih memilih menunggu ‘ampunan politik’ daripada menempuh jalur hukum, fungsi korektif yudikatif akan menjadi tidak berarti. Bahkan, esensi dari pertimbangan ‘putusan lepas’ yang menjadi bentuk pengujian perkara paling independen, bisa kehilangan bobotnya,” kata Wana.
“Padahal, jalur hukum berupa banding hingga peninjauan kembali jelas akan lebih transparan dan akuntabel dibanding penggunaan hak prerogatif presiden yang tak jelas standarnya,” imbuh dia.
Setali tiga uang, IM57+ Institute menilai keputusan Presiden memberikan rehabilitasi terhadap terpidana kasus ASDP menunjukkan pola intervensi yang kembali melemahkan kerja pemberantasan korupsi.
Kepada Kompas.com, Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menyatakan langkah tersebut menegasikan kerja keras penyidik dan penuntut KPK yang telah menangani perkara itu selama bertahun-tahun.
“Setelah Hasto mendapatkan amnesti pasca proses penyelidikan dan penyidikan panjang oleh KPK, kini rehabilitasi pada kasus ASDP menunjukkan Presiden tidak melihat secara substansial persoalan yang muncul dari fakta persidangan,” kata Lakso.
Eks penyik KPK itu menilai sikap Presiden yang berulang kali mengoreksi hasil kerja KPK berpotensi menumbuhkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi antirasuah.
IM57+ juga mempertanyakan arah kebijakan Presiden dalam pembenahan sektor penegakan hukum.
Menurut mereka, jika Presiden merasa ada masalah dalam penanganan perkara korupsi, seharusnya dilakukan perbaikan menyeluruh di KPK maupun Kejaksaan Agung, bukan sekadar mengambil keputusan di tahap akhir proses hukum.
“Tidak bisa presiden terus mengambil sikap pada hilir proses hanya untuk keuntungan elektoral semata. Ini proses yang akan membuat pelaku tindak pidana sibuk membuat opini media dan lobi politik untuk menyelesaikan kasus mereka dan tidak takut melakukan pidana karena pada akhirnya akan diampuni,” kata Lakso.
Tak pengaruhi proses hukum
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Seiring dengan itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung (MA) kompak menyatakan bahwa rehabilitasi yang diberikan Prabowo tidak mengganggu proses penegakan hukum yang sedang maupun akan ditangani mereka.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu berpandangan, pemberian rehabilitasi terhadap Ira Puspadewi dan dua terdakwa lainnya tidak akan menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga antirasuah.
“Jadi, terkait dengan hal tersebut, bagi kami itu bukan merupakan preseden buruk, karena ini berbeda ya,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa malam.
Asep menegaskan bahwa jajaran penyelidik, penyidik, dan penuntut umum sudah menangani kasus korupsi di PT ASDP tersebut dengan baik.
Selain itu, dia mengatakan, kasus korupsi akuisisi PT JN oleh PT ASDP yang menjerat Ira sudah melalui uji formal dan materil lewat praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan maupun pemeriksaan perkara pokok di Pengadilan Tipikor Jakarta.
“Kami bisa sampaikan bahwa yang menjadi tugas kami itu sudah selesai baik secara pembuktian secara formal maupun materil. Nah, perlu dibedakan terhadap hasil ya, hasil terhadap keputusan itu kemudian saat ini diberikan rehabilitasi adalah hak prerogatif Bapak Presiden. Jadi, kami tidak lagi ada pada lingkup dari kewenangan tersebut,” kata Asep.
MA juga mengambil sikap serupa dengan KPK, yakni meyakini pemberian rehabilitasi tidak akan mengganggu proses penegakan hukum di kemudian hari.
Juru Bicara MA Yanto menyebutkan, proses hukum dapat berjalan seiring dengan pemberian hak istimewa seperti rehabilitasi.
“Antara putusan pengadilan dengan rehabilitasi ya enggak ada, enggak akan mengganggu. Hal biasa terjadi dalam ketatanegaraan kita, ya," kata Yanto di Gedung MA, Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Yanto meyakini, Presiden Prabowo tidak akan sembarangan dalam menggunakan hak istimewa tersebut.
“Enggak akan mengganggu karena tentunya Presiden itu tidak sembarangan memberikan. Tentunya akan melihat ke depan ini untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar, tentunya hak istimewa,” ujar Yanto.
