Mewujudkan Petani Milenial Berdampak
Ilustrasi petani muda, anak muda menjadi petani. (FREEPIK/JCOMP)
11:28
27 Oktober 2025

Mewujudkan Petani Milenial Berdampak

BANGSA Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda setiap tahunnya di tanggal 28 Oktober. Pada momentum peringatan tersebut kita selalu diingatkan pada semangat persatuan dan tekad kolektif anak muda Indonesia untuk mengambil peran dalam sejarah kebangsaan.

Sumpah yang diikrarkan pada 1928 bukan hanya tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu Bahasa. Ikrar ini juga berkenaan dengan kesadaran bahwa masa depan bangsa berada di tangan generasi muda yang mau bergerak, berjuang, dan berkontribusi nyata.

Setelah 80 tahun Indonesia merdeka, tantangan generasi muda saat ini bukan lagi mengenai kemerdekaan politik. Tantangan yang dihadapi ialah berkenaan dengan kedaulatan ekonomi dan pangan. Di tengah dunia yang terus berubah, ketika perang, krisis iklim, dan disrupsi global mengguncang sistem pasok makanan dunia, Indonesia kembali dihadapkan pada pertanyaan mendasar yaitu apakah kita mampu memberi makan bangsa sendiri dan bahkan dunia?

Presiden Prabowo Subianto dalam visi besar pemerintahannya telah menetapkan cita-cita ambisius yaitu menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. Cita-cita ini telah dinyatakan langsung oleh beliau pada Pidato Perdana sebagai Presiden Republik Indonesia di sidang MPR-RI.

Cita-cita sejatinya tidak hanya menjadi slogan politis, melainkan suatu strategi kebangsaan yang sangat relevan dengan kondisi geopolitik dan ekonomi global. Indonesia, dengan kekayaan alamnya yang luar biasa, tanah subur, dan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, sejatinya memiliki semua modal untuk menjadi pusat produksi pangan global. Namun, di balik potensi besar itu, terdapat masalah mendasar yaitu krisis regenerasi petani.

Sektor pertanian yang selama ini menjadi tulang punggung bangsa justru kini dihadapkan pada ancaman kekurangan tenaga muda. Jika tren ini terus berlanjut, maka sepuluh hingga lima belas tahun mendatang, Indonesia bisa menghadapi krisis serius dalam sektor pertanian. Beberapa negara telah mengalami krisis regenerasi petani ini, sehingga menimbulkan dampak terhadap pemenuhan kebutuhan pangan dalam negerinya.

Pada konteks inilah, semangat Sumpah Pemuda menjadi relevan dengan kondisi saat ini. Apabila pada 1928 para pemuda bersumpah untuk menyatukan bangsa, maka saat ini para pemuda harus bertekad untuk menumbuhkan semangat kedaulatan pangan. Generasi muda harus menjadi pelopor dalam mewujudkan gerakan pertanian modern dan kemandirian pangan nasional.

Tidak dapat dipungkiri, sektor pertanian di Indonesia menghadapi berbagai permasalahan klasik dan struktural. Di pedesaan, banyak anak muda enggan melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Mereka melihat bertani sebagai pekerjaan yang melelahkan, penuh risiko, dan tidak menjanjikan kesejahteraan.

Menurut survei Kementerian Pertanian, minat generasi muda terhadap sektor pertanian sangat rendah. Data BPS menunjukkan rata-rata usia petani di Indonesia berada di atas 45 tahun dengan jumlah sekitar 71%, dan hanya 29% yang berada di bawah usia 45 tahun. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan usia yang dapat mengancam keberlangsungan sektor pertanian di masa depan.

Berdasarkan survei Jakpat hanya 6 dari 100 generasi Z yang tertarik bekerja di bidang pertanian. Alasan utama Gen Z tidak tertarik pada bidang pertanian ialah ketiadaan pengembangan karir (36,3%), penuh risiko kerja yang tinggi (33,3%), pendapatan yang rendah (20%), tidak diharga (14,8%), dan tidak menjanjikan (12,6%).

Masalah lainnya adalah akses terhadap lahan dan permodalan. Banyak generasi muda yang ingin terjun ke pertanian, tetapi tidak memiliki lahan sendiri dan kesulitan mendapatkan pembiayaan. Selain itu, pertanian tradisional masih identik dengan keterbatasan teknologi dan rendahnya produktivitas. Akibatnya, sektor ini sulit bersaing dengan industri lain yang lebih modern dan menjanjikan pendapatan lebih tinggi.

Tak hanya itu, perubahan iklim semakin memperburuk situasi. Cuaca yang tidak menentu, banjir, kekeringan, dan serangan hama berdampak langsung pada hasil panen. Petani sering kali menjadi pihak yang paling rentan terhadap risiko tersebut.

