Tanggapi Gugatan UU MD3, Komisi II: Rakyat Sudah Berwenang Pecat DPR Setiap 5 Tahun
- Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima menyebut rakyat sudah memiliki kewenangan untuk mengganti anggota DPR melalui pemilu setiap lima tahun sekali.
Hal itu disampaikan Bima saat menanggapi adanya gugatan Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK), yang meminta agar rakyat dapat memberhentikan anggota DPR RI.
“Rakyat bisa menghentikan anggota DPR, (tapi) per 5 tahunan. Per 5 tahunan. DPR ini kan lembaga, DPR ini kan bukan perorangan, keputusannya kan Alat Kelengkapan Dewan, termasuk masa waktu jabatan anggota Dewan,” kata Bima, saat ditemui di Gedung DPR RI, Jumat (21/11/2025).
Politikus PDI-P itu mengingatkan, keputusan di DPR tidak diambil oleh individu, melainkan oleh lembaga melalui fraksi dan posisi anggota di alat kelengkapan dewan.
Oleh karena itu, lanjut Bima, usulan agar anggota DPR bisa diberhentikan langsung oleh rakyat di tengah masa jabatan tidak akan berdampak apapun terhadap pengambilan keputusan atau penyusunan kebijakan di parlemen.
“Seorang anggota itu tidak bisa menjadi hal yang mempengaruhi keputusan DPR. Yang mempengaruhi di sini adalah keputusan lembaga dengan alat kelengkapan yang ada, terutama fraksi dan pokso di masing-masing alat kelengkapan,” tutur dia.
Bima meyakini, munculnya permintaan agar publik bisa mengganti anggota DPR secara langsung tidak terlepas dari persepsi buruk masyarakat terhadap kinerja parlemen.
Namun, pimpinan Komisi II DPR RI itu menilai tuntutan tersebut tidak memenuhi prasyarat sistem ketatanegaraan.
“Saya kira itu ide-ide yang mungkin hanya sebagai akibat narasi-narasi yang saat ini persepsi publik ini DPR begitu buruknya. Tapi, kalau dicermati lebih dalam tentang keinginan itu dengan fungsi kinerjanya, itu tidak memenuhi prasyarat-prasyarat untuk bisa diganti secara perorangan,” kata dia.
Menurut Bima, mekanisme pergantian anggota DPR yang paling relevan adalah melalui pemilu berikutnya.
Pada momentum tersebut, partai, fraksi, dan individu caleg akan dievaluasi langsung oleh pemilih.
“Rakyat diberikan kewenangan untuk mengganti itu per 5 tahunan, baik dalam konteks fraksi akan diadili, partai akan diadili, perorangan pun akan diadili. Aryo Bima tidak akan bisa menjabat 5 periode kalau setiap periodenya itu tidak menunjukkan kinerja baik dalam konteks fungsi DPR maupun kedekatan dengan para pemilihnya,” ucap dia.
Bima pun turut menanggapi kritik para penggugat UU MD3 yang menilai mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) terlalu eksklusif karena sepenuhnya berada di tangan partai politik.
Dia menegaskan bahwa sistem pemilu legislatif di Indonesia memang menjadikan partai sebagai peserta utama pemilu.
“Peserta pemilu legislatif itu adalah partai politik. Peserta pemilu presiden itu adalah perorangan yang diusung partai politik. Kemudian peserta pemilu dan perwakilan daerah itu perorangan,” ujar dia.
Aria menerangkan, konstitusi secara tegas menetapkan pemilu legislatif berbasis partai, sehingga recall akan selalu berada dalam ranah kelembagaan partai politik.
“Karena konstitusinya memang partai politik, kalau terpaksa tertutup tidak pakai nama pun bisa, karena konstitusinya peserta pemilu legislatif adalah institusi partai politik,” kata dia.
Bima menambahkan, munculnya kekecewaan masyarakat terhadap mekanisme recall itu tidak terlepas dari lemahnya kualitas rekrutmen politik partai.
Untuk itu, dia berpandangan bahwa upaya perbaikan seharusnya dimulai dari partai politik sebagai pintu masuk para calon anggota legislatif menuju DPR.
“Kalau pengen DPR ini bagus perbaiki partai politiknya, kader-kader yang bagus,” kata Bima.
Dia mencontohkan bahwa pada masa lalu banyak profesional seperti dosen dan birokrat bisa masuk ke DPR dengan mekanisme cuti tanpa harus melepas profesinya.
Menurut dia, pola seperti itu dapat memperkuat kualitas anggota legislatif.
“Dulu ada Pak Amien Rais, dulu ada Pak JE Sahetapy, dulu banyak-banyak dosen itu jadi anggota DPR, selesai jadi anggota DPR balik lagi ke kampus. Kalau sekarang harus keluar, ya kualitasnya jadi jelek,” ucap Aria.
Aria menegaskan bahwa mekanisme demokrasi tetap harus berbasis partai politik, bukan jalur perseorangan di luar sistem.
“Kalau ada yang buruk ya bikin partai yang baik, jangan sistemnya dihancurkan. Sulit perorangan tanpa partai politik ikut legislatif, mekanismenya jadi repot undang-undangnya, saya kira itu,” pungkas dia.
Diberitakan sebelumnya, lima mahasiswa menggugat Pasal 239 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kelima Pemohon dalam Perkara Nomor 199/PUU-XXIII/2025 tersebut adalah Ikhsan Fatkhul Azis (Pemohon I), Rizki Maulana Syafei (Pemohon II), Faisal Nasirul Haq (Pemohon III), Muhammad Adnan (Pemohon IV), dan Tsalis Khoirul Fatna (Pemohon V).
Mereka mempersoalkan mekanisme pemberhentian anggota DPR melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD).
Kelimanya pun meminta adanya mekanisme untuk rakyat bisa memberhentikan wakilnya di parlemen.
"Permohonan a quo yang dimohonkan oleh Para Pemohon tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah. Para Pemohon tidak menginginkan ada lagi korban jiwa akibat kebuntuan kontrol terhadap DPR," ujar Ikhsan yang hadir secara daring, dikutip Rabu (19/11/2025).
Tag: #tanggapi #gugatan #komisi #rakyat #sudah #berwenang #pecat #setiap #tahun