Pahlawan Nasional 2025: Tuan Rondahaim Saragih, Napoleon dari Tanah Batak
Foto: Sketsa wajah Tuan Rondahaim Saragih Garingging|Dok: Lukman Rudi Saragih Garingging(KOMPAS.COM/TEGUH PRIBADI)
06:48
11 November 2025

Pahlawan Nasional 2025: Tuan Rondahaim Saragih, Napoleon dari Tanah Batak

PRESIDEN Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 (sepuluh) tokoh di Istana Negara Jakarta pada 10 November 2025.

Salah satu tokoh yang diberi anugerah gelar pahlawan nasional adalah Tuan Rondahaim Saragih dari Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

Perjuangan menjadikan Tuan Rondahaim sebagai pahlawan nasional sejatinya telah berlangsung hampir tiga dekade.

Dimulai sejak era BJ Habibie pada 1999, saat menerbitkan Kepres Nomor 077/TK/1999 yang memberikan Tanda Kehormatan Bintang Jasa Utama kepada Tuan Rondahaim atas jasa kepahlawanan dalam melawan penjajah dan perannya mempertahankan kedaulatan wilayah selama pra-kemerdekaan.

Sejak saat itu, utamanya di sekitaran tahun 2010-an, pelbagai tokoh dan organisasi masyarakat Simalungun secara intens melaksanakan riset, diskusi publik dan seminar dalam memantaskan Tuan Rondahaim sebagai Pahlawan Nasional.

Dari aktivitas akademik itu, nama Tuan Rondahaim kemudian mendapatkan atensi dukungan dari Pemprov Sumatera Utara dan Pemkab Simalungun untuk diusulkan ke pemerintah pusat.

Pun sebenarnya nama Tuan Rondahaim memiliki peluang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional di tahun 2023 dan 2024 lalu.

Namun, baru berkesempatan meraih gelar pahlawan nasional tahun ini, melalui Kepres Nomor 116/TK/2025 yang ditandatangi Presiden Prabowo.

Linimasa kehidupan

Sebagai putra sulung seorang bangsawan, kehidupan Rondahaim kecil tidak pernah mudah. Ayahnya adalah Raja Raya XIII yang memimpin partuanon atau wilayah kerajaan kecil berbasis marga di Simalungun.

Jamaknya kehidupan seorang raja pada masa pra-kemerdekaan, ayahnya juga memiliki banyak puang bolon (permaisuri).

Namun, salah satu istrinya bernama Ramonta br Purba Dasuha memilih melipir dari kehidupan istana kemudian tinggal pada kawasan pertanian sederhana di desa Simandamei Simalungun.

Alasannya, Ramonta merasa tidak mendapatkan cukup perhatian dari sang raja. Selain memang sifat Ramonta yang dikenal sebagai pencemburu.

Di pemukiman yang amat sederhana itu pula pada tahun 1928, Ramonta melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Rondahaim Saragih Garingging.

Sejak usia balita, Rondahaim dididik keras oleh ibunya. Ia diajarkan bertani dan berburu layaknya masyarakat biasa.

Tidak hanya itu, sejak anak-anak ia belajar mandihar atau ilmu bela diri orang Simalungun. Praktis dengan segala kesederhaaan hidupnya, saat itu ia tidak pernah menyadari bahwa dirinya adalah putra mahkota Kerajaan Raya.

Ketika ayahnya Raja Raya XIII meninggal dunia, nama Rondahaim mulai banyak diperbincangkan masyarakat sebagai penerus tahta kerajaan. Namun, karena usianya saat itu masih 12 tahun, ia belum dipercaya memimpin kerajaan.

Akhirnya dalam meneruskan kepemimpinan Kerajaan Raya, lingkungan istana menunjuk adik dari Raja Raya XIII atau pamannya sebagai pemimpin sementara kerajaan sampai Rondahaim dianggap cukup dewasa.

Sadar akan menjadi penerus tahta Kerajaan Raya, Rondahaim mulai belajar ke banyak wilayah. Ia menghabiskan masa remajanya belajar ilmu perang dan ilmu kesaktian ke Aceh. Kemudian, belajar soal ekonomi dan pemerintahan ke Kerajaan Padang (sekarang: Kota Tebing Tinggi).

Pada 1848, pamannya yang selama ini memimpin Kerajaan Raya meninggal dunia. Saat itu terjadi dinamika di internal kerajaan ihwal penerus kepemimpinan.

Gesekan antarkeluarga kerajaan pun tak terhindarkan hingga mengakibatkan Rondahaim sempat terluka.

Namun, kematangan Rondahaim dalam menguasai ilmu bela diri, ilmu perang, ilmu pemerintahan dan ilmu ekonomi membuatnya lekas mendapatkan pengakuan bahwa dirinya adalah penerus kerajaaan.