Di tengah situasi seperti itu, wajar jika banyak pemuda merasa bertani bukan pilihan karier yang menjanjikan. Padahal, jika dilihat dari potensi dan kebutuhan strategis bangsa, sektor pertanian sejatinya adalah masa depan.

Dunia sedang menghadapi ancaman krisis pangan global. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), untuk memenuhi kebutuhan populasi dunia pada 2050, produksi pangan harus meningkat hingga 60 persen dibandingkan saat ini. Kondisi ini berarti peluang bagi negara seperti Indonesia sangat besar. Namun peluang ini dapat kita raih jika mampu menghadirkan generasi petani baru yang kreatif, terdidik, dan berdaya saing.

Harapan baru kini muncul dalam sosok petani milenial yaitu generasi muda yang tidak sekadar menggarap lahan, tetapi juga mengelola pertanian sebagai bisnis modern berbasis teknologi dan inovasi. Mereka bukan hanya menanam padi, jagung, atau sayur-mayur, tetapi juga menanam ide, data, dan jejaring.

Petani milenial hadir dengan karakter khas yaitu melek teknologi, adaptif, kolaboratif, dan berpikir wirausaha. Mereka menggunakan media sosial untuk memasarkan hasil panen, memanfaatkan Internet of Things (IoT) untuk memantau kondisi lahan, serta memakai aplikasi e-commerce untuk menjual produk langsung ke konsumen.

Harapan sempat muncul dengan kehadiran eFishery yang digawangi oleh anak muda. eFishery merupakan perusahaan rintisan berbasis teknologi akuakultur (perikanan) asal Indonesia yang menyediakan solusi berbasis Internet of Things (IoT) dan data untuk mengoptimalkan budidaya ikan dan udang. Namun ternyata perusahaan rintisan terkena skandal dugaan manipulasi keuangan dan dana investasi investor.

Di beberapa daerah telah lahir kelompok tani milenial yang menggunakan pendekatan modern dalam metode pertaniannya. Melalui pendekatan modern ini hasil panen dapat meningkat dan biaya produksi menurun. Mereka melihat pertanian bukan sekadar pekerjaan fisik, tetapi bidang strategis yang bisa dikembangkan dengan pendekatan sains, bisnis, dan teknologi.

Dengan kata lain, mereka mengembalikan kebanggaan pada profesi petani yaitu sebuah identitas yang sempat pudar. Visi besar Presiden Prabowo Subianto untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia tentu membutuhkan sumber daya manusia yang kuat dan adaptif. Indonesia tidak mungkin mencapai posisi itu hanya dengan mengandalkan sistem pertanian tradisional. Diperlukan transformasi besar-besaran, baik dalam cara produksi, distribusi, maupun pengelolaan hasil pertanian.

Dalam konteks ini, petani milenial menjadi kunci utama. Mereka bukan hanya penggerak lapangan, tetapi juga agen perubahan yang mampu mengintegrasikan teknologi digital, inovasi, dan kewirausahaan dalam sistem pangan nasional.

Pemerintah telah menargetkan berbagai komoditas strategis untuk digenjot, seperti beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi. Selain itu, potensi ekspor produk hortikultura dan perikanan juga sangat besar. Namun, semua target itu hanya bisa tercapai jika ada tenaga muda yang siap menggarap sektor ini dengan pendekatan modern.

Sebagai contoh, dalam program Food Estate yang dilaksanakan di beberapa daerah, pemerintah mendorong kehadiran petani muda untuk mengelola lahan dengan sistem mekanisasi dan digitalisasi. Program ini tidak hanya berorientasi pada peningkatan produksi, tetapi juga pada penciptaan lapangan kerja dan regenerasi petani.

Lebih jauh, petani milenial dapat memainkan peran penting dalam ekspor pangan dan agribisnis global. Produk pertanian organik, hasil olahan lokal, dan komoditas bernilai tambah tinggi kini semakin diminati pasar dunia. Dengan kemampuan digital marketing dan jejaring global, petani muda bisa membawa produk lokal ke pasar internasional.

Dengan demikian, petani milenial bukan sekadar pelaku ekonomi desa, tetapi juga aktor strategis dalam diplomasi pangan Indonesia. Mereka menjadi ujung tombak yang menghubungkan sawah dengan dunia.

Kesadaran akan pentingnya regenerasi petani telah mendorong pemerintah meluncurkan berbagai program khusus untuk memberdayakan petani milenial. Pemerintah telah menjadikan program Petani Milenial sebagai salah satu program andalan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Tak tanggung-tanggung dana sebesar Rp30 triliun pun disiapkan untuk memastikan tercapainya tujuan program tersebut.

