Satu Tahun Prabowo: Menagih Reformasi Polri
Presiden Prabowo Subianto (kiri) didampingi Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo saat menyampaikan keterangan kepada wartawan usai menjenguk polisi yang dirawat di RS Polri Kramat Jati, Jakarta, Senin (1/9/2025). Presiden Prabowo Subianto menjenguk anggota polisi yang mengalami cedera dan luka-luka akibat kericuhan saat aksi unjuk rasa di Jakarta dan meminta Kapolri untuk menaikan pangkat luar biasa kepada anggota yang terluka. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nym. Prabowo Naikkan Pang
12:50
21 Oktober 2025

Satu Tahun Prabowo: Menagih Reformasi Polri

HINGGA satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, 20 Oktober 2025, tak ada pelantikan Komisi Reformasi Polri. Padahal, publik menunggu realisasi janji Prabowo untuk mereformasi kepolisian.

Janji itu disampaikan Prabowo saat bertemu dengan tokoh-tokoh dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB) di Istana Kepresidenan, beberapa waktu lalu. Presiden menyetujui membentuk komisi atau tim.

Saya menduga, Prabowo akan meresmikan komisi itu persis di satu tahun pemerintahannya. Sekaligus kado untuk rakyat Indonesia.

Sejumlah nama pun konon sudah dihubungi dan siap, salah satunya Mahfud M.D. Namun, selebrasi satu tahun Prabowo ternyata tanpa reformasi Polri.

Selebrasi yang paling istimewa pada satu tahun Prabowo adalah penyerahan uang Rp 13.255.244.538.149 atau Rp 13 triliun dari Kejaksaan Agung (Kejagung) ke negara. Uang sebesar itu merupakan hasil sitaan Kejagung dari kasus korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

Kinerja Kejagung dan kehakiman patut memperoleh apresiasi tinggi. Setidaknya, melalui Kejagung dan kehakiman, publik melihat kesungguhan Prabowo dalam pemberantasan korupsi.

Sejalan dengan itu, sangat wajar publik juga menuntut pembenahan kepolisian secara sungguh-sungguh. Kejaksaan, kehakiman dan kepolisian adalah garda depan penegakan hukum dan keadilan.

Bahkan, terkait reformasi kepolisian, Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo merespons secara cepat tuntutan publik itu.

Listyo Sigit gerak cepat dengan membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang beranggotakan 52 perwira polisi.

Tuntutan publik perihal reformasi kepolisian mencuat kencang pascaperistiwa demonstrasi besar akhir Agustus 2025.

Demonstrasi itu mengakibatkan sepuluh orang meninggal dunia, termasuk pengemudi ojek online, Affan Kurniawan. Ia dilindas kendaraan taktis Brigade Mobil Polri di Jalan Pejompongan, Jakarta.

Berbagai kalangan menilai polisi sudah menyalahgunakan kewenangan dalam menangani unjuk rasa. Tuntutan reformasi kepolisian lalu menemukan momentumnya.

Substansi tuntutan sesungguhnya sudah menjadi keluhan sehari-hari warga. Di antaranya diekspresikan kelompok band Sukatani melalui lagu berjudul “Bayar, Bayar, Bayar”.

Namun, polisi bukan menanggapinya secara jernih, bijak dan reflektif. Sebaliknya, polisi malah defensif, terkesan menolak kritik, yang justru memperburuk citranya sendiri.

Apa yang sesungguhnya dipikirkan Prabowo terkait tuntutan reformasi Polri, sehingga terkesan lamban, tentu Prabowo sendiri yang tahu persis.

Namun, publik tetap akan menagih janjinya. Publik berhak menuntut kepolisian bekerja secara baik sebagaimana mestinya. Tuntutan itu dengan jelas dan tegas ditujukan kepada Prabowo sebagai presiden.

Reformasi kepolisian tentu saja bukan pekerjaan remeh-temeh. Tantangannya besar dan butuh energi besar pula, mengingat kepolisian adalah subsistem dari sistem bernegara kita.

