Ammar Zoni Perlu Dilindungi
EMPAT kali Ammar Zoni (AZ) terbelit dalam masalah narkoba. Jelas, sangat memalukan! Namun, jangan berlagak pilon; skandal AZ merupakan hantaman palu godam terhadap seluruh lembaga penegakan hukum, khususnya Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
Pasalnya, program pembinaan yang mereka kenakan ke AZ--andai program itu memang ada--ternyata sama sekali tidak mujarab untuk mengubah tabiat AZ.
Bahkan bukan hanya gagal, program pemasyarakatan itu justru membuat AZ menjadi residivis dengan kadar bahaya yang semakin tinggi.
Atas dasar itu, memberikan status high risk kepada AZ lalu mengerangkengnya di Nusakambangan sepatutnya bukan sebatas manifestasi "buruk muka, cermin dibelah".
Apalagi jika perlakuan keras sedemikian rupa cuma dijadikan sebagai siasat untuk mempersulit pendalaman atas kasus AZ.
Pascapenindakan terhadap AZ, otoritas hukum harus mencari tahu penyebab tidak manjurnya rehabilitasi atas AZ selama dia berada di dalam lembaga pemasyarakatan.
Situasi paling menakutkan adalah apabila penjara secara ironis menciptakan atau menyediakan lingkungan kriminogenik bagi AZ.
Di lingkungan seperti itu, AZ memperoleh modal baru serta membangun keterampilan baru dan network baru guna mempercanggih perilaku jahatnya.
Dengan kata lain, alih-alih sebagai sentra penyiapan narapidana untuk suatu saat kembali ke masyarakat, penjara justru menciptakan dan meneguhkan perilaku kriminal warga binaannya.
Keberadaan lingkungan kriminogenik di dalam penjara menjadikan AZ bukan sebagai satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab.
Skandal AZ, dengan demikian, tidak cukup disikapi sebagai masalah individual, melainkan sebagai masalah sistemik.
Keterlibatan pihak-pihak lain dalam 'apotek' atau 'bisnis bawah tanah' AZ juga perlu diusut dan diproses hukum. Mulai dari keteribatan dalam bentuk kelalaian, yakni petugas sama sekali tidak tahu-menahu ihwal bisnis AZ.
Petugas dan otoritas pemasyarakatan secara umum tidak boleh cuci tangan. Keterlibatan lebih serius adalah ketika petugas abai, yakni melakukan pembiaran kendati mereka mengetahui pasar bawah tanah yang AZ terlibat di dalamnya.
Lebih tinggi lagi adalah petugas terlibat pasif, di mana petugas lapas sebagai pesuruh, sedangkan AZ sebagai motor bisnisnya.
Yang terberat adalah manakala petugas terlibat aktif. Di situ, petugas berkedudukan sebagai pemrakarsa, sementara AZ sebatas sebagai kaki tangannya.
Petugas pemasyarakatan bukan pula satu-satunya otoritas yang perlu diinvestigasi. Seorang mantan narapidana berbagi cerita langsung kepada saya: ia mensinyalir narkoba yang AZ perdagangkan berasal dari barang bukti tindak pidana.
Alih-alih disimpan untuk kepentingan proses hukum, barang bukti justru diselundupkan oleh petugas penegak hukum guna menghasilkan keuntungan pribadi.
Bahwa barang bukti itu dikomersialisasi di penjara tidak terlepas dari ‘kodrat’ bahwa penjara sesungguhnya merupakan lokasi jual beli narkoba paling ideal.
Seluruh penghuni penjara merupakan konsumen potensial, karena mereka datang ke lingkungan penjara sebagai orang bermasalah di tengah masyarakat yang kemudian menghidupkan masalah di dalam penjara.
Di dalam tembok penjara, juga tidak sungguh-sungguh tersedia program kegiatan yang bisa mengalihkan energi para narapidana dari masalah mereka ke arah yang lebih produktif.
Kombinasi antara importation model dan deprivation model itu menjadikan para penghuni penjara sebagai calon pembeli yang selalu ada dan narkoba menjadi dagangan terlaris di musim apapun.
Para petugas, setelah merasa betapa ‘bermanfaat’-nya bisnis bawah tanah di penjara, juga memilih melindungi sumber penghasilan ekstra mereka itu.
Sehingga, sebagai simbiosis yang saling menguntungkan, penghuni penjara dan petugas penjara segendang sepenarian mengamankan pasar itu.
Pertanyaannya, jika bisnis hitam narkoba di dalam penjara nyata-nyata menguntungkan, mengapa ‘apotek’ AZ justru dibongkar?
Mantan narapidana yang sama kembali menuturkan analisisnya. Kuat dugaannya, berdasarkan pengalamannya selama berada di dalam lapas dan mengetahui langsung “setiap blok penjara memiliki ‘apotek’-nya masing-masing”, ‘apotek’ AZ hanya bisnis kaliber kecil.
‘Apotek’ kacangan itu sengaja diobrak-abrik agar terbangun citra bahwa lapas bersangkutan memiliki komitmen nyata terkait pemberantasan narkoba di dalam lingkungannya.
Pada saat yang sama, manuver tersebut dilakukan untuk menutup-nutupi adanya ‘apotek’ kelas kakap agar tetap terus berbisnis dengan aman.
Dengan kata lain, jika perkataan si mantan narapidana benar adanya, pengamanan terhadap AZ sesungguhnya tidak dapat dipandang sebagai kerja murni penegakan hukum.
Sebailknya, AZ merupakan target operasi penegakan hukum dalam rangka menjaga keberlangsungan tindak pidana berskala lebih luas yang ada di dalam penjara yang sama.
Tentu, penuturan mantan orang dalam itu perlu dijadikan sebagai referensi untuk keperluan investigasi lebih lanjut.
Pada sisi yang sama, gambaran tentang konstelasi bisnis bawah tanah sedemikian rupa menambah panjang daftar kejahatan yang diyakini publik berlangsung secara terorganisasi di lembaga-lembaga penegakan hukum.
Sebelumnya ada Konsorsium 303, lalu konsorsium tambang yang dioperasikan oleh institusi penegakan hukum yang sama.
Dibutuhkan aba-aba langsung dari Presiden, tampaknya, untuk membuktikan seberapa jauh kebenaran kabar itu.
Memotret kasus AZ sebagai kejahatan terorganisasi yang patut diduga melibatkan peran petugas lapas secara sistemik, serta-merta ada kemiripan posisi AZ dengan Richard Eliezer dalam kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat.
AZ adalah penjahat yang potensial membuka tabir kejahatan secara lebih menyeluruh. Sehingga, sembari memproses AZ secara hukum, kepadanya juga perlu diberikan perlindungan agar bisa mengekspos habis-habisan 'apotek-apotek’ di dalam penjara.
Sebagai orang yang bisa saja kini dianggap high risk (dalam pengertian membongkar kartel narkoba di dalam penjara), institusi negara semisal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, atau bahkan tim investigasi gabungan bentukan pemerintah perlu proaktif menerapkan sistem pengamanan terhadap AZ di Nusakambangan.
Dua pertanyaan yang jawabannya tersedia seketika. Pertama, siapa yang yakin hanya ada satu 'apotek' di penjara-penjara di Indonesia? Dan, siapa pula yang percaya bahwa tidak ada Ammar Zoni serupa di dalam sana?
Kedua, akankah majelis hakim nantinya menyemangati AZ untuk buka-bukaan di ruang sidang lalu memberikannya peringanan hukuman?
Tag: #ammar #zoni #perlu #dilindungi