Pemerintah menyematkan kelompok petani milenial ini sebagai Brigade Swasembada Pangan. Selain itu, pemerintah juga mendorong korporatisasi petani, yaitu mengelompokkan petani ke dalam kelembagaan ekonomi seperti koperasi modern agar mereka memiliki daya tawar lebih tinggi. Pendekatan ini membantu petani dalam pembelian input, pengelolaan pascapanen, hingga pemasaran produk.

Lebih jauh, digitalisasi harus menjadi bagian integral dari strategi pemerintah. Program seperti “Smart Farming 4.0” atau "Precision Farming" memperkenalkan teknologi sensor tanah, sistem irigasi otomatis, dan analitik data cuaca untuk membantu petani meningkatkan efisiensi.

Kolaborasi lintas sektor pun semakin penting. Dunia usaha, akademisi, dan komunitas muda mulai bersinergi untuk membangun ekosistem pertanian berkelanjutan. Inovator muda dibutuhkan tidak hanya di sawah, tetapi juga di laboratorium, ruang desain, dan ruang digital.

Jika semua ini dapat terwujud, maka sektor pertanian bukan lagi dianggap kuno, melainkan menjadi ladang inovasi masa depan. Keberadaan petani milenial membawa harapan baru bagi pembangunan desa dan kemandirian pangan nasional. Mereka adalah simbol kebangkitan ekonomi pedesaan yang berbasis inovasi.

Petani muda tidak lagi bekerja secara individual, tetapi berjejaring, berkolaborasi, dan membangun model bisnis bersama. Mereka menciptakan rantai nilai baru, di mana hasil pertanian tidak berhenti di pasar lokal, tetapi bisa diolah, dikemas, dan dijual ke pasar modern.

Lebih dari itu, mereka menjadi pionir dalam mengubah paradigma pertanian yaitu dari sekadar “bertani untuk hidup” menjadi “bertani untuk maju.” Mereka menempatkan pertanian sebagai sektor yang berorientasi pada nilai tambah, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan sosial.

Dalam konteks pembangunan desa, petani milenial menjadi aktor strategis. Mereka memanfaatkan teknologi untuk memperkuat ketahanan pangan lokal, mengembangkan produk unggulan daerah, dan menciptakan lapangan kerja. Dengan begitu, arus urbanisasi dapat ditekan, karena desa menjadi tempat yang menjanjikan secara ekonomi dan sosial.

Petani muda juga berperan penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan. Dengan pendekatan pertanian regeneratif, organik, dan ramah iklim, mereka membantu menjaga kesuburan tanah, kualitas air, dan keanekaragaman hayati. Ini bukan hanya soal produksi pangan, tetapi juga tentang merawat bumi, sesuatu yang sangat relevan di tengah krisis ekologis global.

Di sinilah letak nilai reflektifnya yaitu menjadi petani bukan hanya soal profesi, tetapi juga panggilan pengabdian. Seperti halnya para pemuda 1928 yang berjuang untuk kemerdekaan, petani milenial hari ini berjuang untuk kedaulatan pangan bangsa.

Presiden Prabowo Subianto sering menegaskan pentingnya ketahanan pangan sebagai fondasi kedaulatan bangsa. Indonesia tidak boleh tergantung pada impor pangan, karena kemandirian pangan adalah bagian dari harga diri nasional. Dalam konteks itu, petani muda adalah pahlawan masa kini yaitu mereka yang tidak berperang dengan senjata, tetapi dengan cangkul, data, dan inovasi.

Jika pada masa lalu Indonesia dikenal sebagai negeri agraris, maka di masa depan Indonesia harus dikenal sebagai negeri agraris modern. Sebuah bangsa yang bukan hanya mampu memberi makan rakyatnya sendiri, tetapi juga dunia. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kolaborasi besar yaitu pemerintah yang memberi ruang, universitas yang mendidik, swasta yang mendukung, dan generasi muda yang berani bertani.

Ketika kita berbicara tentang “petani milenial berdampak,” sesungguhnya kita sedang berbicara tentang masa depan Indonesia. Sebuah masa depan yang ditentukan bukan di gedung pencakar langit, tetapi di hamparan sawah, kebun, dan ladang yang dikelola dengan pengetahuan dan cinta.

Petani muda adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan. Mereka mewarisi semangat kerja keras petani tradisional, sekaligus membawa visi baru tentang efisiensi, keberlanjutan, dan nilai tambah. Kita perlu memberi mereka ruang, dukungan, dan kepercayaan.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu memberi makan dirinya sendiri. Bangsa yang berdaulat adalah bangsa yang memiliki generasi muda yang mau menanam, memelihara, dan memanen masa depannya sendiri. Maka, di tengah peringatan Sumpah Pemuda, marilah kita refleksikan satu hal yaitu menjadi petani muda bukan pilihan kecil, tetapi keputusan besar untuk mencintai Indonesia.

Tag:  #mewujudkan #petani #milenial #berdampak

KOMENTAR