3 Kepala Daerah Belum Setahun Menjabat Kena OTT KPK, Negara Harus Bagaimana?
- Belum genap sepekan operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Gubernur Riau, Abdul Wahid, kini Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko juga kena OTT.
OTT ini dilakukan KPK kepada Sugiri atas dugaan korupsi yang berkaitan dengan promosi jabatan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto mengatakan, Sugiri ditangkap di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, pada Jumat (7/11/2025).
Sugiri menambah daftar kepala daerah yang belum satu tahun menjabat sudah tertangkap karena dugaan korupsi.
Sebelumnya ada Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis yang ditangkap pada Agustus 2025. Menyusul Gubernur Riau, Abdul Wahid yang disikat KPK karena kasus "jatah preman".
Lantas apa yang harus dilakukan negara untuk mengantisipasi kasus ini agar tidak terulang?
Perlu diagnosis masalah yang serius
Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai, bahaya laten korupsi di lingkungan pemerintah daerah perlu diagnosa yang baik, agar pemerintah pusat bisa dengan tepat memberikan intervensi.
"Karena itu, perlu diagnosis penyebab meningkatnya korupsi di daerah pada era desentralisasi. Diagnosis ini diperlukan agar politik desentralisasi nantinya tidak dijadikan kambing hitam meningkatnya korupsi di daerah," kata Jamaluddin, Jumat (7/11/2025).
Dia mengatakan, tingginya korupsi di daerah bukan semata karena politik desentralisasi, karena politik desentralisasi bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, mendekatkan pengambilan keputusan kepada masyarakat, serta memperkuat demokrasi dan pembangunan daerah.
Namun demikian, politik desentralisasi membawa implikasi pada pengelolaan anggaran yang bersumber dari APBD dan APBN. Hal yang sama juga berlaku pada pengelolaan bantuan desa Rp 1 miliar oleh kepala desa.
"Jadi, melalui desentralisasi, kepala daerah hingga kepala desa mendapat hak untuk mengelola anggaran. Hal ini tentu memberi kesempatan kepada eksekutif, legislatif, dan kepala daerah yang tidak berintegritas untuk memanfaatkan anggaran itu secara ilegal," katanya.
Sebab itu, Jamaluddin menilai para kepala daerah akan memberlakukan adagium "setiap ada kesempatan, di situ ada peluang untuk korupsi".
Peluang kesempatan mengelola anggaran itulah yang dimanfaatkan eksekutif dan legislatif di daerah serta kepala desa.
Ongkos pilkada yang tinggi jadi kambing hitam
Atas argumen tersebut, Jamaluddin juga tidak sependapat dengan ongkos pilkada yang tinggi yang selalu dijadikan kambing hitam akar korupsi.
Karena menurut dia, korupsi akhirnya dianggap bukan untuk memperkaya diri tapi untuk mengembalikan modal pilkada dan pemilihan kades.
"Logika irasional itu digunakan untuk membenarkan tindak korupsi yang dilakukan. Logika semacam ini semakin menguat untuk menutupi praktik korupsi," imbuhnya.
Menurut Jamaluddin, para kepala daerah yang korup melihat kesempatan mengelola anggaran membuka peluang besar bagi eksekutif, legislatif di daerah dan kades yang tidak berintegritas untuk korupsi.
Sebab itu, dia menilai upaya pencegahan dengan pengetatan pengawasan adalah jalan yang paling tepat untuk mencegah kasus serupa terulang.
Pemerintah dinilai perlu membuat sistem pengawasan yang dapat menutup kesempatan tersebut yang harus tetap mengakomodir semangat desentralisasi.
"Jadi, tanpa pengawasan yang lebih ketat, korupsi di daerah akan terus menjamur. KPK hanya dapat menangkap sebagian saja. Seperti gunung es, akan lebih banyak pelaku koruptor di daerah yang tak terungkap. Hal ini tentunya akan membahayakan Indonesia sekarang dan ke depan," katanya.
Lorong gelap transaksi pilkada
Hampir sama tapi tak senada dengan Jamaluddin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
"Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan," kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
Pakar hukum tata negara sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini dalam diskusi daring, Minggu (27/7/2025).
Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
"Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral," ucapnya.
Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
Solusi: Pembenahan total pendanaan politik transparan
Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
"Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal," ucapnya.
Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
Dia berharap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
"Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya," katanya.
Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
"KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya," tandasnya.
Tag: #kepala #daerah #belum #setahun #menjabat #kena #negara #harus #bagaimana