Penghapusan Kelas di BPJS Kesehatan, Apa Kendalanya?
- Rencana penghapusan kelas dalam layanan rawat inap BPJS Kesehatan atau penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) hingga kini belum dijalankan secara menyeluruh.
Sejumlah kendala, mulai dari kesiapan rumah sakit, kebutuhan renovasi ruang perawatan, hingga potensi perubahan besar pada tarif iuran membuat implementasinya terhambat.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sejak awal menegaskan bahwa sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam BPJS Kesehatan tidak lagi relevan.
“Kita lihat yang kelas 3 ini mau kita standarkan, sehingga jangan terlalu dibedakan dong antara kelas 3, kelas 2, kelas 1 minimalnya. Ini kita mau standarkan," ujar Budi.
Melalui KRIS, pemerintah ingin menyeragamkan pelayanan rawat inap agar tidak ada pembedaan antara peserta berdasarkan kemampuan ekonomi.
Aturan ini rencananya akan dijalankan pada pertengahan tahun ini, namun Kemenkes masih mempertimbangkan tarif mana yang akan menjadi standar tunggal.
"BPJS sebagai asuransi sosial itu harus menanggung seluruh 280 juta rakyat Indonesia tanpa kecuali, jadi dengan layanan minimalnya berapa. Sehingga kalau ada dia mendadak sakit, siapa pun dia, kaya, miskin, di kepulauan atau di mana, dia juga bisa terlayani," jelas Budi.
"Kita harus memaksa juga semua layanan RS untuk memberikan layanan yang lebih baik ke 280 juta rakyat," ucap Budi.
Menkes Budi Gunadi saat menghadiri kegiatan di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Minggu (9/11/2025)
Apa kendala penghapusan kelas?
Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Noor Arida Sofiana mengatakan pelaksanaan KRIS yang sejatinya dimulai 1 Juli akhirnya diundur hingga 31 Desember 2025.
“Kelas standar KRIS sepertinya (akan) tetap berjalan, kami menunggu regulasinya yang sempat tertunda yg seharusnya dilaksanakan tanggal 1 juli akan diundur sampai 31 desember 2025,” ujarnya.
“Kami menunggu regulasi dan juknis (petunjuk teknis) KRIS dari Kemenkes untuk kapan dimulai penerapannya,” ungkap dia.
Rumah sakit, kata Noor, membutuhkan investasi besar untuk menyamakan standar ruang perawatan.
Padahal tidak semua memiliki lahan tambahan untuk renovasi maupun modal untuk membangun ulang ruang rawat inap.
Anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (4/3/2025).
Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani Chaniago, menilai hambatan terberat berasal dari kesiapan fisik rumah sakit itu sendiri.
“Sampai saat ini belum seluruh RS punya lahan dan anggaran untuk renovasi,” kata Irma kepada Kompas.com, Minggu (16/11/2025).
Menurutnya, jika pemerintah memaksa penghapusan kelas, maka akan ada konsekuensi besar terhadap tarif iuran karena fasilitas yang dibutuhkan meningkat.
“Selain itu BPJS satu kelas pasti membawa konsekuensi kenaikan dan penyesuaian tarif iuran,” lanjutnya.
Biaya penyatuan kelas dan nasib peserta kelas 1
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengkritik kebijakan penyatuan kelas.
Menurutnya, sistem KRIS satu ruang perawatan akan memicu persoalan baru, terutama bagi rumah sakit yang menjadi ujung tombak layanan.
“Menghapus kelas 1, 2, 3 itu kan butuh banyak hal yang harus dipersiapkan. Rumah sakit harus merenovasi banyak ruangan, dan itu butuh modal besar,” tegas Timboel.
Dari sisi peserta, penyatuan kelas diprediksi akan menggerus kepuasan, terutama peserta pekerja penerima upah (PPU) yang selama ini memilih kelas 1 karena kenyamanan layanan non-medis.
“Mereka membayar lebih besar, tapi nanti dapat layanan yang sama. Itu menurunkan manfaat non-medis,” katanya.
Timboel juga memperingatkan dampak psikologis dan finansial. Jika kelas disatukan tetapi iuran tetap tiga tingkat, peserta kelas 1 dan 2 dinilai akan turun kelas karena tidak lagi melihat manfaat atas pembayaran lebih tinggi.
“Logikanya enggak masuk. Kalau ruang perawatannya sama, semua bisa saja turun ke kelas 3. Itu berisiko besar bagi keberlangsungan JKN,” ungkap dia.
Timboel menegaskan bahwa yang perlu diperbaiki bukan struktur kelas, tetapi mutu layanan medis, seperti obat-obatan yang harus tersedia, alat kesehatan diberikan tanpa biaya tambahan, dan pasien tidak boleh dipulangkan sebelum layak.
“Yang penting bagaimana pelayanan medisnya aja tidak boleh pulang dalam kondisi belum layak pulang,” tegasnya
Tujuan dinilai belum jelas
Pengamat kebijakan publik dari UGM, Wahyudi Kumorotomo, mempertanyakan tujuan penghapusan kelas.
“Penghapusan kelas layanan RS untuk pasien yang dijamin oleh BPJS memang belum jelas tujuannya,” kata dia.
Guru Besar Fisipol UGM Prof Wahyudi Kumorotomo saat di acara Pojok Bulaksumur di UGM, Rabu (15/01/2025).
Ia mengingatkan bahwa sistem rujukan berjenjang yang sudah berjalan semestinya mampu mengendalikan biaya layanan kesehatan tanpa harus menghapus kelas.
“Upaya membangun efisiensi harus dilakukan melalui perbaikan manajemen rumah sakit dan tata kelola BPJS, bukan dengan menyeragamkan ruang rawat inap,” kata dia.
Dia mengatakan, sistem rujukan (referral) berdasarkan jenjang layanan fasilitas kesehatan (dari Faskes primer atau Puskesmas, ke RSUD kelas D, kelas C, Kelas B, dan kelas A) bertujuan agar tidak terjadi adverse selection atau seleksi yg berlawanan sehingga bikin rugi.
“Pasien menuntut untuk langsung ke RS besar, padahal hanya sakit flu, misalnya. Ini sudah mulai bisa dilembagakan, seharusnya tidak ada lagi defisit di BPJS jika ini sudah bisa berjalan,” ungkapnya.
“Manajemen di RS dan tatakelola di BPJS harus terus disempurnakan sehingga mampu menjamin hak semua warga tentang kesehatan,” tegasnya.