Rondahami akhirnya ditasbihkan sebagai Tuan (raja) Raya XIV tepat kala dirinya berusia 20 tahun.

Napoleon dari Tanah Batak

Ketika dilantik menjadi Raja Raya, Tuan Rondahaim mulai berpikir melakukan ekspansi wilayah kekuasaan. Ia beranggapan selama ini Kerajaan Raya kurang dikenal karena wilayahnya terlalu kecil.

Secara perlahan ia mulai menertibkan kerajaan-kerajaan kecil di kawasan Raya hingga dalam waktu tak terlalu lama berhasil menyatukan tujuh kerajaan di bawah kendali kekuasaaanya.

Sifatnya yang antikompromi terhadap kolonial sangat memusingkan Belanda. Pasalnya, sekitar tahun 1858, Belanda mulai berpikir untuk menguasai seluruh wilayah Pantai Timur Sumatera sejak mereka menerapkan Traktat Siak atau Perjanjian Siak untuk menyatukan wilayah kerajaan-kerajaan dari Riau hingga Kesultanan Deli di Medan.

Namun, meski Simalungun masuk pada teritorial wilayah dataran tinggi Pantai Timur, secara tegas Tuan Rondahaim menolak bergabung.

Di sinilah kepiawaian Tuan Rondahaim yang memahami kondisi geopolitik kerajaan-kerajaan nusantara. Ia memanfaatkan posisi geografis Kerajaan Raya yang berada di antara Kerajaan Karo dan Kerajaan Batak.

Pun Rondahaim juga mengerti bahwa Belanda telah menghabiskan banyak sumber daya berperang di Aceh (1873) dan di Toba menghadapi Sisingamangaraja XII.

Mengetahui fakta ini, secara tegas Rondahaim menolak menandatangani pernyataan pendek (korte veklaring) untuk mengakui kekuasaan Belanda.

Di momen ini, Belanda memberinya julukan “Napoleon der Bataks” yang menyamakan sosok Rondahaim sebagai Raja Napoleon dari Perancis yang ekspansif, kejam dan penuh amarah.

Belanda sebenarnya tidak menyerah pada sosok Tuan Rondahaim. Mereka melakukan politik devide et impera (pecah belah) untuk melemahkan kekuasaan sang raja.

Namun, secara cepat Rondahaim menyadari upaya Belanda itu kemudian menertibkan pasukannya. Ia bahkan tak segan menghukum panglima militernya sendiri karena tidak patuh pada perintahnya.

Dari situ pula Tuan Rondahaim mendapatkan gelar "Tuan Raya Na Mabajan" (Tuan Raja yang kejam) karena tidak memberi ampun pada pasukan militernya yang dianggap pembangkang dan pengkhianat.

Selanjutnya, Belanda sejatinya sempat melakukan invasi ke Kerajaan Padang di Tebing Tinggi. Secara historis, Raja Padang masih memiliki hubungan silsilah darah dengan Kerajaan Raya yang dipimpin Tuan Rondahaim.

Namun, sejak awal Tuan Rondahaim memiliki pengatahuan kuat soal kelemahan kolonial dalam hal ekonomi. Ia lalu memerintahkan pasukannya membakar Gudang Tembakau miliki Belanda di Tebing Tinggi.

Tidak hanya itu, Rondahaim yang juga seorang ahli propaganda melakukan advokasi terhadap para pekerja di Gundang Rempah miliki Belanda lainnya.

Para pekerja itu atas perintah Tuan Rondahaim secara sukarela melakukan pemberontakan hingga mengakibatkan kacaunya bisnis pengiriman tembakau ke Eropa saat itu.

Pascapenyerangan di Gudang Tembakau tersebut membuat Belanda mulai berpikir kembali melakukan perang terbuka dengan Kerajaan Raya.

Belanda kemudian mengirimkan utusan untuk memulai negosiasi dengan Kerajaan Raya, tapi ditolak oleh Tuan Rondahaim yang meminta secara tegas agar Belanda tidak masuk ke wilayah yang dipimpinnya.

Tuan Rondahaim adalah sosok pemimpin yang mengabungkan kepemimpinan militer dan kemuliaan adat Simalungun dalam mengusir kolonilialisme Belanda.

Ia juga adalah pemimpin paripurna dengan keteguhan sikapnya dalam melindungi wilayah teritorial Kerajaan Raya jatuh ke tangan penjajah. Pun hingga akhir nafasnya di tahun 1891, Belanda tidak pernah bisa menguasai Kerajaan Raya di Simalungun.

Tag:  #pahlawan #nasional #2025 #tuan #rondahaim #saragih #napoleon #dari #tanah #batak

KOMENTAR