Tragedi Irene, Sinyal Darurat dari Papua
Gubernur Papua, Matius Derek Fakiri (MDF) melakukan kunjungan ke Kampung Hobong, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Jumat (21/11/2025) dan bertemu langsung dengan pihak keluarga almarhum Irene Sokoy yang ditolak oleh pihak rumah sakit saat hendak melahirkan hingga meninggal.(KOMPAS.COM/HUMAS PEMDA PAPUA)
08:06
25 November 2025

Tragedi Irene, Sinyal Darurat dari Papua

JIKA layanan kesehatan gagal menyelamatkan nyawa, apa makna dari pelayanan itu sendiri? Pertanyaan ini menggugah kita untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam, dan menyadari bahwa ada sesuatu yang sangat mendesak untuk diperbaiki dalam sistem layanan kesehatan yang seharusnya melindungi kita.

Tragedi yang menimpa seorang ibu dan bayinya di Jayapura baru-baru ini bukan sekadar berita duka yang lewat begitu saja di halaman media. Peristiwa ini menyingkap secara telanjang betapa rapuhnya tata kelola layanan publik kita, terutama di sektor kesehatan yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan hidup.

Di ruang yang mestinya menjadi tempat manusia menemukan pertolongan, kita justru menyaksikan bagaimana prosedur dan birokrasi mengambil alih, mengalahkan akal sehat dan empati. Ketika nyawa tidak lagi menjadi prioritas utama, itu bukan lagi sekadar kesalahan teknis melainkan tanda bahwa ada sesuatu yang sangat keliru dalam cara negara bekerja.

Kasus ini, yang melibatkan Irene Sokoy, seorang ibu hamil dari Kampung Hobong, Kabupaten Jayapura, menggambarkan bagaimana sistem kesehatan gagal di titik paling kritis. Irene dan bayinya meninggal setelah dioper sini-sana ke empat rumah sakit, sebuah fakta yang memicu reaksi dari gubernur hingga parlemen. Ini bukan insiden terisolasi, tapi sinyal darurat yang menuntut perubahan mendalam.

Fakta di Balik Tragedi

Irene Sokoy, seorang ibu hamil yang hendak melahirkan, tiba di rumah sakit dalam kondisi darurat. Namun, ia ditolak oleh empat fasilitas kesehatan di Jayapura: RSUD Yowari, RSUD Abepura, RS Bhayangkara, dan RS Dian Harapan.

Alasan penolakan pun beragam dan membuat kita hanya bisa menggelengkan kepala: mulai dari ruang perawatan yang disebut penuh, ketiadaan dokter spesialis, renovasi ruang operasi, hingga kekhawatiran soal pembiayaan karena pasien dianggap tidak mampu menanggung biaya kamar rawat inap.

Keluarga memohon agar tindakan medis didahulukan dan administrasi menyusul, tapi ditolak, sehingga Irene Sokoy akhirnya meninggal dunia bersama bayi yang dikandungnya.

Respons datang dari Gubernur Papua, Mathius Derek Fakhiri, yang meminta maaf secara terbuka dan mengancam mencopot dua direktur rumah sakit terkait, menyebutnya sebagai "kebodohan luar biasa" akibat "sekat-sekat" dalam sistem pelayanan. Sementara itu, DPD RI dan DPR mendesak Kementerian Kesehatan untuk investigasi menyeluruh, menyoroti bagaimana kasus ini mencerminkan diskriminasi terhadap warga Papua dalam akses layanan kesehatan.

Fakta ini bukan hanya statistik, tapi cerita nyata tentang bagaimana prosedur administratif menghalangi penyelamatan jiwa.

Ada apa di Balik Alasan "Fasilitas Penuh"?

Alasan "fasilitas penuh" sering kali menjadi dalih klasik rumah sakit untuk menolak pasien, tapi dibalik itu tersembunyi masalah yang lebih dalam: diskriminasi ekonomi dan kegagalan manajemen. Di Indonesia, termasuk Papua, penolakan seperti ini kerap menarget pasien BPJS Kesehatan atau warga miskin, karena rumah sakit khawatir dengan keterlambatan pembayaran dari BPJS atau biaya rendah yang diterima.

