Generasi Tanpa Pahlawan
PRESIDEN kedua RI HM Soeharto telah memperoleh gelar pahlawan nasional, meski sebagian kalangan di publik menolaknya. Selain HM Soeharto, ada sembilan figur lain yang memperoleh gelar serupa dan diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025).
Namun, terkait penetapan gelar pahlawan ini, sadarkah kita bahwa hampir semua tokoh yang kita agungkan itu telah tiada, dan kini kita seperti kehilangan pahlawan yang benar-benar hadir dalam keseharian?
Indonesia seakan hidup dalam dua ruang waktu.
Kita diajarkan sejak kecil menyebut banyak nama-nama pahlawan ketika berbicara tentang perjuangan heroik merebut kemerdekaan. Para tokoh itu hadir dalam buku pelajaran, upacara bendera, patung dan baliho di alun-alun.
Namun, setelah merdeka, narasi itu seolah berhenti. Seolah sejarah kepahlawanan selesai sudah pada tahun 1945.
Kita nyatanya memang sibuk memberi gelar pahlawan pada tokoh masa lalu, tetapi tidak lagi memiliki keberanian untuk melahirkan pahlawan baru, meski kenyataan hari ini masih ada berbagai ancaman, ketidakadilan, dan luka sosial yang sama sulitnya dengan kolonialisme di masa lampau.
Di sinilah persoalannya. Pahlawan sebenarnya tidak pernah terhapus dari kehidupan, tetapi pengakuan pada mereka yang hidup hari inilah yang justru terputus.
Dulu, kita punya kejelasan dalam pemetaan siapa yang melukai, siapa yang terluka, dan siapa yang bernyali dan berdiri membela. Hari ini peta itu telah kabur.
Dalam istilah Greg Stone (2018), kita kehilangan kerangka naratif yang membedakan musuh (villain), korban (victim), dan pahlawan (hero).
Ketiadaan budaya epistemik kepahlawanan untuk mengidentifikasi struktur ketidakadilan membuat kita tidak tahu lagi siapa yang sedang membela kebenaran, dan siapa yang justru mengaburkannya, bahkan menghilangkannya.
Dalam situasi seperti ini, konsekuensinya mulai muncul pada generasi yang sedang sangat butuh sosok panutan.
Ledakan yang terjadi di SMA 72 Jakarta, misalnya, bukan hanya peristiwa kriminal atau kenakalan remaja. Ia adalah suatu gejala dari hilangnya orientasi moral kolektif juga.
Ketika seorang pelajar dapat begitu mudah memperlakukan kekerasan sebagai bentuk ekspresi, hal itu boleh jadi menunjukkan tidak adanya tokoh rujukan yang hidup dan dekat, yang dapat menjadi penuntun dalam memaknai batas antara keberanian dan agresi, antara ketegasan dan dominasi, antara pembelaan diri dan penghancuran.
Kita tidak sedang menghadapi defisit hukum, tetapi defisit keteladanan.
Anak-anak tumbuh dalam kepungan cerita dan visual yang akrab dengan kekerasan. Sementara kepedulian, kasih sayang, tanggung jawab, dan keberpihakan pada yang lemah justru jarang dan semakin tidak hadir dalam keseharian mereka.
Ketiadaan pahlawan yang bisa dijadikan rujukan moral membuat mereka belajar tentang keberanian dari figur-figur artifisial, seperti tokoh game, film, dan fiksi yang tidak selalu memiliki ujung nilai etis yang jelas.
Jika kebetulan tokoh itu baik, maka arah mereka mungkin selamat. Namun, jika yang menjadi rujukan adalah tokoh yang mengagungkan dominasi dan penghancuran, maka kita sedang menanam kemungkinan bencana di masa depan.
Jika pahlawan adalah orientasi moral publik, maka ketiadaan pahlawan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari membuat generasi muda terpaksa merakit sendiri makna keberanian dari serpihan representasi yang berserakan di media sosial.
Mereka menyerap simbol-simbol, seperti tampilan, gestur, dominasi, suara yang meninggi, atau aksi konfrontasi dengan orang lain.
Dalam kondisi ini, konsekuensinya bisa jauh lebih mengkhawatirkan: mereka dapat memandang semua orang sebagai musuh (villain), sama seperti dalam aneka game itu.
