Modernisasi Pertahanan Indonesia: Harmonisasi Alutsista, Interoperabilitas dan Sistem Datalink Nasional
KRI Brawijaya-320 (paling depan) memimpin parade kapal TNI AL yang turut disaksikan Presiden Prabowo Subianto di Teluk Jakarta, Kamis (2/10/2025) dalam rangka HUT ke-80 TNI.(KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA)
09:54
25 November 2025

Modernisasi Pertahanan Indonesia: Harmonisasi Alutsista, Interoperabilitas dan Sistem Datalink Nasional

PADA 24 JULI 2025, dunia dikejutkan oleh konflik militer antara Kamboja dan Thailand. Serangan roket Kamboja ke wilayah Thailand segera dibalas dengan pengerahan unsur Angkatan Udara Thailand, termasuk dengan menggunakan armada F-16 Fighting Falcon-nya.

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa Asia Tenggara pun kini tidak luput dari ketegangan global. Konflik bersenjata yang terus bermunculan. Mulai dari Eropa hingga Timur Tengah, situasi ini kian menegaskan bahwa geopolitik dunia semakin tidak stabil, dan Indonesia berada di kawasan yang turut terdampak dinamika tersebut.

Sejumlah konflik militer dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca-perang Rusia–Ukraina yang terjadi sejak tahun 2022, memperlihatkan bahwa ancaman konvensional maupun non-konvensional tetap relevan, dan patut diwaspadai oleh setiap negara, termasuk Indonesia.

Kondisi ini mendorong perlunya penguatan sistem pertahanan nasional agar mampu merespons potensi ancaman terhadap kedaulatan negara.

Melihat situasi global yang tidak menentu, maka komitmen Indonesia untuk membangun sistem pertahanan yang modern dan terintegrasi menjadi semakin mendesak. Modernisasi alutsista TNI harus disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia, penguatan sinergi dengan industri pertahanan nasional, serta pengembangan interoperabilitas antar matra.

Komitmen modernisasi alutsista

Sejak menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, Prabowo Subianto, yang kini menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia, terus mendorong percepatan modernisasi sistem pertahanan nasional.

Langkah ini diwujudkan melalui berbagai pengadaan alutsista dari luar negeri, seperti 48 jet tempur Rafale dari Perancis, dua kapal Multi Role Combat Vessel KRI Brawijaya (320) dari Italia, serta rudal balistik KHAN ITBM-600 dari Turki.

Pemerintah saat ini juga berencana mendatangkan alutsista dari Tiongkok, termasuk melakukan kajian kebutuhan serta pengadaan terhadap pesawat tempur J-10 Chengdu.

Di sisi lain, penguatan industri pertahanan nasional terus didorong melalui kerja sama produksi, seperti pembangunan kapal selam Scorpene dan Frigate Merah Putih oleh PT PAL Indonesia.

Pesawat tempur Dassault Rafale pertama pesanan TNI-AU registrasi T-0301 di pabrik Dassault Aviation di Bordeaux-Mérignac, Perancis.Maciej Swidersi for KOMPAS.com Pesawat tempur Dassault Rafale pertama pesanan TNI-AU registrasi T-0301 di pabrik Dassault Aviation di Bordeaux-Mérignac, Perancis.

Selain itu, sektor galangan kapal swasta seperti Daya Radar Utama (DRU) atau Noahtu Shipyard ikut berkontribusi dalam menghasilkan produk-produk kapal Offshore Patrol Vessel (OPV) yang memiliki kemampuan tempur dan diklasifikasikan sebagai kapal eskorta. Langkah ini ditempuh sebagai upaya untuk meningkatkan kapabilitas sekaligus mengejar kemandirian industri pertahanan.

Serangkaian program modernisasi ini sejalan dengan visi besar Presiden Prabowo untuk membangun pertahanan Indonesia yang kuat dalam mendukung Asta-Cita dan Indonesia Emas 2045.

Namun, tantangan utamanya adalah memastikan bahwa setiap alutsista, baik yang didatangkan melalui pembelian luar negeri maupun yang diperoleh melalui produksi dalam negeri, dapat terintegrasi dan saling terkoneksi secara optimal. Tentunya tanpa adanya inter-operabilitas yang solid, maka modernisasi alutsista tidak akan menghasilkan efektivitas operasional yang diharapkan.

Tantangan mewujudkan interoperabilitas

Mewujudkan inter-operabilitas yang optimal di lingkungan TNI masih menghadapi sejumlah tantangan. Sistem yang ada saat ini masih terkotak dalam beberapa kluster, sementara Indonesia belum memiliki National Protokol data link maupun platform pendukung seperti Airborne Early Warning and Control (AEW&C).

