Si Badut
Ilustrasi badut()
09:50
5 November 2025

Si Badut

MENGUNDANG tawa adalah peran yang dimainkan oleh si badut. Di atas panggung sirkus, seorang badut mengandalkan gerakan akrobatik. Dia tidak mengandalkan kata-kata. Bagaimanakah sosok badut di dunia nyata? Profesi badut dapat ditemukan di perempatan jalan. Mereka siap menghibur para pengendara untuk mencari sesuap nasi.

Di balik tingkah yang kocak dan make-up yang berlebihan, ada kisah kemirisan dan pahit getirnya kehidupan. Ini adalah cerita perjuangan hidup yang dipoles dengan penampilan jenaka. Mereka adalah orang-orang tersisihkan dari pertarungan bursa kerja dan bahkan sudah kalah terlebih dahulu sebelum bertarung.

Di dalam dunia politik, badut adalah metonimia atau julukan yang bernada merendahkan. Karena nadanya merendahkan, metonimia mirip dengan umpatan. Donald Trump dan Boris Johnson, misalnya, dijuluki si badut oleh lawan-lawan politik mereka. Badut (clown) dijadikan plesetan dari tahta atau mahkota (crown). Dari sini munculalah satir "You can't put a crown on a clown and expect a king”. Ini adalah sindirian, kenapa orang yang memiliki crown, kok malah menjadi clown.

Ini adalah gambaran ketidakpuasan terhadap para politikus yang diberi mandat kekuasaan. Di dalam Bahasa Inggris, ada idiom “send in the clowns” yang artinya kurang lebih “buatlah lelucon“ untuk menghidupkan suasana. Idiom ini muncul dari dunia sirkus. Si badut akan dikirim ke tengah panggung untuk menghidupkan suasana. Kemunculannya pun terkadang tiba-tiba sehingga mengagetkan penonton.

Di dunia nyata, idiom ini merupakan pertanda urgensi lelucon untuk memecah kebuntuan atau kebosanan. Dalam politik, lelucon adalah kompensasi dari ketidakpuasan (Mccusker, 2022). Lebih baik dijadikan sumber hiburan, daripada sumber kebencian. Akrobatik politik seringkali mengundang tanda tanya besar. Bukan hanya langkahnya yang akrobatik, tetapi juga pilihan kata-katanya.

Akrobatik politik pun dapat memancing plesetan. Jangan heran, jika kemudian nama jalan Downing Street yang merupakan kediaman resmi perdana Menteri Inggris diplesetkan menjadi Clowning Street (Körner 2021).

Donald Trump mengatakan "I am a batman“ ketika ditanya oleh seorang anak kecil (CNN, 17/08/2015). Barangkali Trump sedang membayangkan dirinya adalah seorang pahlawan, tetapi tidak sadar bahwa tingkahnya seperti joker, sosok badut yang menjadi lawan batman. Gambar Trump dengan polesan wajah joker kemudian tersebar luas di dunia maya.

Sosok badut yang lebih serius ada pada cerita yang dirangkai oleh Soren Kierkegaard di dalam karyanya Either/Or (1944). Kisahnya demikian: Rombongan sirkus bersiap melakukan pertunjukan. Tiba-tiba terjadi kebakaran di belakang panggung. Nyala api dapat merembet sampai ke pemukiman penduduk desa terdekat. Si badut diperintahkan untuk meminta bantuan ke pemukiman penduduk terdekat sekaligus memperingatkan akan bahaya kebakaran.

Dengan segera si badut berlari ke pemukiman penduduk. Si badut berteriak minta tolong dan memperingatkan penduduk akan bahaya kebakaran. Akan tetapi, para penduduk hanya menonton si badut sambil tertawa. Mereka mengira si badut sedang melucu dan ini dianggap sebagai trik untuk menarik penonton ke pertunjukan sirkus. Si badut berteriak sampai menangis, sedangkan para penonton terus tertawa. Karena pesan peringatan tidak digubris, akhirnya nyala api memporak-porandakan pemukiman penduduk.

Siapakah yang juga sering ditertawakan dan diolok-olok? Mereka yang membawa pesan-pesan kegentingan adalah sasaran olok-olok dari para penguasa yang terusik. “Keadaan sedang tidak baik-baik saja” adalah pesan kegentingan yang mengusik. Pesan seperti ini sangat ditakuti oleh para penguasa. Banyak orang baik dan kritis akhirnya dibadutkan oleh penguasa dan pendukungnya.

Jangan heran, jika tokoh agama juga rentan untuk dibadutkan dengan olok-olok akibat iklim anti agama seperti yang terjadi di negara-negara barat (Ratzinger, 2007). Inilah nasib yang menimpa para tokoh agama karena dianggap membawa pesan kegentingan pertobatan dari masa lampau di era modern. Era modern tampaknya cukup alergi dengan pesan kegentingan tersebut. Jika si badut tertimpa kesialan, maka semakin bergelegar gelak tawanya. Lalu, timbul olok-olok "Bagaimana bisa menyelamatkan orang lain, kalau menyelamatkan diri sendiri saja tidak bisa?”

Badut adalah sosok ambivalen antara humor dan horor (Richards, 2019). Ambivalensi ini juga menyangkut persoalan integritas moral. Baik orang baik maupun orang tidak baik dapat saja dibadutkan. Para akademisi pun dapat dijadikan sumber lelucon. Contohnya seseorang yang tiba-tiba diangkat jadi profesor tanpa rekam jejak yang jelas sebagai seorang ilmuwan. Kaget pastinya, tetapi ini lelucon yang tidak lucu. Negara diusik oleh para pemburu gelar profesor yang menghalalkan segala cara.

Lebih terhormat seorang Thales, filsuf dan astrolog, yang ditertawakan karena (konon) jatuh ke dalam lubang karena asyik mengamati dan meneliti benda-benda langit. Kisah Thales ini sering menjadi bahan lelucon untuk menertawakan para ilmuwan. Banyak dosen harus berjibaku memenuhi kewajiban Tridharma (Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian). Kepakaran akademik memang harus digembleng dan diuji. Ibarat kata, ini adalah jalur yang penuh tantangan.

Profesor adalah bentuk pengakuan kepakaran keilmuan. Adalah hal yang wajar jika pengakuan ini didapatkan melalui jalan yang berliku. Tidak ada kekagetan jika gelar profesor disandang oleh seseorang yang memiliki rekam jejak akademik yang jelas.

Sebaliknya, rasa kaget akan muncul jika orang yang tidak memiliki rekam jejak akademik tiba-tiba dikukuhkan sebagai seorang guru besar. Pepatah Turki mengatakan "Jika seorang badut masuk ke istana, maka dia tidak akan menjadi seorang sultan. Sebaliknya istana akan berubah menjadi panggung sirkus.“ Pepatah ini dapat dimodifikasi “Jika seorang badut memakai toga dan berdiri di mimbar akademik, maka mimbar akademik dapat berubah menjadi panggung sirkus.“

Tag:  #badut

KOMENTAR