Bahkan korban (victim) bisa dianggap mampu menahan segalanya, karena di dalam imajinasi digital, tokoh yang terluka tetap bisa bangkit berkali-kali setelah dihantam.
Di sinilah empati mulai memudar. Rasa sakit orang lain tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang nyata, karena yang menjadi rujukan bukan tubuh manusia yang rapuh, melainkan avatar yang tidak pernah benar-benar hancur itu.
Karena itu, ketika keberanian hidup tak lagi terbaca, masyarakat mencari pahlawan pada masa yang sudah lewat—bukan pada orang yang sedang berjuang hari ini.
Maka, pahlawan tidak pernah terlihat lagi, meski produksinya mungkin jauh lebih banyak. Namun, karena ia tidak terlihat, ia tak bisa dijadikan contoh teladan.
Gelar kepahlawanan hanya menjadi seperti gelar kebangsawanan; menaikkan martabat nama keluarga, tanpa menaikkan kebermanfaatan pada masyarakat.
Dan di titik ini, sesuatu yang lebih anomali mulai terasa. Kepahlawanan kehilangan fungsi sosialnya.
Dahulu, pahlawan hadir untuk diteladani dari segala sisi hidupnya. Ia menjadi orientasi moral. Ia menunjukkan cara berdiri ketika segala hal tampak goyah bahkan porak poranda.
Sekarang, ketika pahlawan hanya dirayakan secara simbolik saja, kita kehilangan kemampuan untuk memaknai keberanian, kebenaran, dan keadilan dalam kehidupan nyata.
Bayangkan saja, di negara yang berlandaskan sila keadilan sosial ini, masih saja sulit membaca kawan dan lawan. Korban bisa menjadi terdakwa, sementara pelaku pelanggaran hukum justru dielu-elukan karena memiliki modal, akses, dan perlindungan kekuasaan.
Pengurasan sumber daya alam yang hanya menguntungkan segelintir kelompok dan bahkan oknum perorangan dapat dibingkai sebagai pertumbuhan ekonomi.
Sementara masyarakat yang mempertahankan tanah dan ruang hidupnya justru dicap sebagai penghambat pembangunan.
Praktik monopoli, rente birokrasi, dan konsentrasi kekayaan dapat diterima sebagai keberhasilan industri nasional, sedangkan yang menolak ketimpangan itu dianggap tidak realistis.
Dalam lanskap seperti ini, ketidakadilan bukan hanya terjadi, tetapi dinormalisasi, sehingga kebenaran dan keberanian kehilangan bahasa untuk dikenali.
Dengan kata lain, di ruang publik seolah sudah menjadi kalimat umum, “Tak baik dan tak benar asal mungkin!”.
Kita hidup pada masa ketika representasi lebih berpengaruh daripada kenyataan faktual. Seperti pepatah yang menyebut “Power corrupts, and Power Point corrupts absolutely,” persoalannya bukan terletak pada slide presentasi itu sendiri, melainkan pada cara narasi visual, media, dan simbol bekerja membentuk pemahaman publik mengenai siapa yang layak dihormati dan siapa yang tidak.
Dalam konteks ini, struktur sosial dan media massa memiliki peran dominan
dalam menentukan citra moral individu.
Mereka yang memiliki akses terhadap panggung politik, baik berupa kekayaan, jejaring kekuasaan, maupun kemampuan membentuk wacana, cenderung dipersepsikan sebagai pihak yang benar, rasional, dan patut dijadikan rujukan.
Sebaliknya, mereka yang berada di posisi marjinal mudah dikonstruksikan sebagai lemah, kurang berdaya, atau bahkan menjadi beban.
Akibatnya, ketimpangan sosial tidak hanya berlangsung dalam ranah ekonomi atau politik, tetapi juga dalam ranah epistemik, siapa yang dipercaya, siapa yang didengar, dan siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran.
Dalam kondisi ini, penilaian terhadap keberanian, moralitas, dan kepahlawanan tidak lagi berdasarkan tindakan substantif, melainkan pada sejauh mana seseorang berhasil tampil dengan citra yang dipoles baik dan diterima dalam ruang representasi publik.
Dalam konteks psikologi media, manusia tidak hanya tertarik pada kebaikan, tetapi juga pada figur antagonis.
