Mimpi Prabowo dan Politik Sepiring MBG
Sejumlah siswa menyantap hidangan paket Makan Bergizi Gratis (MBG) di TK Pertiwi, Tanjunganom, Nganjuk, Jawa Timur, Senin (20/10/2025). Menurut Presiden Prabowo Subianto, program MBG telah menjangkau 36,2 juta penerima manfaat dengan total lebih dari 1,3 hingga 1,4 miliar porsi makanan yang telah disalurkan kepada masyarakat. (ANTARA FOTO/Muhammad Mada)
09:26
31 Oktober 2025

Mimpi Prabowo dan Politik Sepiring MBG

PADA 2017, dua tahun jelang hiruk pikuk Pemilu 2019 yang sangat panas, Prabowo Subianto terkejut membaca data malnutrisi di Nusa Tenggara Timur (NTT).

”Di NTT, dua dari tiga anak mengalami stunting atau gagal tumbuh akibat malnutrisi,” tulis Prabowo di buku ”Paradoks Indonesia”.

Buku ”Paradoks Indonesia” adalah magnum opus Prabowo. Buku itu menampung semua gagasan Prabowo soal Indonesia, dari bedah masalah hingga jalan keluarnya.

Dalam buku setebal 182 halaman itu, Prabowo menyisipkan beberapa halaman untuk berbicara malnutrisi. Baginya, malnutrisi hanya bahasa halus dari kelaparan.

Namun, malnutrisi bukan sekadar soal perut yang kosong, tetapi juga soal gangguan terhadap pertumbuhan fisik, kognitif, dan meruntuhkan kepercayaan psikologis.

”Anak yang kurang nutrisi akan sulit berprestasi di sekolah. Dan setelah dewasa, akan sulit mendapat pekerjaan yang berpenghasilan tinggi,” katanya dalam buku Paradoks Indonesia.

Sejak itu, ia banyak berbicara soal perbaikan gizi anak-anak. Pada pemilu 2019, sebagai calon Presiden, ia punya program ”sedekah putih” untuk mengatasi stunting dan malnutrisi.

 

Lima tahun kemudian, pada pemilu 2024, ia mengusung program yang misinya sama, tetapi lebih spesifik: makan siang gratis untuk sekolah dan pesantren sebagai program utamanya.

Karena itu, saya percaya bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan Prabowo sejak 6 Januari lalu, memang berangkat dari niat mulia untuk menghapuskan malnutrisi di bumi Indonesia.

Faktanya, angka tengkes di Indonesia masih 19,8 persen. Artinya, dua dari setiap 10 anak Indonesia mengalami stunting.

Tak bisa dipungkiri, lewat program MBG, ada jutaan anak yang selama ini kesulitan mengakses pangan, yang datang ke sekolah dengan perut lapar, sangat terbantu oleh program itu. Selain itu, program ini tentu akan sedikit mengurangi beban keuangan keluarga miskin.

Sejumlah persoalan

Orang tua mendampingi anaknya yang diduga keracunan hidangan makan bergizi gratis (MBG) di SMPN 1 Cisarua, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (14/10/2025). Berdasarkan keterangan pihak sekolah, sebanyak 54 siswa mengalami keracunan yang diduga akibat menyantap hidangan makan bergizi gratis pada Selasa (14/10) pagi.ANTARA FOTO/Abdan Syakura Orang tua mendampingi anaknya yang diduga keracunan hidangan makan bergizi gratis (MBG) di SMPN 1 Cisarua, Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (14/10/2025). Berdasarkan keterangan pihak sekolah, sebanyak 54 siswa mengalami keracunan yang diduga akibat menyantap hidangan makan bergizi gratis pada Selasa (14/10) pagi.Meskipun berangkat dari niat mulia, tetapi eksekusi program MBG justru menggesernya jauh dari tujuan.

Ada kecenderungan program ini hendak dieksekusi ala "Bandung Bondowoso": membangun 1000 candi dalam semalam. Tidak ada persiapan yang matang, uji coba memadai, payung hukum, dan standar pelayanan, dan petunjuk teknis yang memadai.

Karena gaya Bondowoso, program ini langsung menarget skala besar, tanpa memperhitungkan daya dukung anggaran. Ini membawa masalah besar.

Pertama, anggaran per porsi makanan MBG menjadi sangat kecil: hanya Rp 10.000. Kedua, anggaran MBG menyedot sekitar 30–44 persen anggaran pendidikan di APBN.

Padahal, dunia pendidikan masih dililit banyak persoalan yang tak kalah daruratnya: 4 juta anak putus sekolah, 60 persen ruang kelas SD rusak, dan 74 persen guru honorer digaji di bawah Rp 2 juta.

Namun, masalah terbesar yang sangat mengkhawatirkan adalah masalah keracunan. Berdasarkan laporan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 19 Oktober 2025, jumlah keracunan akibat menyantap program MBG sudah mencapai 13.168 orang anak.

