Masihkah ASEAN Relevan bagi Indonesia di Bawah Prabowo?
Presiden Prabowo Subianto berfoto bersama jajaran pemimpin negara dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-13 ASEAN-US yang digelar di Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC), Malaysia, Minggu (26/10/2025). (Dokumentasi aseanfoto.bernama.com)
07:46
31 Oktober 2025

Masihkah ASEAN Relevan bagi Indonesia di Bawah Prabowo?

DI TENGAH perubahan lanskap geopolitik global dan meningkatnya rivalitas antara kekuatan besar, Indonesia tampak mulai menata ulang arah kebijakan luar negerinya.

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Jakarta memperlihatkan minat yang kian besar untuk memperkuat keterlibatan dengan BRICS—kelompok negara berkembang yang menantang dominasi Barat dalam tatanan ekonomi dan politik dunia.

Langkah ini memunculkan pertanyaan penting: masihkah ASEAN memiliki daya strategis yang cukup untuk menopang ambisi global Indonesia?

ASEAN: Stabil, tetapi Terbatas

Ketika ASEAN didirikan pada 1967, semangat yang menyatukan para pendirinya bukanlah ambisi geopolitik, melainkan pencarian stabilitas setelah dekade yang penuh ketegangan.

Indonesia, yang baru saja menutup bab ekspansionisme, memilih menahan diri. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Jakarta menyerahkan ambisi “negara besar”-nya demi menjadi lokomotif stabilitas kawasan.

 

Langkah ini bukan tanpa perhitungan. Soeharto memahami bahwa pembangunan ekonomi dan konsolidasi politik dalam negeri hanya mungkin tercapai jika kawasan tenang. Maka, stabilitas regional dijadikan modal dasar pembangunan nasional.

Prinsip non-interference dan musyawarah mufakat bukan sekadar jargon diplomatik, melainkan cermin dari kompromi politik dan psikologis bangsa-bangsa Asia Tenggara yang masih trauma akan konflik ideologis dan intervensi asing.

Selama enam dekade, ASEAN telah menjadi pilar stabilitas di Asia Tenggara. Namun, keberhasilan menjaga stabilitas tidak selalu diikuti dengan kemampuan mengambil keputusan strategis.

Dalam berbagai isu—seperti konflik Laut Cina Selatan, krisis politik Myanmar, atau dinamika keamanan baru yang dipicu oleh pembentukan AUKUS—ASEAN sering kali tampak terbelah dan lamban.

Kelemahan struktural inilah yang membuat sebagian negara anggota, termasuk Indonesia, menilai bahwa ASEAN belum mampu berperan sebagai kekuatan geopolitik yang berarti. Ia lebih berfungsi sebagai penjaga keseimbangan, bukan penggerak arah politik kawasan.

Orientasi baru dan daya tarik BRICS

Pandangan geopolitik Presiden Prabowo yang cenderung realistis mendorong munculnya orientasi baru dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

BRICS, yang kini berkembang menjadi platform ekonomi dan politik global, dianggap menawarkan peluang untuk memperluas ruang diplomasi Indonesia di luar Asia Tenggara.

Melalui BRICS, Indonesia berkesempatan menjalin kemitraan dengan negara-negara besar seperti China, India, Rusia, Brasil, dan Afrika Selatan.

 

Bagi Jakarta, forum ini bukan hanya wadah kerja sama ekonomi, melainkan juga sarana untuk memperkuat posisi tawar dan mempertegas kemandirian strategis di tengah dinamika multipolaritas dunia.

Ada tiga keuntungan yang dilihat dari pendekatan ini. Pertama, diversifikasi sumber ekonomi dan investasi yang tidak bergantung pada mitra Barat.

Kedua, peningkatan kapasitas Indonesia untuk berbicara sebagai bagian dari Dunia Selatan (Global South).

Ketiga, penguatan citra Indonesia sebagai kekuatan menengah yang dapat berperan di antara negara-negara besar.

Dengan demikian, BRICS menjadi simbol bagi ambisi Indonesia untuk tidak hanya menjadi “pemimpin kawasan”, tetapi juga pemain global yang diakui.

Kendati demikian, ASEAN tetap memiliki arti penting bagi Indonesia. Stabilitas kawasan masih menjadi kepentingan strategis utama.

Melalui ASEAN, Indonesia menjaga hubungan baik dengan negara tetangga, memastikan keamanan jalur perdagangan, dan mempertahankan otonomi kawasan dari tarikan kepentingan kekuatan besar.

Namun, dalam hierarki prioritas diplomasi Indonesia, posisi ASEAN tampaknya mulai bergeser. Jika pada masa lalu ASEAN disebut sebagai cornerstone kebijakan luar negeri Indonesia, di era Prabowo ia berpotensi menjadi stepping stone—batu pijakan yang diperlukan, tetapi bukan lagi titik tumpu utama.

Masalah utama ASEAN bukan pada kehilangan relevansi, melainkan pada kemampuan beradaptasi.

Dunia bergerak dengan cepat, sementara ASEAN masih terikat pada mekanisme konsensus yang sering kali menghambat pengambilan keputusan.

Tanpa pembaruan visi dan reformasi kelembagaan, ASEAN berisiko menjadi simbol masa lalu yang tidak lagi efektif menghadapi tantangan baru.

Menjaga Keseimbangan

Bagi Indonesia, tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan dua kepentingan: tetap memelihara kepemimpinan di ASEAN, sembari memperluas pengaruh melalui forum global seperti BRICS, G20, dan PBB.

Jika kedua jalur ini dapat berjalan selaras, Indonesia dapat berperan sebagai jembatan antara regionalisme dan globalisme, antara stabilitas kawasan dan kepemimpinan global.

Namun, jika keseimbangan itu gagal dijaga, Indonesia justru berisiko kehilangan pijakan strategis di kawasan sendiri.

 

Ambisi global yang tidak disertai kekokohan basis regional dapat menjadikan posisi Indonesia rapuh di tengah dinamika kekuatan besar.

Diplomasi Indonesia kini berada di titik persimpangan antara tradisi dan transformasi. ASEAN telah memberi rumah yang stabil, tetapi rumah itu mulai terasa sempit bagi negara yang bercita-cita menjadi kekuatan global.

Sementara BRICS menawarkan panggung yang luas, tapi penuh risiko dan tantangan baru.

Pada akhirnya, pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia bisa tampil di panggung dunia, melainkan: dapatkah Indonesia tetap menjadi jangkar stabilitas kawasan ketika ambisinya menembus batas regionalnya sendiri?

Tag:  #masihkah #asean #relevan #bagi #indonesia #bawah #prabowo

KOMENTAR