Paradoks Kebijakan Pembatasan Kuota Impor BBM Swasta di Indonesia
ilustrasi harga BBM hari ini. Harga BBM Shell terbaru.(canva.com)
06:56
25 November 2025

Paradoks Kebijakan Pembatasan Kuota Impor BBM Swasta di Indonesia

PEMERINTAH mengeluarkan kebijakan membatasi kenaikan impor bensin non-subsidi swasta 10% dari volume penjualan 2024. Pemerintah mengatakan bahwa tujuan kebijakan ini untuk menekan defisit transaksi migas dan mendorong pemanfaat optimal sumber daya dalam negeri.

Namun, kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran Kementerian ESDM Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 tanggal 17 Juli 2025 ini dinilai berdampak pada berkurangnya alternatif pilihan bagi konsumen dan memperkuat dominasi Pertamina di pasar BBM non-subsidi (hukumonline.com, 2025).

Pemerintah juga memberi Pertamina kewenangan utama untuk mengimpor dan mendistribusikan BBM melalui kebijakan satu pintu (one-gate policy). Pembatasan kuota impor BBM lewat mekanisme ini menciptakan paradoks karena bertentangan dengan tujuan efisiensi ekonomi dan prinsip keadilan pasar. Meski diklaim untuk menjaga pasokan dan kedaulatan energi, yang terjadi justru kelangkaan dan menguatnya monopoli Pertamina.

Fenomena ini menunjukkan secara jelas bahwa kebijakan publik memang penuh paradoks—tujuannya sering saling bertentangan dan tidak lepas dari kepentingan tertentu.

Paradoks Kebijakan

Untuk menganalisis kebijakan ini dan menunjukkan kontradiksinya, penulis menggunakan teori Policy Paradox dari Deborah Stone. Stone menegaskan bahwa kebijakan publik tidak pernah sepenuhnya netral atau rasional karena selalu dibuat dalam arena politik yang dipenuhi nilai, simbol, dan kepentingan yang saling bertentangan (Stone, 1988). Ia mengidentifikasi empat dimensi paradoks utama dalam kebijakan publik: keadilan, efisiensi, keamanan, dan kebebasan.

Melalui empat dimensi inilah penulis ingin menunjukkan paradoks dalam kebijakan pembatasan impor BBM oleh pemerintah Indonesia. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa tingginya impor minyak untuk kebutuhan dalam negeri membuat negara kehilangan devisa sekitar Rp 776 triliun setiap tahun (cnbcindonesia.com, 2025). Pemerintah kemudian menggunakan data ini untuk membenarkan kebijakan pembatasan kuota impor bagi pihak swasta.

Dengan dalih menjaga devisa, keadilan pasar dikorbankan dan pelaku swasta tidak lagi bisa bersaing secara setara. Paradoks ini sejalan dengan pandangan Stone bahwa data dan statistik sering dipilih secara selektif untuk memperkuat posisi politik. Angka bukan sekadar fakta objektif, tetapi juga alat legitimasi kebijakan.

Selain untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan, kebijakan ini diklaim pemerintah bertujuan memenuhi kebutuhan BBM masyarakat. Namun kenyataannya, justru terjadi kelangkaan. Kepala Biro Humas dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, menjelaskan bahwa hasil analisis KPPU menunjukkan pembatasan impor berdampak pada operasional badan usaha swasta yang selama ini bergantung penuh pada impor. Akibatnya, konsumen kehilangan pilihan produk BBM non-subsidi yang memadai (hukumonline.com, 2025).

Paradoks ini memperlihatkan bahwa meski pemerintah membingkai kebijakan tersebut sebagai pro-rakyat, hasilnya malah membatasi pilihan masyarakat dan mengancam kebebasan ekonomi.

Setelah rapat dengan para pengelola SPBU swasta pada 19 September, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengumumkan “solusi” untuk mengatasi kelangkaan BBM: SPBU swasta boleh mengimpor BBM menggunakan kuota milik Pertamina (katadata.co.id, 2025). Namun, alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini justru memperkuat dominasi Pertamina dan memperlihatkan bagaimana Pertamina menggunakan kewenangan negara untuk mengambil pasar swasta.

Ironisnya, kebijakan ini tampak bermoral di permukaan, tetapi menyimpan kepentingan tertentu dari pemerintah dan Pertamina. Seperti yang dikatakan Stone, kebijakan publik bukan sekadar hasil perhitungan rasional, tetapi merupakan arena politik yang dipenuhi nilai, simbol, dan konflik kepentingan.

Paradoks ini menunjukkan bahwa kebijakan publik bisa menjadi alat untuk mempertahankan dominasi institusi tertentu atas nama kepentingan rakyat.

