Indonesia dan Janji Keadilan dalam KUHP Baru
Ilustrasi hukum(Pexels/KATRIN BOLOVTSOVA)
12:14
13 November 2025

Indonesia dan Janji Keadilan dalam KUHP Baru

“...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum...” - Pembukaan UUD 1945.

TAHUN depan, tepatnya pada Januari 2026, Indonesia akan memasuki babak baru dalam sejarah hukumnya: pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Konstitusi menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” (Pasal 1 ayat [3] UUD 1945). Frasa singkat ini bukan sekadar formula normatif, tetapi janji konstitusional bahwa kekuasaan di republik ini tidak boleh melampaui hukum, dan hukum tidak boleh kehilangan jiwa keadilannya.

Dalam semangat itu, lahirlah KUHP baru — tonggak monumental yang menandai upaya bangsa menunaikan janji konstitusional yang tertunda lebih dari satu abad.

KUHP baru bukan sekadar revisi teknis, melainkan manifestasi cita hukum nasional yang berakar pada Pancasila, menghormati martabat manusia, dan menegaskan kedaulatan hukum Indonesia yang mandiri.

Selama lebih dari seratus tahun, sistem hukum pidana kita hidup dalam bayang-bayang Wetboek van Strafrecht (WvS), produk kolonial Belanda 1918 yang berorientasi pada kekuasaan, bukan keadilan.

Kini, dengan lahirnya KUHP nasional, Indonesia menyatakan kemerdekaan sejatinya: bahwa kedaulatan bangsa tidak hanya diukur dari wilayah dan bendera, tetapi juga dari sistem hukum yang lahir dari jiwa bangsanya sendiri.

Dekolonisasi dan Epistemologi Baru Hukum

Hukum pidana kolonial dibangun di atas logika penundukan. Ia menghukum bukan untuk memulihkan, melainkan untuk mengendalikan.

Karena itu, penyusunan KUHP baru adalah langkah epistemologis dan ideologis — upaya merebut kembali cara berpikir hukum agar berpijak pada nilai-nilai bangsa, bukan pada paradigma kolonial yang menempatkan manusia sebagai objek kekuasaan.

KUHP baru dengan tegas menggeser pusat orientasi hukum pidana: dari law of domination menuju law of humanity.

Ia membuka jalan bagi nasionalisme hukum, di mana nilai lokal, hukum adat, dan living law diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

Dengan demikian, KUHP baru tidak hanya menjadi kumpulan pasal, melainkan pernyataan dekolonisasi hukum Indonesia: keberanian untuk berpikir dan menegakkan hukum sesuai kepribadian bangsa.

Pancasila menjiwai arah moral dan ideologis KUHP baru. Hukum tidak lagi semata-mata menjadi mekanisme represif, tetapi instrumen edukatif dan korektif sosial yang menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab bersama.

Tiga asas utama menegaskan orientasi baru itu:

Pertama, asas keseimbangan, yang menuntut harmoni antara kepentingan individu, masyarakat, dan negara.

Kedua, asas legalitas yang kontekstual, yang memberi ruang pengakuan terhadap hukum adat dan nilai lokal sebagai sumber hukum pidana.

Ketiga, keadilan restoratif, yang menempatkan musyawarah dan pemulihan relasi sosial sebagai prinsip utama penyelesaian perkara ringan.

Dengan semangat itu, KUHP baru menggeser makna pidana dari sekadar membalas menjadi memulihkan. Ia menempatkan manusia bukan sebagai objek penghukuman, tetapi sebagai subjek moral yang masih memiliki kemungkinan untuk berubah.

Perbedaan fundamental antara KUHP lama dan KUHP baru terletak pada paradigma pemidanaan. Sistem lama berakar pada retribusi — bahwa kejahatan harus dibalas dengan hukuman setimpal.

Paradigma baru menekankan restorasi dan rehabilitasi, yakni pemulihan keseimbangan sosial yang terganggu.