Melalui tulisan ini, saya mencoba mengintip rumah tangga kepolisian dari sudut antropologi. Itu pun lubangnya boleh jadi terlalu sempit.

Namun, siapa tahu berguna buat para anggota kepolisian dan kita semua yang berharap ada perubahan performa polisi ke arah yang membanggakan.

Pataka polisi

Setiap organisasi dan tata laku anggotanya senantiasa berpegang pada nilai-nilai yang menjadi orientasinya. Nilai-nilai kepolisian Indonesia sesungguhnya terang-benderang.

Nilai-nilai itu dipahat di pataka polisi, yang turunannya menempel di baju dinas polisi, atribut dan sarana kelengkapan lain. Ke mana pun seorang polisi Indonesia melangkah, pataka itu selalu mengikuti.

Ada 4 hal di pataka polisi. Bintang berjumlah 3 di bagian atas. Di tengah ada perisai. Di bagian bawah ada kata “Rastra Sewakottama” (bahasa Sansekerta). Di kanan-kiri perisai ada gambar padi dan kapas.

Bintang berjumlah tiga bermakna “tribrata”, tiga jalan (keutamaan). Jalan pertama “Rastra Sewakottama”, abdi utama untuk nusa dan bangsa, yang juga dieksplisitkan di bagian bawah.

Polisi Indonesia wajib berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan.

Jalan kedua “Nagara Janottama”, warga negara teladan. Polisi wajib menjadi teladan warga masyarakat dalam menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, serta kemanusiaan dan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dan, jalan ketiga “Jana Anusasana Dharma”, wajib menjaga ketertiban. Polisi Indonesia senantiasa melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan ikhlas untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban.

Perisai menandakan pelindung rakyat. Di dalam perisai ada nyala obor bersaf: 4 saf di kepala dan 5 saf di kaki. Ada 8 jilatan api dari obor itu. Ada 17 garis sinar dari api obor.

Jelas sekali: 17-8-45, kode hari bersejarah, yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dan, padi-kapas yang berada di samping perisai adalah sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Bukan sembarangan, pataka polisi konon dibuat oleh Raden Said Soekanto, Kapolri pertama. Benderanya pun dijahit sendiri oleh Lena Mokoginta, istri Soekanto.

Mungkin terinspirasi oleh bendera pusaka merah-putih yang dijahit sendiri oleh Fatmawati, istri Soekarno, Sang Proklamator.

Tiang pataka berasal dari pohon yang terdapat di Pulau Karimun Jawa. Di buku Meniti Gelombang Reformasi, Nugroho Djajoesman menuliskan kesaksian ayahnya, Hendra Djajoesman, yang pernah menjadi ajudan Soekanto.

Menurut mantan Kapolda Metro Jaya itu, tiang pataka secara khusus diambil Soekanto di Pulau Karimun Jawa dengan cara tirakatan.

Pataka itu secara resmi diserahkan Presiden Soekarno kepada Soekanto selaku Kepala Kepolisian RI saat perayaan ulang tahun kepolisian di Lapangan Banteng, 1 Juli 1955.

“Tribrata” (yang dilambangkan 3 bintang) itulah yang diucapkan Soekanto tatkala menerima pataka dari Presiden Soekarno.

Sungguh mendalam makna falsafi pataka polisi. Hakikat tugas polisi adalah pelindung rakyat. Mengayomi dan melindungi warga masyarakat. Menjaga ketertiban dan menegakkan hukum secara berkeadilan.

Untuk apa? Agar tercapai cita-cita kemerdekaan Indonesia: masyarakat adil berkemakmuran, makmur berkeadilan.

Dengan kata lain, di pataka itu terpatri nilai-nilai kepolisian, jati diri polisi Indonesia. Negara menempatkan dan memberikan tugas mulia kepada polisi untuk membersamai warga masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai sipil (civilian value). Sekaligus memastikan keamanan setiap warga masyarakat.

