Andai Rakyat Bisa Mencopot Wakilnya
Ilustrasi wakil rakyat(KOMPAS/RADITYA HELABUMI)
12:48
23 November 2025

Andai Rakyat Bisa Mencopot Wakilnya

DI negara yang mengaku berdaulat rakyat, ada ironi yang terus berulang, rakyat diberi hak memilih, tetapi tak diberi hak mencopot ketika wakilnya mulai lupa diri. Kita menyaksikan anggota dewan mangkir sidang, terseret kasus korupsi, atau abai terhadap konstituennya, namun tak satupun mekanisme yang memungkinkan publik berkata, “Berhenti, Anda tak lagi mewakili kami.”

Kursi kekuasaan yang seharusnya tunduk pada kehendak rakyat berubah menjadi tempat nyaman yang hampir mustahil digeser sebelum masa jabatan berakhir. Pertanyaannya sederhana jika rakyat yang memilih, mengapa bukan rakyat pula yang berhak mencopot?

Di tengah kekecewaan yang menumpuk, gagasan recall kembali relevan bukan sebagai sekadar opsi teknis, tetapi sebagai upaya mengembalikan martabat demokrasi. Sebab demokrasi tanpa koreksi hanyalah ritual lima tahunan, sementara rakyat harus menanggung konsekuensi kelalaian wakilnya setiap hari.

Mengapa Recall Diperlukan?

Wakil rakyat duduk di Senayan karena suara rakyat. Mereka bukan diangkat partai, bukan pula ditunjuk elite politik. Mandat itu datang dari masyarakat, dan karena itu masyarakat seharusnya juga punya kewenangan untuk mencabutnya ketika kepercayaan runtuh. Inilah esensi recall—sebuah mekanisme yang memungkinkan pemilih memberhentikan pejabat terpilih ketika ia gagal menjalankan tugasnya.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kegagalan representasi bukan hal langka. Data Setjen DPR mencatat tingkat kehadiran anggota DPR dalam beberapa tahun terakhir masih fluktuatif dan kerap menjadi sorotan publik. Belum lagi berbagai kasus korupsi yang menjerat legislator, termasuk yang melibatkan penyalahgunaan dana reses atau gratifikasi terkait fungsi pengawasan.

Ketidakhadiran sistematis dalam sidang, minim kontribusi terhadap legislasi, hingga ketiadaan laporan dana reses yang jelas merupakan bentuk nyata abainya wakil terhadap amanah publik. Namun selama masa jabatan lima tahun itu belum usai, rakyat tak punya alat legal untuk menghentikan kerusakan.

Mekanisme korektif seperti ini justru yang membuat demokrasi di banyak negara tetap sehat. Amerika Serikat, Kanada, Swiss, hingga beberapa negara Afrika sudah mempraktekkan recall sebagai bagian dari sistem akuntabilitas pejabat publik. Prinsipnya jelas: kekuasaan tidak boleh dibiarkan tanpa kontrol.

Demokrasi yang matang membutuhkan dua hal: keterpilihan (elektabilitas) dan pertanggungjawaban berkelanjutan (akuntabilitas) Indonesia sudah memiliki yang pertama, tetapi tertinggal dalam yang kedua.

Secara teoritis, dasar recall sebenarnya telah diletakkan oleh pemikir besar dalam teori kontrak sosial. John Locke menegaskan bahwa rakyat berhak mengganti pemimpin ketika ia bertindak melawan kepentingan publik. Rousseau menyebutnya sebagai bentuk “penarikan kembali kedaulatan”.

Dalam kerangka modern, teori principal-agent menjelaskan hal yang sama: rakyat adalah pemberi mandat, wakil rakyat hanyalah pelaksana. Jika pelaksana melenceng, mandat dapat dicabut.

Demokrasi Justru Lebih Sehat

Menerapkan recall bukanlah ancaman bagi stabilitas politik. Justru sebaliknya: ia menegakkan disiplin etik dalam lembaga perwakilan. Bayangkan sebuah mekanisme yang memungkinkan pencopotan wakil rakyat jika minimal 50 persen pemilih di satu daerah pemilihan menandatangani petisi. Ambang batas 50% cukup tinggi ini menjadi filter alami agar recall tidak disalahgunakan oleh kelompok kecil atau kepentingan politik jangka pendek.

Begitu dukungan tercapai, pemberhentian berlaku otomatis tanpa lagi harus melakukan pemilihan ulang yang memakan biaya besar. Kursi yang kosong dapat diisi oleh calon legislatif peraih suara terbanyak kedua. Skema ini menghormati pilihan pemilih sekaligus menjaga efisiensi anggaran negara. Tidak ada ruang bagi manipulasi internal partai, karena posisi digantikan oleh sosok yang memang sudah memperoleh legitimasi publik saat pemilu.

Recall juga menjadi insentif bagi anggota dewan untuk bekerja sungguh-sungguh. Mereka sadar bahwa mandat bukan hadiah lima tahun, melainkan penugasan yang bisa hilang kapan saja jika mereka abai. Rakyat pun tidak lagi menjadi penonton pasif, tetapi pengawas aktif yang mampu menjaga integritas kekuasaan.

Kenyataannya, mekanisme pemecatan anggota dewan saat ini sepenuhnya berada di tangan partai politik melalui Penggantian Antar Waktu (PAW). Publik yang memberi mandat justru tidak dianggap sebagai pihak yang berwenang menilai kinerja wakilnya selama periode berjalan. Situasi ini menciptakan jarak antara pemilih dan yang dipilih. Jarak yang semakin lebar setiap kali muncul kasus pelanggaran etik tanpa konsekuensi nyata.

Jika demokrasi ingin tumbuh dewasa, ia harus memberi ruang bagi rakyat untuk memperbaiki kesalahan pilihannya sendiri. Recall bukan alat balas dendam politik, tetapi sarana penyembuh kelembagaan. Ia berfungsi sebagai vitamin bagi sistem perwakilan: menyehatkan, memperkuat, dan memastikan bahwa wakil rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat.

Sudah saatnya Indonesia membuka ruang diskusi yang lebih serius dan komprehensif mengenai mekanisme ini. Demokrasi tidak boleh berhenti di bilik suara. Demokrasi hidup setiap hari di ruang publik, di kampung-kampung, di antara percakapan warga melalui suara rakyat yang terus menjaga integritas kekuasaan.

Pada akhirnya, demokrasi tidak hanya ditentukan oleh seberapa baik kita memilih, tetapi seberapa serius kita menjaga pilihan itu tetap berada di jalur yang benar. Recall bukan sekadar instrumen hukum, ia adalah pengingat bahwa kedaulatan rakyat tidak berhenti di hari pemungutan suara. Ia hidup dari kemampuan publik untuk mengoreksi, mengawasi, dan menegur ketika kekuasaan mulai berjalan sendiri.

Bila kita sungguh percaya bahwa kursi-kursi di Senayan berasal dari suara rakyat, maka sudah sewajarnya rakyat pula yang memiliki kewenangan untuk mengambilnya kembali. Sebab demokrasi hanya akan bernilai ketika suara rakyat tidak hanya didengar saat kampanye, tetapi tetap berdaulat sepanjang waktu.

Tag:  #andai #rakyat #bisa #mencopot #wakilnya

KOMENTAR