Pidana penjara kini menjadi ultimum remedium — pilihan terakhir. KUHP memperkenalkan bentuk-bentuk pemidanaan baru seperti pidana kerja sosial dan pidana pengawasan, terutama bagi pelaku tindak pidana ringan.

Pendekatan ini tidak hanya lebih humanis, tetapi juga solutif dalam mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.

Lebih revolusioner lagi, KUHP menata ulang pidana mati sebagai pidana bersyarat. Terpidana diberi masa percobaan sepuluh tahun untuk menunjukkan penyesalan dan perubahan.

Jika berhasil, maka hukumannya dapat diubah menjadi pidana seumur hidup. Langkah ini mencerminkan humanisasi hukum pidana, bahwa dalam kejahatan paling berat sekalipun, negara tetap memberi ruang bagi kemanusiaan untuk berbicara.

Menjawab dinamika zaman

Kehidupan sosial yang kian kompleks menuntut adaptasi hukum pidana terhadap tantangan kontemporer. KUHP baru mencoba menjawabnya secara kontekstual.

Pasal-pasal kesusilaan kini diatur dengan prinsip delik aduan absolut, agar negara tidak melampaui batas privasi warga negara.

Sementara pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden — yang sempat menjadi polemik — kini juga bersifat delik aduan, bukan delik biasa.

Lebih jauh, KUHP baru merespons era digital dan kemajuan teknologi informasi, dengan mengatur tindak pidana siber, penyalahgunaan data digital, hingga ancaman terhadap keamanan informasi.

Semua ini memperlihatkan upaya serius untuk menyelaraskan hukum pidana dengan realitas zaman, tanpa kehilangan orientasi moral Pancasila sebagai kompas etiknya.

Namun, janji keadilan KUHP baru tidak akan bermakna bila berhenti di atas kertas. Ada tiga simpul besar yang akan menentukan keberhasilannya:

Pertama, simpul sumber daya manusia dan infrastruktur. Banyak aparat penegak hukum masih terjebak dalam paradigma lama.

Tanpa pelatihan intensif dan mekanisme pengawasan yang akuntabel, gagasan progresif seperti keadilan restoratif bisa terdistorsi menjadi formalitas administratif.

Kedua, simpul sosial-kultural. Pola pikir masyarakat kita masih cenderung retributif. Banyak korban yang memandang keadilan sebagai pembalasan, bukan pemulihan.

Di sisi lain, pengakuan terhadap hukum adat membutuhkan sensitivitas tinggi agar tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.

Ketiga, simpul normatif dan kelembagaan. KUHP baru memerlukan sinkronisasi regulatif melalui peraturan pelaksana — mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Mahkamah Agung — agar pelaksanaannya tidak menimbulkan tumpang tindih antarinstansi.

Tanpa koordinasi kelembagaan dan pembaruan pola pikir, semangat dekolonisasi hukum ini bisa terjebak dalam rutinitas birokratis yang kehilangan jiwa keadilannya.

Pengesahan KUHP baru adalah momentum bersejarah: momen ketika bangsa ini berani menulis ulang sejarah hukumnya sendiri.

Namun hukum, betapapun ideal, tidak akan hidup tanpa keadilan, empati, dan integritas manusia yang menegakkannya.

Reformasi hukum pidana bukan sekadar revisi undang-undang, melainkan ujian moral bangsa. Ia menuntut kita membuktikan bahwa hukum di negeri ini bukan alat kekuasaan, melainkan jalan menuju kemanusiaan.

Sebab ukuran keberhasilan hukum bukan pada banyaknya orang yang dihukum, melainkan pada berkurangnya kejahatan dan tumbuhnya kesadaran moral di tengah masyarakat.

KUHP baru bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju peradaban hukum yang merdeka dan berkeadilan. Sebuah hukum yang tidak hanya menegakkan pasal, tetapi juga menghidupkan nurani bangsa.

Tag:  #indonesia #janji #keadilan #dalam #kuhp #baru

KOMENTAR