Nilai-nilai pada pataka polisi itu bersifat dekonstruktif terhadap nilai-nilai kepolisian negara kolonial. Polisi Indonesia wajib membentuk nilai-nilai baru seiring dengan semangat dan tujuan kemerdekaan Indonesia.

Dan, pataka itu secara simbolis memutus pewarisan nilai-nilai feodal-kolonial pada polisi kolonial, lalu menggantikannya dengan nilai-nilai sipil.

Begitu bermakna pataka polisi, setiap menjelang Hari Ulang Tahun Kepolisian RI diadakan ritual khusus. Setiap menjelang 1 Juli digelar ritual pencucian pataka.

Dari sudut teori liminalitas van Gennep, ritual pencucian pataka bisa dibaca sebagai simbol refleksi. Subjek dimasukkan ruang “liminal”. Di sana subjek disucikan sebagai peristiwa yang menandai transisi dari hari ini menuju hari esok. Liminalitas menuntut proses perenungan terhadap status hari ini untuk hari esok.

Tentu saja hari esok haruslah lebih baik daripada hari ini. Caranya, dengan merevitalisasi nilai-nilai kepolisian Indonesia yang terpatri di pataka, menjadikannya orientasi kerja/tugas setiap anggota polisi.

Dengan demikian, polisi selalu “siap” terus-menerus memperbaiki kinerjanya seiring dinamika masyarakat yang diayomi.

Sungguh mulia. Pantas sekali di pataka itu polisi menyebut diri warga negara teladan, “Nagara Janottama”.

Tantangannya tentu saja berat dan sangat kompleks untuk disebut teladan, mengingat setiap hari polisi ada di tengah masyarakat dengan segenap persoalan yang juga kompleks.

Ritual tanpa makna

Namun, pataka yang setiap tahun disucikan, yang semestinya dibaca makna antropologisnya, rupanya hanya ritual tanpa makna. Desakan kekuasaan dengan segenap kegemerlapannya berhasil menyingkirkan makna antropologisnya.

Pataka lalu terasing dari dunia sehari-hari. Nilai-nilai mulia dan utama kepolisian yang dipahat di pataka dilupakan. Yang tertinggal hanyalah penanda tanpa petanda, bak mantra kehilangan tuah.

Pataka yang ditempel di baju dinas polisi dan atribut lain tinggal hiasan belaka. Nilai-nilainya terbang ke awang-awang, tak lagi dipedomani di bumi.

Pataka yang sekadar hiasan itu rupanya sudah berlangsung lama. Setidaknya, secara institusional, tampak dari penyatuan polisi ke dalam organisasi militer pada zaman Orde Baru.

Namun, pemisahan polisi dari organisasi militer pasca-Orde Baru ternyata juga tak ampuh untuk mengembalikan nilai-nilai kepolisian pada dunia sehari-hari polisi Indonesia. Gemerlap kekuasaan jauh lebih memukau anggota Korps Bhayangkara daripada nilai-nilai tersebut.

Senjata dan hukum bukan diabdikan untuk “tribrata”, melainkan demi kekuasaan. Senjata dan hukum justru digunakan untuk melemahkan nilai-nilai sipil yang seharusnya dibela.

Munculnya adagium "no viral no justice" merefleksikan buruknya kinerja aparat penegak hukum. Proses mencari keadilan tak lagi bersandar pada penegak hukum. Masyarakat memilih caranya sendiri melalui unggahan di media sosial.

Tak aneh bila citra polisi terpuruk di mata publik. “Bayar, Bayar, Bayar,” kata kelompok band Sukatani.

Saya juga sering mendengar celoteh sinis warga masyarakat terhadap polisi. Bahkan, tak mengizinkan putra/putrinya memilih profesi polisi.

Tak aneh pula muncul humor satire dari Gus Dur. Menurut Gus Dur, hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng (Kapolri 1968 – 1971).

Tak ada jalan lain, polisi harus diselamatkan. Reformasi Polri mestilah berpangkal dari hal yang mendasar. Pak Presiden, kembalikan polisi pada patakanya.

Tag:  #satu #tahun #prabowo #menagih #reformasi #polri

KOMENTAR