Akibatnya, pertukaran data antar-sistem masih terbatas dan sebagian besar interoperabilitas hanya mengandalkan komunikasi suara. Padahal, inter-operabilitas menuntut sinkronisasi, aliran data yang lancar, konektivitas antar-sistem, serta keseragaman tujuan agar seluruh platform dapat beroperasi secara terpadu.

Keterhubungan yang baik antara platform alutsista dan markas komando sangat menentukan efektivitas battlespace management. Tanpa pertukaran data yang cepat dan integrasi sistem yang solid, pengambilan keputusan, tempo operasi, dan koordinasi di lapangan tidak dapat berlangsung optimal.

Tantangan ini dapat diatasi melalui perencanaan pengadaan yang tepat sasaran, pembangunan infrastruktur yang terarah, pemeliharaan yang konsisten, penyederhanaan logistik, peningkatan kemampuan SDM, optimalisasi peran industri pertahanan nasional, serta kerja sama pelatihan luar negeri untuk memperkuat adaptasi teknologi dan doktrin tempur prajurit TNI.

Penguatan ekosistem industri pertahanan

Meskipun saat ini sejumlah program pengadaan alutsista dan pelibatan Industri Pertahanan dalam Joint Venture, Joint Production serta adanya kewajiban Offset dan Kandungan Lokal dalam program pengadaan alutsista sudah menuju ke arah yang lebih baik, perlu ada komitmen dan konsistensi yang lebih kuat terhadap implementasi Undang-Undang No. 16 tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan.

Hal ini diperlukan guna mewujudkan ekosistem industri pertahanan yang jauh lebih kuat, lebih maju, mandiri serta berdaya saing dalam mendukung pertahanan negara.

Dalam konteks interoperabilitas, penguatan industri pertahanan untuk dapat mengembangkan protokol tactical data link nasional yang dapat dimanfaatkan dan digunakan oleh TNI menjadi suatu hal yang penting, karena apabila nantinya sistem national datalink yang digunakan oleh TNI dapat dikembangkan secara mandiri artinya Indonesia tidak perlu terlalu bergantung secara berlebihan pada produk luar.

Lebih jauh, penguatan ekosistem industri pertahanan di dalam negeri yang mampu mendorong dan mendukung lead integrator nantinya dapat berdampak pada perputaran roda ekonomi.

Protokol datalink nasional

Pembangunan serta Penguatan sistem protokol nasional datalink menjadi satu hal yang krusial. Sistem nasional ini pun perlu diimplementasikan ke setiap platform alutsista yang dioperasikan TNI, baik di sektor darat, laut, maupun udara.

Tangkapan layar Radar CM 200/Shikra.dislitbang-tniad.mil.id Tangkapan layar Radar CM 200/Shikra.

Melalui adanya adopsi protokol nasional ini, maka nantinya dari manapun alutsista yang dibeli dan dioperasikan oleh Indonesia, dapat terintegrasi ke dalam satu sistem datalink nasional yang sama, serta lebih terjamin keamanannya.

Tentunya saat ini, adanya klausul khusus yang erat kaitannya dengan inter-operabilitas dan kesiapan integrasi sistem ke dalam Network Centric Warfare di Indonesia menjadi sebuah syarat wajib dan salah satu yang paling utama manakala Kementerian Pertahanan sedang menjalin negosiasi hingga mengefektifkan kontrak pengadaan alutsista baru dari berbagai negara.

Namun, selama protokol datalink nasional belum tersedia, maka diperlukan Interconnection Diagram (ICD) serta informasi protokol dari setiap produsen. Hal ini menjadi penting agar alutsista yang baru dibeli, nantinya dapat diintegrasikan dengan sistem penginderaan dan data nasional secara efektif dan cepat.

Pengembangan sistem inter-operabilitas maupun protokol datalink nasional harus memiliki standar yang sudah disesuaikan dan berlaku untuk seluruh platform alutsista yang dioperasikan TNI.

Sehingga, dari manapun asal alutsista yang dibeli oleh Indonesia harus sesuai dengan standar nasional yang sudah ditetapkan sebelumnya. Selama ini, penekanan hanya di komunikasi suara yang sulit dilaksanakan jika berasal dari produsen serta standar enkripsi yang berbeda-beda.

Tag:  #modernisasi #pertahanan #indonesia #harmonisasi #alutsista #interoperabilitas #sistem #datalink #nasional

KOMENTAR