Dasar hukum dipertanyakan
Di samping soal masa depan penegakan hukum, pemberian rehabilitasi terhadap Ira Puspadewi juga mengundang pertanyaan mengenai dasar hukum yang melatarbelakanginya.
“Meski mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo, saya mohon izin untuk menanyakan kira-kira dasar hukum apa yang digunakan oleh Presiden dalam memberikan rehabilitasi,” kata pakar hukum pidana Universitas Trisakti Alber Aries.
Albert menjelaskan bahwa rehabilitasi memang merupakan satu dari empat hak prerogatif Presiden, selain grasi, amnesti, dan abolisi, yang kini sedang dirampungkan dalam RUU Grasi, Amnesti, Abolisi & Rehabilitasi (RUU GAAR).
Namun, ia mempertanyakan apabila benar keputusan itu dikeluarkan atas dasar usulan DPR.
“Apabila benar informasi pemberian rehabilitasi itu berdasarkan usulan DPR, maka seharusnya yang dapat diberikan Presiden adalah amnesti yang menghapuskan akibat hukum pidana, atau abolisi yang menghapus tuntutan pidananya, dengan memperhatikan pertimbangan DPR,” kata Albert.
Ia menegaskan bahwa pemberian rehabilitasi di luar ketentuan Pasal 97 KUHAP lama hanya dapat dibenarkan jika penerimanya sebenarnya tidak bersalah sehingga layak dipulihkan kehormatannya.
“Tanpa mengurangi rasa hormat pada Keputusan Presiden, pemberian rehabilitasi di luar atau selain dari apa yang ditentukan dalam Pasal 97 KUHAP lama, seharusnya hanya dapat diberikan jika penerimanya memang sebenarnya tidak bersalah, sehingga layak untuk dipulihkan kehormatannya, dan sesuai Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945, tetap harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung,” ujar dia.
Albert berharap pengadilan tetap menjadi ruang bagi para pencari keadilan untuk menemukan kebenaran yang sejati.
Berkaca dari kasus Ira Puspadewi, Albert tidak memungkiri bahwa Indonesia masih membutuhkan orang-orang baik yang bersedia masuk ke dalam sistem untuk membangun negara.
Ia mengatakan, orang-orang seperti itu semestinya tidak perlu takut mengambil kebijakan publik meski penuh risiko.
“Namun kita juga tidak menghendaki penyelesaian perkara hukum yang bergantung pada belas kasihan Presiden semata,” kata Albert.
Pemerintah menjawab
Yusril Ihza Mahendra, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), saat ditemui di kantornya, Kamis (13/11/2025). Yusril menegaskan putusan MK soal larangan polisi aktif isi jabatan sipil akan jadi dasar reformasi Polri.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengeklaim, rehabilitasi untuk Ira telah sesuai dengan Pasal 14 UUD 1945 dan praktik ketatanegaraan yang berlaku.
Menurutnya, sebelum menandatangani Keppres, Prabowo sudah lebih dahulu meminta pertimbangan dari MA.
“MA telah memberikan pertimbangan tertulis, dan hal itu dicantumkan dalam konsiderans Keppres tersebut. Dari sudut prosedur, pemberian rehabilitasi telah sepenuhnya sesuai Pasal 14 UUD 1945 dan konvensi ketatanegaraan yang berlaku," tegas Yusril.
Yusril pun menyebutkan bahwa ada kemiripan antara kasus yang menjerat Ira Puspadewi dengan Tom Lembong.
Seperti diketahui, keduanya sama-sama divonis bersalah karena kebijakannya dianggap merugikan negara, meski mereka tidak menikmati hasil korupsi.
“Nampaknya seperti itu. Beleid atau kebijakan yang diambil, sepanjang bebas dari niat buruk dan permufakatan jahat (kolusi), mestinya tidak dapat dinilai oleh pengadilan. Itu adalah yurisprudensi tetap dalam sistem peradilan pidana,” kata Yusril.
Profesor hukum tata negara ini menilai ada risiko psikologis yang dapat menghinggapi para pejabat bila tiap kebijakan diperkarakan masuk tindak pidana korupsi (tipikor), yakni pejabat ketakutan membuat keputusan karena ada risiko masuk penjara.
“Kalau semua kebijakan ditipikorkan, para pejabat akhirnya tidak berani mengambil keputusan. Negara ini akan jalan di tempat,” kata Yusril.
Tag: #rehabilitasi #puspadewi #menimbang #batas #prerogatif #presiden #independensi #hukum