Kita perlu berdebat angka statistik. Niat mulia dari program ini adalah memberi makan bergizi gratis kepada anak Indonesia, agar mereka terbebas dari cengkeraman malnutrisi, bukan menebar rasa takut dan khawatir kepada orangtua, guru-guru, maupun murid.

Kita tak perlu menunggu jatuhnya korban jiwa untuk mengevaluasi program ini agar tak melenceng jauh dari niat mulianya.

Program MBG harus tetap dilanjutkan. Namun, mengingat ruang fiskal APBN yang terbatas, program MBG harus bersifat penargetan (targeting).

Ada dua opsi untuk penargetan ini. Pertama, program MBG fokus pada anak-anak dari keluarga miskin ekstrem dan daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).

Kedua, program MBG difokuskan pada daerah yang tingkat kemiskinan dan malnutrisinya tertinggi. Tentu saja, penargetan ini bersifat sementara, sembari menunggu ruang fiskal semakin longgar.

Dengan penargetan, sasaran MBG menjadi lebih ramping, sehingga kebutuhan anggarannya pun lebih kecil dan bisa tepat sasaran.

Setidaknya, ada dua manfaat langsung. Pertama, anggaran per porsi bisa dinaikkan menjadi minimal Rp 20.000. Kedua, anggaran MBG tak perlu menyedot banyak porsi anggaran pendidikan.

Dengan begitu, anggaran pendidikan tetap fokus pada pemerataan infrastruktur pendidikan, menggaji guru dengan upah yang layak, dan anggaran untuk mencegah putus sekolah.

Dari Sentralistik ke Desentralisasi

Program MBG terlalu sentralistik. Model sentralistik ini menciptakan rantai distribusi yang panjang, menihilkan partisipasi publik (guru, sekolah, orangtua, dan tenaga kesehatan), ketergantungan pada supplier besar, dan mengabaikan keragaman pangan lokal.

Rantai distribusi yang panjang berarti juga jarak dan waktu distribusi yang lebih panjang, yang memperburuk risiko keamanan pangan (food safety), makanan dingin atau basi, dan potensi terkontaminasi bakteri.

 

Ditambah lagi, jika satu SPPG harus melayani ribuan murid. Proses memasak yang tersentralisasi di SPPG dan rantai distribusi yang panjang bisa memicu rentang suhu berbahaya 5-60 derajat celcius (rentang suhu yang memungkinkan bakteri patogen berkembang biak secara eksponensial) dan maksimal 2-4 jam.

Boleh jadi, kasus keracunan MBG yang banyak dipicu oleh bakteri, seperti Salmonella dan Escherichia coli, ada kaitannya dengan rantai distribusi yang panjang dan memasak dalam volume yang sangat besar (mass-cooking).

Menurut saya, program MBG harusnya dilakukan secara desentralistik: diserahkan ke pemerintah daerah dan sekolah-sekolah, disupervisi ketat oleh unit kesehatan lokal dan ahli gizi, dan dikontrol oleh publik (orangtua dan organisasi masyarakat sipil).

Kita bisa belajar dari pengalaman Brasil. Di sana, makanan MBG langsung dimasak di sekolah-sekolah.

Pemerintah melalui badan yang disebut Fundo Nacional de Desenvolvimento da Educação (FNDE) hanya menetapkan standar gizi, bahan baku makanan, ruang penyimpanan, prosedur memasak, hingga cara penyimpanan. Semuanya tunduk pada kaidah Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP).

Dalam skema itu, Brasil mewajibkan belanja bahan makanan minimal 30 persen berasal dari petani dan peternak lokal.

Strategi desentralisasi akan memangkas rantai distribusi makanan. Selain itu, strategi desentralisasi akan menghilangkan potensi ”proyekan” atau cawe-cawe yang mengambil margin dalam anggaran MBG.

Untuk diketahui, melalui pendekatan yang desentralistik, Brasil hanya menghabiskan 1,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 21,6 triliun per tahun untuk memberi makan 40 juta anak per hari.

Bandingkan dengan anggaran MBG pada 2026: Rp 335 triliun untuk 82,9 juta orang penerima manfaat.

Selain itu, dengan desentralisasi dan penyajian makanan di sekolah-sekolah, program MBG bisa diintegrasikan dengan kurikulum sekolah: budaya antre, etika makan, belajar cuci piring dan perlengkapan makan secara mandiri, edukasi soal gizi, dan lain-lain.

Semua masukan di atas berpijak di atas satu harapan: MBG bisa menghapus malnutrisi dari bumi Indonesia. Dan untuk itu, kita harus memastikan bahwa setiap sepiring MBG yang disantap setiap anak benar-benar sehat dan bergizi.

Selain itu, karena MBG dibiayai oleh APBN yang 82,1 persen sumbernya dari perpajakan (pajak, bea, dan cukai), maka kita perlu memastikan bahwa setiap rupiah yang digunakan dalam program MBG benar-benar tepat sasaran. Tidak nyasar atau terpotong oleh korupsi, mark-up, dan praktik bisnis kroni.

Tag:  #mimpi #prabowo #politik #sepiring

KOMENTAR