Ambivalensi Ketokohan (Pahlawan): Antara Karya dan Sejarah
SETIAP bangsa memiliki tokoh besar yang dikenang dengan rasa hormat, tetapi juga dengan perdebatan panjang. Ketokohan selalu menyimpan paradoks: antara jasa dan luka, antara pengaruh dan dosa sejarah. Dalam konteks Indonesia, perdebatan mengenai rencana pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional mencerminkan dilema itu dengan tajam.
Sebagian masyarakat mengenangnya sebagai Bapak Pembangunan yang membawa stabilitas ekonomi dan kemajuan infrastruktur; sebagian lain mengingatnya sebagai penguasa otoriter yang menutup ruang kebebasan, meninggalkan jejak pelanggaran HAM dan korupsi sistemik.
Soeharto menjadi contoh klasik tokoh yang di satu sisi berjasa besar, tetapi di sisi lain memunculkan trauma sosial dan luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Pertanyaannya: apakah seseorang dapat dihormati karena karyanya bila moralitas dan tindakannya menimbulkan penderitaan?
Antara Karya dan Moralitas
Dalam menilai tokoh, masyarakat sering terjebak dalam dua ekstrem: mengagungkan tanpa kritik, atau menolak sepenuhnya. Padahal manusia selalu kompleks. Seorang pemimpin bisa membawa kemajuan sekaligus menindas, seorang filsuf bisa mengajarkan kebenaran sekaligus tersesat secara moral.
Dalam kajian etika, ada dua pendekatan untuk membaca paradoks ini. Pertama, pendekatan hermeneutik-kritis, yang memisahkan antara karya dan pribadi. Tokoh seperti Martin Heidegger, misalnya, tetap dihargai sebagai filsuf besar abad ke-20 karena analisisnya tentang eksistensi manusia, meskipun pernah terlibat dalam ideologi Nazi. Pemikiran besarnya tetap penting bagi sejarah filsafat, tetapi harus dibaca dengan kesadaran penuh akan kesalahannya secara moral.
Sebaliknya, pendekatan moralistik-holistis menolak pemisahan itu. Menurut pendekatan ini, tindakan dan pikiran adalah satu kesatuan. Seorang tokoh tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai hidup yang ia jalankan. Bila seorang pemimpin terbukti menindas atau seorang pemikir menyesatkan, maka ketokohan itu kehilangan legitimasi moral. Kedua pendekatan ini menegaskan bahwa menghormati karya besar tidak boleh berarti menutup mata terhadap luka sejarah yang ditinggalkan.
Nietzsche dan Bahaya Tafsir
Ambivalensi ketokohan juga tampak jelas dalam dunia filsafat melalui sosok Friedrich Nietzsche. Ia dikenal sebagai filsuf radikal yang berani mengumandangkan “kematian Tuhan” dan menyerukan lahirnya manusia unggul (Übermensch)—manusia yang menciptakan nilai-nilai baru setelah runtuhnya moralitas lama.
Namun setelah kematiannya, pemikiran Nietzsche disalahpahami dan dimanipulasi untuk mendukung ideologi totalitarian Nazi. Ironisnya, Nietzsche yang menolak nasionalisme dan kekerasan malah dijadikan simbol supremasi ras oleh rezim yang menindas kemanusiaan.
Tragedi ini memperlihatkan sisi lain ambivalensi: bahwa ide besar sekalipun dapat kehilangan arah bila ditafsirkan tanpa tanggung jawab moral. Jika Soeharto menghadirkan dilema antara keberhasilan ekonomi dan pelanggaran kemanusiaan, dan Heidegger antara kejernihan intelektual dan keterlibatan politik, maka Nietzsche menunjukkan dilema antara kedalaman pemikiran dan penyimpangan tafsir.
Tiga figur ini memperlihatkan spektrum ambivalensi ketokohan: dari tindakan, pikiran, hingga interpretasi. Mereka menyingkap kerapuhan manusia di hadapan kuasa, ide, dan sejarah—serta bahaya ketika kecerdasan tidak diimbangi dengan kebijaksanaan etis.
Politik Ingatan dan Rekonsiliasi
Perdebatan tentang tokoh besar sejatinya bukan sekadar soal individu, tetapi bagian dari politik ingatan (politics of memory)—yakni cara masyarakat menafsirkan masa lalu untuk membentuk identitas moralnya. Ingatan kolektif selalu menjadi arena pertarungan antara penghormatan dan pengakuan dosa sejarah.
Ketika sebagian masyarakat ingin mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, mereka tidak hanya berbicara tentang seorang manusia, tetapi tentang bagaimana bangsa ini ingin mengingat Orde Baru—apakah sebagai masa stabilitas dan kemajuan, atau sebagai masa pembungkaman dan ketakutan.
Begitu pula dengan Heidegger dan Nietzsche dalam tradisi filsafat. Keduanya menandai pergulatan moral Eropa modern: antara kejernihan rasional dan kegelapan sejarah. Di sini kita belajar bahwa pencerahan intelektual tidak selalu berarti pencerahan moral.
Politik ingatan menuntut kejujuran historis. Mengangkat seorang tokoh berarti juga memikul tanggung jawab atas ingatan yang menyertainya. Menghapus atau memutihkan masa lalu justru menutup kesempatan bangsa untuk belajar dari kesalahan.
Pelajaran Moral: Antara Kecerdasan dan Integritas
Filsuf Hannah Arendt pernah menulis tentang banalitas kejahatan: bahwa kejahatan besar bisa lahir bukan dari kebencian ekstrem, tetapi dari ketidaksadaran moral dan kepatuhan buta terhadap sistem. Kita dapat melihat gejala ini dalam setiap ambivalensi ketokohan—ketika kecerdasan, kekuasaan, atau pengaruh tidak disertai refleksi moral yang mendalam.
Bangsa yang hanya menghargai kecerdasan tanpa menumbuhkan integritas akan terus melahirkan tokoh-tokoh besar yang kehilangan nurani. Sebab yang membuat manusia benar-benar “besar” bukanlah prestasinya, melainkan nilai kemanusiaan yang ia wariskan setelah kekuasaan berakhir.
Menimbang Ketokohan dengan Nurani
Kita dapat menghormati karya tanpa menutup mata terhadap luka yang ditinggalkannya. Dari Soeharto, kita belajar tentang bahaya kekuasaan tanpa koreksi; dari Heidegger, kita belajar tentang risiko kecerdasan tanpa moral; dan dari Nietzsche, kita belajar tentang bahaya tafsir tanpa tanggung jawab. Ketiganya menunjukkan bahwa ketokohan sejati tidak diukur dari kepandaian atau kekuasaan, melainkan dari kesetiaan pada kebenaran dan kemanusiaan.
Mereka adalah cermin bagi bangsa ini agar berani menatap sejarah dengan jujur, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk belajar. Ketokohan sejati tidak hanya diukur dari apa yang dibangun, tetapi dari nilai yang diwariskan setelah semua kuasa dan kehormatan sirna.
Masyarakat yang berani bercermin pada ambivalensi tokohnya adalah masyarakat yang matang secara moral—yang tidak menghapus masa lalu, tetapi menafsirkan ulang dengan hati yang terbuka.
Tag: #ambivalensi #ketokohan #pahlawan #antara #karya #sejarah