Majelis Disiplin Profesi dan Bahaya Kekuasaan Tanpa Kompetensi
Pelimpahan berkas dan tersangka dokter anak dari kepolisian pada Kejati Bangka Belitung, Kamis (20/11/2025).(KOMPAS.com/HERU DAHNUR)
13:32
25 November 2025

Majelis Disiplin Profesi dan Bahaya Kekuasaan Tanpa Kompetensi

KASUS yang menimpa dr. Ratna Setia Asih kembali mengangkat perdebatan lama: siapa sebenarnya yang paling berwenang menentukan seorang dokter bersalah atau tidak dalam dugaan malpraktik?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab tanpa menengok peran Majelis Disiplin Profesi (MDP) - lembaga yang, dalam praktiknya, justru menimbulkan lebih banyak persoalan dibandingkan solusi.

Secara teori, MDP dibentuk untuk menjaga standar etik dan disiplin profesi medis. Namun dalam praktik, struktur, mekanisme, dan kompetensinya justru menimbulkan tanda tanya besar.

Ketika lembaga memiliki kekuasaan yang dapat memicu proses pidana, tetapi tidak memiliki kapasitas memadai, di situlah persoalan serius mulai muncul.

Kompetensi: Pondasi yang tak pernah kokoh

Untuk menilai dugaan malpraktik, dibutuhkan pengetahuan klinis mendalam, pengalaman praktik bertahun-tahun, serta pemahaman spesifik terhadap bidang keilmuan terkait kasus.

Namun, MDP tidak didesain untuk menjamin semua itu. Tidak ada mekanisme seleksi terbuka yang menunjukkan bahwa anggota MDP adalah subject matter expert di setiap kasus yang mereka tangani.

Tidak ada jaminan bahwa anggota benar-benar memahami standar praktik spesialisasi tertentu. Tidak ada verifikasi kompetensi yang transparan atau berbasis rekam jejak profesional.

Dengan kata lain, kapasitas keilmuan anggota MDP tidak dapat diasumsikan begitu saja. Padahal, keputusan mereka berpotensi digunakan aparat penegak hukum sebagai dasar proses pidana.

Ini ibarat meminta seorang dokter umum menilai apakah seorang pilot salah mengoperasikan pesawat—tidak nyambung secara keahlian, tetapi tetap dipaksa memberikan “vonis.”

Masalah berikutnya adalah minimnya akuntabilitas. MDP bukan lembaga penegak hukum, bukan kolegium, bukan forensik medis, dan tidak berada di bawah mekanisme pengawasan publik yang jelas.

Namun ironisnya, lembaga inilah yang rekomendasinya dapat menentukan hidup-mati reputasi seorang dokter.

MDP memiliki kewenangan besar, tetapi:

  • tidak memiliki standar evaluasi yang dibuka kepada publik
  • tidak memiliki mekanisme banding atau uji materi melalui kanal hukum umum
  • tidak diawasi oleh lembaga independen, dan
  • tidak wajib melibatkan ahli spesialis sesuai kasus yang diperiksa

Situasi ini menciptakan zona gelap institusional—sebuah badan yang dapat “menyatakan” seseorang salah, tetapi tidak dapat diperiksa balik bila rekomendasinya ternyata keliru, bias, atau bahkan politis.

Dalam konteks profesionalisme kedokteran, ini bukan sekadar kelemahan prosedural. Ini adalah celah sistemik yang bisa mengancam siapa pun yang bekerja dalam situasi klinis kompleks—di mana variabel risiko selalu ada, dan tidak semua kejadian medis dapat diperas ke dalam kategori benar-salah secara hitam putih.

Dengan struktur seperti ini, potensi penyalahgunaan menjadi sangat besar. Dalam beberapa kasus, rekomendasi MDP muncul terlalu cepat, tanpa analisis multidisiplin yang memadai.

Di sisi lain, ada dugaan rekomendasi tersebut disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan dokter demi menyetujui “jalan damai.”

Profesional medis yang seharusnya fokus pada pelayanan pasien justru dihadapkan pada ancaman kriminalisasi berbasis opini lembaga yang kompetensi dan independensinya belum jelas.

Reformasi: Mendesak, bukan opsional

Jika Indonesia ingin memiliki tata kelola profesi medis yang sehat dan melindungi pasien sekaligus dokter, proses evaluasi dugaan malpraktik harus ditempatkan pada pihak yang benar-benar berkompeten.

Misal, Kolegium spesialis yang memahami standar klinis dan batas-batas kewajaran tindakan medis. Selain itu, ahli forensik medis yang mampu menilai data berdasarkan metode ilmiah, atau lembaga hukum yang bekerja dengan prinsip objektivitas dan bukti.

Bukan lembaga yang tidak jelas kompetensinya, tidak transparan, dan tidak akuntabel.

MDP, dalam format saat ini, menimbulkan terlalu banyak risiko dan terlalu sedikit manfaat. Reformasi total diperlukan—bahkan mungkin pembubaran—agar sistem evaluasi disiplin profesi tidak justru menjadi sumber ketakutan baru bagi para dokter.

Di tengah tuntutan publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, kita tidak boleh membiarkan lembaga dengan kompetensi kabur memiliki kewenangan menentukan nasib profesional secara sepihak.

Keadilan bagi pasien harus berjalan seiring dengan perlindungan yang layak bagi tenaga medis. Dan itu hanya mungkin apabila prosesnya dilakukan oleh pihak-pihak yang benar-benar ahli, bukan oleh lembaga yang berada di wilayah abu-abu otoritas dan kompetensi.

Sampai itu terwujud, MDP akan tetap menjadi ancaman bagi profesi medis—lembaga dengan kekuasaan besar, tetapi tanpa akuntabilitas. Risiko sistemik yang terlalu mahal untuk dibiarkan.

Tag:  #majelis #disiplin #profesi #bahaya #kekuasaan #tanpa #kompetensi

KOMENTAR