Bukan Lagi Soal Look Good, Ini Prioritas Baru Kelas Menengah Indonesia yang Harus Dipahami Brand
Konferensi Pers Sei-Katsu-Sha Lab Forum Navigating The In Between Living as Indonesian Middle Class. (Dok: Restu Fadilah/Suara.com)
18:36
5 November 2025

Bukan Lagi Soal Look Good, Ini Prioritas Baru Kelas Menengah Indonesia yang Harus Dipahami Brand

Hakuhodo International Indonesia melalui Sei-katsu-sha Lab menyingkap hasil studi terbaru berjudul "Navigating the In Between - Living as Indonesian Middle Class. Data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah kelas menengah di Indonesia menyusut, semula berjumlah 57,3 juta menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024. Padahal, kelas menengah memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia.

Berdasarkan data BPS yang sama, kombinasi segmen 'kelas menengah' (middle class) dan segmen 'menuju ke kelas menengah' (aspiring middle class), mencakup 66,35 persen dari total populasi dan berkontribusi terhadap 81,49 persen konsumsi domestik Indonesia. Skala mereka yang besar, dapat menggambarkan bukan hanya kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia saat ini, tapi juga kondisi dan harapannya di masa depan. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pelaku industri pemasaran (marketers) untuk bisa memahami tidak hanya indikasi apa yang terjadi, tapi juga paham perspektif mereka agar bisa melakukan pendekatan yang tepat.

"Di dunia yang terus bergerak tanpa henti, kita semua dituntut beradaptasi. Kelas menengah sedang berada di pusaran perubahan, mereka membawa mimpi yang mendorong Indonesia untuk maju sekaligus menanggung tekanan yang terbentuk oleh zaman. Di Sei-katsu-sha Lab kami mempelajari manusia bukan sebagai tren, melainkan sebagai kisah hidup yang terus berkembang. Dan bagi para pelaku industri pemasaran, peran kita adalah mendengarkan, memahami, dan membangun hubungan yang membuat hidup terasa lebih bermakna," ujar Devi Attamimi, Group CEO Hakuhodo International Indonesia.

Rian Prabana, Senior Director of Strategy Hakuhodo International Indonesia & Head of Sei-katsu-sha Lab, menuturkan, studi ini memberikan warna dan perspektif baru tentang Kelas menengah di mana mereka terus tumbuh, tanpa disadari. Mereka tidak lagi sekadar mencari aspirasi, tetapi mencari keseimbangan. Brand perlu memahami sisi emosional ini yang sering tidak tergambarkan oleh angka statistik.

"Dengan membawa pandangan baru ini, Marketers dapat membangun hubungan yang lebih relevan dan memberikan peran penting dalam pertumbuhan mereka," ujar Rian Prabana.

Kelas menengah Indonesia kini tengah mengalami perubahan cara pandang terhadap hidup. Jika dulu mereka identik dengan ambisi untuk terus menaiki tangga sosial dan ekonomi, kini mereka lebih berpijak pada kenyataan. Mimpi untuk maju memang masih ada, namun kini diiringi dengan kesadaran bahwa hidup tak selalu pasti dan karena itu, mereka belajar untuk lebih realistis dan tangguh dalam menjalaninya.

Sebanyak 89 persen responden mengaku tidak mudah menyerah saat menghadapi kegagalan. Angka ini menunjukkan daya tahan dan kemampuan adaptasi yang kuat dalam menghadapi tantangan hidup. Di tengah ketidaksempurnaan, mereka menemukan makna baru. Banyak yang menilai pengalaman sulit justru menjadi titik balik, melahirkan kekuatan dari luka yang pernah ada sebuah filosofi yang mereka sebut “My Scar, My Strength.”

Prioritas diri pun bergeser. Jika sebelumnya fokus pada “Look Good,” kini mereka lebih mengutamakan “Feel Good.” Penampilan bukan lagi tolok ukur utama, melainkan ketenangan batin dan keseimbangan hidup.