Dalam kasus Irene Sokoy, keluarga dihadapkan pada tuntutan uang muka untuk kamar, meski pasien dalam kondisi darurat, yang menunjukkan prioritas keuangan mengalahkan etika medis. Data Ombudsman RI, yang menyoroti potensi maladministrasi di rumah sakit yang menolak pasien BPJS dengan rekam jejak buruk, sering kali menyembunyikan inefisiensi internal seperti kurangnya koordinasi atau alokasi sumber daya yang buruk.

Menolak atau memulangkan pasien yang masih membutuhkan pertolongan medis merupakan bentuk telanjang maladministrasi layanan kesehatan. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, tapi pelanggaran mendasar terhadap hak hidup dasar warga negara.

Fasilitas kesehatan jelas melanggar regulasi jika menolak pasien dalam kondisi gawat darurat, merujuk Pasal 174 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang secara tegas melarang penolakan pasien, meminta uang muka, atau tindakan serupa dalam situasi darurat.

Rumah sakit baik pemerintah maupun swasta tidak memiliki celah sedikitpun untuk menolak pasien dalam kondisi gawat darurat. Aturan hukum dan etika profesi sudah tegas sekali: nyawa di depan, kertas di belakang.

Dalam Pasal 174 Ayat (1) disebutkan, faskes milik pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat harus memberikan pelayanan kesehatan bagi seseorang yang mengalami situasi gawat darurat guna menyelamatkan nyawa dan mencegah terjadinya kedisabilitasan.

Kemudian, pada Pasal 174 Ayat (2) disampaikan bahwa faskes tak boleh menolak pasien dalam kondisi gawat darurat, meminta uang muka dan mendahulukan urusan administratif lebih dulu, sehingga menunda pelayanan kesehatan. Sementara itu, Pasal 275 Ayat (1) berisi kewajiban tenaga medis dan nakes memberikan pertolongan pertama pada pasien dalam keadaan gawat darurat dan atau situasi bencana.

Pelanggaran pasal ini bukan sekadar maladministrasi, melainkan tindak pidana yang dapat dijerat sanksi penjara dan denda miliaran rupiah.

Aturan ini tidak memberi ruang kompromi—tidak ada alasan “ruang penuh”, “dokter tidak ada”, atau “BPJS belum cair” yang boleh menghalangi pertolongan segera. Jika nyawa sudah di ujung tanduk, satu-satunya jawaban yang sah adalah membuka pintu dan menyelamatkan.

Dengan berat hati saya harus katakan bahwa sistem layanan kesehatan kita seringkali justru memperparah ketidakadilan struktural. Frasa “fasilitas penuh” kerap menjadi kode halus untuk menolak pasien dari kelompok miskin, kurang mampu, atau yang dianggap tidak menguntungkan secara finansial.

Seperti yang dialami warga Papua dalam kasus ini. Mereka sudah sejak lama menghadapi jurang akses yang sangat lebar. Ini bukan sekadar soal kekurangan sumber daya, melainkan bentuk kekerasan struktural: birokrasi dan kepentingan ekonomi dibiarkan mengorbankan nyawa manusia.

Di Papua, tantangan logistik dan minimnya tenaga medis memang nyata, tetapi alasan “penuh” sering kali hanya kedok untuk sikap diskriminatif—pasien non-komersial atau pengguna BPJS dianggap beban, bukan prioritas.

Tanpa sanksi yang benar-benar tegas dan mekanisme pengawasan yang hidup, termasuk penegakan aturan bahwa pasien gawat darurat wajib diterima dan ditangani seketika -- walau harus menaikkan kelas ruangan sementara atau memanfaatkan ruang darurat lain-- sistem kita akan terus mengulang tragedi yang sama.

Dari Sabang sampai Merauke, nyawa akan tetap tergelincir hanya karena alasan “ruangan penuh”, “tidak ada dokter”, atau “administrasi belum beres”. Perulangan ini bukan lagi kebetulan, melainkan pilihan diam-diam untuk membiarkan birokrasi dan kalkulasi untung-rugi mengalahkan kemanusiaan.

Jika tidak ada konsekuensi nyata bagi yang melanggar, maka undang-undang sekadar hiasan dinding, dan pintu rumah sakit akan tetap menjadi ambang kematian bagi mereka yang paling tak berdaya.