Krisis Kepercayaan Publik

Setelah kasus BBM oplosan, kepercayaan publik terhadap Pertamina turun tajam dan banyak konsumen beralih ke SPBU swasta untuk BBM non-subsidi. Penjualan BBM di SPBU swasta bahkan naik hingga 91% dibanding tahun sebelumnya, sementara penjualan BBM non-subsidi Pertamina hanya tumbuh 14%. Ini menunjukkan pangsa pasar Pertamina semakin tertekan, terutama di wilayah seperti Jakarta yang memiliki banyak SPBU non-Pertamina (katadata.co.id, 2025).

Namun alih-alih membenahi internal dan menindak praktik korupsi, pemerintah justru memproteksi Pertamina lewat pembatasan impor BBM oleh swasta dengan alasan kedaulatan dan keamanan energi. Jika benar demi keamanan energi, mengapa kebijakan ini justru mengancam iklim investasi?

Kebijakan ini terlihat lebih membatasi fleksibilitas swasta untuk memenuhi kebutuhan konsumen daripada menjaga ketahanan energi nasional. Inilah paradoksnya: kebijakan yang diklaim demi keamanan negara malah mengorbankan masyarakat dan pelaku usaha.

Di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini bukan untuk membatasi swasta, tetapi untuk menjaga agar mekanisme impor tetap terkendali. “Kalau ada yang melihat kebijakan ini sebagai monopoli, justru saya melihatnya sebagai upaya stabilisasi,” ujar Immanuddin Hamid, pengamat kebijakan publik dan alumni UI.

Ia menilai pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara kebutuhan energi masyarakat dan ketahanan ekonomi nasional. “Memberikan kepercayaan kepada BUMN energi seperti Pertamina adalah langkah mitigasi agar negara tetap mengendalikan komoditas vital seperti minyak bumi,” katanya (native.kontan.co.id, 2025).

Namun, argumen ini justru menunjukkan semakin jelasnya paradoks dalam kebijakan pembatasan impor tersebut. Memberikan kewenangan penuh kepada Pertamina untuk mengendalikan komoditas vital seperti BBM merupakan kebijakan yang paradoks. Tujuan yang disampaikan pemerintah justru tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Ada kontradiksi antara harapan dan hasil kebijakan, sehingga kebijakan ini terkesan menutupi kepentingan tertentu atau menunjukkan lemahnya perencanaan pemerintah.

Menurut teori Policy Paradox Stone (1988), tampak adanya paradoks antara pengelolaan impor dan keadilan ekonomi. Kebijakan yang dimaksudkan untuk menjaga ketahanan energi dan memenuhi kebutuhan masyarakat malah berpotensi menghilangkan kompetisi dan kebebasan pasar. Kepercayaan penuh kepada Pertamina justru dapat membatasi akses masyarakat pada sumber energi alternatif.

Selain itu, kebijakan ini membuat pihak swasta harus membeli produk Pertamina yang mungkin tidak sesuai standar mereka, sehingga kebebasan ekonomi dan hak masyarakat untuk memilih produk menjadi terkorbankan atas nama ketahanan energi nasional.

Implikasi dan refleksi Kebijakan ini juga dapat dilihat sebagai cara pemerintah menghabiskan sisa kuota impor Pertamina sebesar 34% atau sekitar 7,52 juta kiloliter yang belum terpakai akibat kasus pengoplosan.

Sikap pemerintah, melalui PT Pertamina, yang enggan menambah kuota impor bagi perusahaan minyak swasta seperti Shell dan BP menunjukkan kecenderungan predatoris. Keputusan ini mungkin dapat diterima jika Pertamina mampu memberikan layanan dan kualitas bahan bakar yang baik. Namun faktanya, Pertamina justru disebut terlibat skandal besar pengoplosan pertamax dan pertalite (theconversation.com, 2025).

Dalam praktik politik, kebijakan sering tampak rasional secara formal, tetapi justru menghasilkan kontradiksi dalam pelaksanaannya. Maka dari itu penting untuk selalu melihat kebijakan publik sebagai sebuah arena pertarungan kepentingan, keyakinan, dan berbagai macam bias.

Kebijakan publik tidak lahir serta merta dari proses yang rasional dan polos, Ia selalu di konstruksi oleh yang berkepentingan. Memaknai kebijakan publik sebagai proses yang linear adalah sebuah kesalahan fatal bagi setiap analis kebijakan publik.

Tag:  #paradoks #kebijakan #pembatasan #kuota #impor #swasta #indonesia

KOMENTAR