Debat Sengit Kubu Paulus Tannos vs KPK di Sidang Praperadilan
- Proses hukum tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP Paulus Tannos telah memasuki babak baru lewat sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Gugatan ini dilayangkan Paulus Tannos dengan nomor perkara 143/Pid.Pra/PN JKT.SEL ini menguji sah atau tidaknya penangkapannya.
Kompas.com merangkum fakta-fakta sidang praperadilan dengan agenda jawaban KPK di PN Jaksel pada Selasa (25/11/2025).
Debat sengit soal status DPO
Dalam sidang ini, Biro Hukum KPK mengatakan, Paulus Tannos tak dapat mengajukan gugatan praperadilan karena masih berstatus buron alias Daftar Pencarian Orang (DPO).
KPK menyinggung aturan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018. Surat edaran tersebut melarang DPO mengajukan peradilan.
“Berdasarkan uraian tersebut secara jelas sampai saat ini permohon dalam status daftar pencarian orang (DPO) sehingga pemohon dilarang mengajukan praperadilan diskualifikasi in person. Dengan demikian, pemohon praperadilan selanjutnya ditolak sejak awal karena diajukan oleh tersangka dalam status DPO yang dilarang mengajukan praperadilan,” kata Tim Biro Hukum KPK, Ariansyah, dalam sidang praperadilan di PN Jaksel, Selasa (25/11/2025).
“Atau setidaknya (praperadilan) dinyatakan tidak dapat diterima,” sambungnya.
Ariansyah menjelaskan alasan lembaga antirasuah menerbitkan DPO untuk Paulus Tannos pada 19 Oktober 2021.
Dia mengatakan, KPK beberapa kali memanggil Paulus Tannos sebagai saksi dan tersangka dalam perkara ini dengan mengirimkan surat panggilan di Indonesia dan Singapura.
Namun, Paulus Tannos tak pernah bersikap kooperatif dengan memenuhi panggilan penyidik.
Karenanya, kata dia, ketidakhadiran Paulus Tannos membuat KPK mengambil langkah berikutnya yaitu meminta bantuan pencarian dan penangkapan ke Kepolisian RI sampai akhirnya diterbitkan status daftar pencarian orang (DPO).
“Meskipun telah diterbitkan Surat Perintah Penangkapan Nomor Perintah Nomor 8, tanggal 6 November 2024, namun termohon (KPK) belum berhasil menangkap pemohon (Paulus Tannos) sehingga sampai saat ini belum ada Berita Acara Penangkapan yang membuktikan pemohon (Paulus Tannos) telah ditangkap,” ujarnya.
Sidang Praperadilan Paulus Tannos dengan agenda jawaban Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).
Dalam kesempatan yang sama, pengacara Paulus Tannos, Damian Agata Yuvens, menilai status DPO yang diterbitkan KPK terhadap kliennya tidak relevan.
Sebab, kata dia, KPK selalu mengetahui keberadaan Paulus Tannos.
“Faktanya pula di bulan November 2021 Pemohon (Paulus Tannos) berkomunikasi dengan penyidik Termohon (KPK) yang bahkan sempat bersurat dengan Termohon, namun ujug-ujug Termohon memasukkan Pemohon dalam DPO pada tanggal 19 Oktober 2021,” kata Damian.
Damian mengatakan, KPK tidak hanya mengetahui keberadaan kliennya, melainkan juga pernah memeriksa Paulus Tannos sebagai saksi untuk perkara Andi Agustinus alias Andi Narogong sebelum 2017.
“Yang mana hasil pemeriksaannya dibacakan pada persidangan yaitu pada Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Nomor 100/2017 tanggal 21 Desember 2017,” ujarnya.
Oleh karenanya, menurut Damian, jika benar KPK tak mengetahui keberadaan kliennya, tak mungkin Paulus Tannos saat ini ditahan di Singapura.
“Hal ini menyebabkan status DPO pada Pemohon menjadi tidak relevan karena kedudukan Pemohon jelas ada di mana,” ucap dia.
Masalah kewarganegaraan ganda Paulus Tannos
Selain status DPO, KPK juga menjawab dalil kubu Paulus Tannos terkait yang menyebutkan surat perintah penangkapan Paulus Tannos tidak sah karena tidak mencantumkan identitas yang lengkap.
Biro Hukum KPK, Martin, mengatakan bahwa tidak dicantumkannya identitas Paulus Tannos selain kewarganegaraan Indonesia sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Tidak dicantumkannya kewarganegaraan lain dari pemohon (Paulus Tannos) dalam Surat Perintah Penangkapan selain kewarganegaraan Indonesia, telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sekaligus bukti penegakan kedaulatan negara,” kata Martin.
Sebaliknya, dia mengatakan, dalil Paulus Tannos yang menyatakan identitas tak lengkap dalam surat perintah penangkapan karena tak dicantumkannya kewarganegaraan Guinea-Bissau adalah bentuk pelanggaran terhadap UU Nomor 12 Tahun 2006.
Sebab, hal tersebut menghendaki penyebutan kewarganegaraan ganda atau bipatride.
“Oleh karena itu dalil permohonan a quo patut untuk dinyatakan ditolak,” ujarnya.
Berdasarkan uraian jawaban tersebut, KPK meminta majelis hakim PN Jaksel menolak gugatan praperadilan yang diajukan Paulus Tannos.
Terlebih, KPK belum melakukan proses penyidikan terhadap Paulus Tannos termasuk penangkapan.
“Maka dalil-dalil permohonan pemohon (Paulus Tannos) bersifat prematur sehingga permohonan praperadilan sudah sepatutnya ditolak atau setidaknya-tidaknya tidak dapat diterima,” kata Tim Biro Hukum KPK Indah.
Paulus Tannos di Singapura
Untuk diketahui, Paulus Tannos ditangkap oleh Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura pada 17 Januari 2025.
Penangkapan tersebut berawal dari pengajuan penahanan sementara oleh KPK melalui Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri.
Surat permohonan ini kemudian diteruskan kepada Interpol Singapura hingga sampai ke CPIB.
Namun, Tannos tidak bisa langsung dibawa ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Saat ini, Paulus Tannos menjalani sidang ekstradisi di Pengadilan Singapura.
Tag: #debat #sengit #kubu #paulus #tannos #sidang #praperadilan