Sistem dukungan juga mengalami transformasi. Kini, 72 persen responden menyebut memiliki jaringan sosial yang kuat di luar keluarga. Komunitas, teman, hingga rekan kerja menjadi bentuk baru dari "Social Insurance,” tempat mereka menemukan stabilitas emosional dan dukungan sosial di tengah dinamika hidup modern.

Bagi kelas menengah masa kini, kesuksesan bukan lagi tentang pembuktian diri melalui harta atau status finansial. Mereka mulai memaknai kesuksesan sebagai kemampuan untuk bertahan, tumbuh, dan menjaga martabat di tengah ketidakpastian.

Semangat untuk berkembang tetap tinggi: 57 persen berencana memulai usaha sendiri, 42 persen ingin memberi dampak positif bagi lingkungan sekitar, sementara 38 persen fokus meningkatkan pendidikan dan keterampilan. Generasi muda juga menunjukkan kedisiplinan finansial yang lebih baik mereka rutin membuat anggaran bulanan dan berusaha lebih bijak dalam mengelola pengeluaran.

Pandangan ini mencerminkan nilai-nilai lokal yang kuat. Banyak responden meneladani semangat “Siri’ na Pacce” dari budaya Bugis-Makassar martabat dan empati yang menjadi fondasi moral dalam menghadapi kesulitan. Bagi mereka, kebahagiaan tidak datang dari menerima bantuan, melainkan dari kemampuan untuk membantu orang lain.

Menariknya, komitmen untuk berbagi juga meningkat. Persentase kelas menengah yang rutin menyisihkan 10 persen pendapatannya untuk zakat atau donasi naik dari 10 persen di tahun 2024 menjadi 15 persen pada 2025. Memberi kini bukan sekadar kewajiban moral, tetapi bagian dari jati diri yang meneguhkan makna kesuksesan.

Gaya konsumsi kelas menengah pun berubah arah. Jika dulu belanja sering menjadi sarana untuk menunjukkan status sosial, kini konsumsi lebih dimaknai sebagai cara untuk bertahan dan merawat diri di tengah tekanan hidup.

Sebagian besar, yakni 90 persen responden menilai kualitas sebagai faktor utama dalam loyalitas terhadap sebuah merek. Bagi mereka, menghargai produk berkualitas berarti juga menghargai diri sendiri. Mereka membeli bukan untuk pamer, melainkan untuk menjaga semangat hidup. Salah satu responden bahkan menggambarkan motornya sebagai “penyemangat hidup,” simbol keberanian dalam menghadapi hari-hari yang berat.

Lebih dari itu, 70 persen responden merasa terhubung secara emosional dengan merek yang mampu meningkatkan suasana hati mereka. Meski anggaran terbatas, mereka tetap menyisihkan sebagian penghasilan untuk bentuk “mental therapy” seperti hobi, hiburan, atau me-time. Sebanyak 61 persen bahkan mengaku rutin memberi hadiah kecil untuk diri sendiri—cara sederhana untuk menjaga kewarasan dan kebahagiaan di masa yang penuh ketidakpastian.

Hasil penelitian ini menggambarkan lahirnya sosok baru di tengah masyarakat Indonesia The Grown Up Middle, yaitu kelas menengah yang tumbuh lebih matang, bijak, dan realistis. Mereka belajar bahwa dalam ketidakpastian, kekuatan terbesar justru datang dari dalam diri sendiri.

Kini, martabat dan harga diri menjadi nilai utama, sementara kestabilan hidup menjadi prioritas tertinggi. Status sosial tak lagi menjadi ukuran utama kesuksesan, melainkan kemampuan menjaga keseimbangan emosional dan daya tahan menghadapi perubahan.

Bagi pelaku industri, temuan ini menjadi sinyal penting: pendekatan terhadap kelas menengah perlu bergeser. Mereka tak lagi mencari aspirasi besar yang menjulang tinggi, melainkan rasa aman dan stabilitas yang nyata. Brand yang mampu hadir tulus dalam keseharian, memahami keresahan, dan menawarkan ketenangan akan menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup kelas menengah Indonesia hari ini.***

Editor: Fabiola Febrinastri

Tag:  #bukan #lagi #soal #look #good #prioritas #baru #kelas #menengah #indonesia #yang #harus #dipahami #brand

KOMENTAR