Seperti dikemukakan oleh Stuart Fischoff dan sejumlah studi dalam Journal of Consumer Research, manusia memiliki kapasitas untuk mengalami emosi ganda secara bersamaan, seperti ketakutan dan kenyamanan, atau kekaguman dan penolakan.
Fenomena ini disebut co-activation, yang menjelaskan mengapa kisah tentang villain dapat begitu memikat.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, daya tarik ini dapat mengaburkan penilaian moral masyarakat, figur yang kuat, tegas, dan dominan dapat dengan mudah dianggap sebagai pahlawan, bahkan sekalipun jika tindakan dan struktur kekuasaannya menghasilkan ketidakadilan.
Sementara itu, mereka yang mengalami penindasan atau ketidaksetaraan justru dapat dipersepsikan sebagai gangguan, beban, atau ancaman terhadap keteraturan.
Dalam kerangka narrative branding, sesuatu memperoleh kekuatan sosial bukan karena kualitas materialnya, tetapi karena ia diposisikan sebagai tokoh dalam sebuah konflik.
Sebuah produk menjadi berarti ketika ia berpihak terhadap masalah tertentu. Komputer, misalnya, tidak hanya dipasarkan sebagai alat kerja, tetapi sebagai simbol kebebasan individu dari kontrol korporasi atas teknologi.
Smartphone juga tidak diperkenalkan sebagai ponsel, melainkan sebagai jawaban atas rasa tidak efisien dan tidak terhubung dalam keseharian.
Dengan kata lain, sebuah objek memperoleh status ikonik ketika ia dihadirkan sebagai pahlawan yang mengatasi villain yang dirasakan masyarakat, entah itu kerumitan, keterbatasan, ketidaknyamanan, atau rasa tidak berdaya.
Artinya, jika kita ingin melahirkan lebih banyak pahlawan, kita harus terlebih dahulu memetakan masalah bangsa sebagai musuh bersama (villain).
Dalam logika bisnis, ini dikenal sebagai “identifying the job to be done”, konsep yang dipopulerkan oleh Clayton Christensen (2016) untuk memahami kebutuhan yang
benar-benar dirasakan orang dalam kehidupan sehari-hari.
Bedanya, jika bisnis memetakan kesulitan untuk mengekstraksi nilai ekonomi, sedangkan kepahlawanan memetakannya untuk mengatasi penderitaan secara kolektif.
Konsep titik balik atau plot point seperti yang perkenalkan Aristoteles memberikan kerangka tentang bagaimana kepahlawanan bekerja.
Pahlawan sebenarnya tidak dilahirkan sebagai pahlawan; ia menjadi pahlawan ketika berada pada situasi di mana pilihan yang tersedia hanya dua, menyerah atau bertindak.
Dalam istilah peripeteia, identitas moral terbentuk pada saat terjadi pembalikan keadaan yang sangat krusial, ketika seseorang berhadapan dengan tekanan yang tidak bisa diserahkan kepada pasar, diabaikan oleh negara, atau dianggap terlalu kecil oleh institusi besar.
Pada momen inilah tindakan yang awalnya bersifat personal berubah menjadi tindakan publik, dan tindakan publik itu menjadi titik pengenal kepahlawanan.
Dan jika kita memahami bahwa pahlawan terbentuk di titik balik, maka tugas kita sebagai masyarakat bukan merayakan pahlawan setelah selesai berjuang, melainkan membuka kondisi sosial yang memungkinkan titik balik itu terbaca, dipahami, dan dihargai.
Kepahlawanan tidak pernah hilang; yang hilang adalah cara kita mengenalinya. Selama masalah tidak dinyatakan secara jelas sebagai “lawan” yang harus dihadapi bersama, keberanian akan tetap berjalan dalam sepi tanpa pernah diakui sebagai teladan.
Tugas kita adalah membakukan bahasa untuk menamai ketidakadilan sebagai struktur, bukan sekadar perilaku, agar tindakan membela yang lemah terbaca sebagai kepahlawanan publik, bukan anomali.
Hanya dengan begitu kita berhenti sekadar memperingati pahlawan dan mulai memproduksi pahlawan kembali, yaitu Pahlawan yang sesungguhnya.