Kelemahan Sistemik

Rumah sakit, dalam kerangka regulasi maupun etika profesi, tidak punya ruang untuk menolak pasien dalam situasi gawat darurat, dan memberikan mandat tegas: layani dulu, urus administrasi kemudian. Namun, di Papua, tantangan struktural seperti kekurangan tenaga medis, fasilitas tidak merata, dan logistik yang tersendat memperburuk situasi, termasuk kegagalan rujukan yang sering tersendat.

Penolakan Irene Sokoy menunjukkan kegagalan protokol darurat, di mana SOP seharusnya memprioritaskan keselamatan pasien di atas segalanya. Jika kita merujuk pada prinsip bioetika dari Tom Beauchamp dan James Childress dalam bukunya Principles of Biomedical Ethics. prinsip beneficence (kebaikan) dan non-maleficence (tidak membahayakan) menekankan bahwa tenaga medis wajib memberikan pertolongan tanpa syarat, terutama dalam darurat, untuk mencegah kerugian lebih lanjut.

Penolakan Irene jelas melanggar ini, karena alih-alih melindungi, sistem justru mempercepat kematian. Selain itu, prinsip justice (keadilan) menuntut distribusi sumber daya kesehatan yang merata, yang di Papua sering gagal karena kesenjangan regional.

Lebih lanjut, kesehatan seharusnya dipahami bukan sekadar layanan teknis, melainkan kemampuan dasar setiap manusia untuk hidup dengan martabat. Ketika seorang ibu hamil seperti Irene tidak bisa mendapatkan pertolongan tepat waktu, negara pada hakikatnya telah mencabut kemampuan paling mendasar itu: kemampuan untuk tetap hidup.

Pembangunan yang sejati tidak diukur dari gedung rumah sakit yang megah atau alat canggih yang terpasang. Melainkan dari seberapa mampu negara menjamin warga paling rentan termasuk perempuan Papua di kampung terpencil mendapatkan hak dasar tanpa terbentur tembok birokrasi, tanpa terhenti karena pertimbangan ekonomi, dan tanpa harus memohon-mohon agar nyawanya diprioritaskan.

Kegagalan ini bukan hanya kehilangan dua nyawa, tetapi juga kegagalan negara dalam memenuhi janji paling elementer kepada rakyatnya.

Kasus ini mengungkap bahwa tragedi bukan kesalahan individu, tapi cacat sistemik yang dibiarkan berlarut, di mana akuntabilitas sering hilang dalam saling lempar tanggung jawab antara rumah sakit, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah.

Menuju Perbaikan

Tak dapat diabaikan bahwa Papua dan didaerah pelosok daerah 3T lainnya punya kendala unik, tapi justru karena itu, kita butuh kebijakan yang menyentuh akar masalah.

  • Pertama, terapkan standar zero-rejection untuk kasus darurat, didukung command center rujukan yang responsif.
  • Kedua, pemerataan tenaga medis melalui insentif dan pelatihan, agar kekurangan dokter tidak lagi jadi alasan.
  • Ketiga, pengawasan berbasis keselamatan pasien, bukan hanya administratif, dengan sanksi tegas bagi pelanggar, termasuk audit rutin untuk verifikasi klaim "fasilitas penuh".

Mengadopsi kerangka Universal Health Coverage (UHC) dari WHO, Indonesia harus memastikan layanan kesehatan tanpa kesulitan finansial bagi semua, termasuk di daerah terpencil. UHC menekankan akses universal, yang dalam konteks Papua berarti investasi infrastruktur dan koordinasi lintas sektor.

Jika diterapkan, ini bisa mencegah tragedi serupa, membangun kepercayaan publik yang runtuh.

Pada akhirnya kasus Irene Sokoy menggugah pertanyaan besar: Jika layanan kesehatan gagal menyelamatkan nyawa, apa makna pelayanan itu sendiri? Di tengah upaya membangun sistem inklusif, tragedi ini ingatkan bahwa kemajuan diukur dari kemampuan menyambut siapa pun di ambang pintu. Negara tak boleh kalah cepat dari kematian, dan kepercayaan publik harus dipulihkan melalui tindakan nyata, bukan janji semu semata.

Tag:  #tragedi #irene #sinyal #darurat #dari #papua

KOMENTAR