



Kenaikan Dana Reses DPR: Antara Amanah dan Kenyamanan Kekuasaan
KABAR kenaikan anggaran reses anggota DPR kembali menyentak nalar publik. Di tengah situasi ekonomi rakyat yang belum sepenuhnya pulih, langkah tersebut terasa janggal.
Reses yang sejatinya menjadi ruang moral bagi wakil rakyat untuk mendengar denyut aspirasi konstituennya, kini justru berpotensi menjadi simbol kemewahan baru dalam politik anggaran.
Dalam teori politik klasik, reses merupakan wujud hubungan representatif antara rakyat dan wakilnya. Ia adalah momen untuk kembali ke akar legitimasi rakyat.
Namun, ketika kegiatan itu disertai dengan kenaikan anggaran tanpa alasan yang transparan dan rasional, fungsi representasi beralih menjadi formalitas administratif yang menguntungkan pihak tertentu.
Rakyat yang seharusnya menjadi subjek politik, pelan-pelan tergeser menjadi obyek pencitraan.
Antara aspirasi dan komodifikasi politik
Kenaikan anggaran reses bukan sekadar isu teknis. Ia adalah cermin bagaimana lembaga legislatif memaknai tanggung jawab publik.
Bila dana reses digunakan lebih banyak untuk membangun citra atau memperkuat jaringan politik di daerah pemilihan, maka esensi reses sebagai forum aspirasi telah kehilangan maknanya.
Kenneth Minogue dalam Politics: A Very Short Introduction (Oxford University Press, 2002) menulis bahwa ketika politik kehilangan fondasi etiknya, ia berubah menjadi arena manipulasi di mana kepentingan publik hanya dijadikan dalih bagi keuntungan pribadi.
Fenomena inilah yang kini mulai terasa, aspirasi rakyat menjadi komoditas politik, bukan lagi ruh dari perwakilan demokratis.
Publik tentu tidak antiterhadap peningkatan anggaran, sepanjang diikuti dengan peningkatan kualitas kinerja.
Namun, kenyataannya, laporan hasil reses jarang sekali dipublikasikan secara terbuka. Rakyat tidak tahu apa yang dibicarakan, diperjuangkan, atau bahkan dihasilkan dari pertemuan-pertemuan yang dibiayai oleh uang mereka sendiri.
Dalam kerangka good governance, setiap kebijakan anggaran publik harus tunduk pada tiga prinsip: transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi.
Denhardt dan Denhardt dalam The New Public Service Serving, Not Steering (M.E. Sharpe, 2003) menegaskan bahwa tugas pejabat publik adalah melayani masyarakat, bukan mengarahkan atau mengatur mereka.
Kenaikan anggaran reses seharusnya dibarengi dengan pelaporan yang terbuka dan terukur berapa banyak aspirasi yang diserap, berapa yang diperjuangkan, dan berapa yang benar-benar terwujud dalam kebijakan. Tanpa itu semua, reses hanya akan menjadi ritual tahunan yang menguras APBN.
Di titik ini, muncul pertanyaan mendasar, apakah kenaikan anggaran tersebut untuk memperkuat peran representatif DPR, atau sekadar mempertebal kenyamanan politik para anggotanya?
Jika rakyat tidak merasakan dampaknya, maka yang hilang bukan hanya akuntabilitas, tetapi juga moralitas kekuasaan itu sendiri.
Amartya Sen dalam The Idea of Justice (Harvard University Press, 2009) mengingatkan bahwa keadilan tidak hanya diukur dari prosedur formal, tetapi dari hasil nyata yang dirasakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, setiap kebijakan anggaran harus diuji secara etis, apakah manfaatnya kembali ke rakyat, atau berhenti di lingkar kekuasaan?
Dalam situasi fiskal yang ketat, ketika subsidi publik dikurangi dan program sosial sering kali terbatas, keputusan menaikkan anggaran bagi pejabat publik menjadi paradoks moral.
Ia memperlihatkan jarak yang semakin lebar antara elite dan rakyat antara idealisme representasi dan kenyataan transaksional politik.
Mengembalikan reses pada hakikatnya
Reses seharusnya dimaknai sebagai jalan pulang wakil rakyat kepada rakyatnya. Ia bukan hak istimewa, tetapi amanah konstitusional yang harus dijalankan dengan kesadaran moral.
Kenaikan anggaran tanpa pertanggungjawaban yang memadai hanya akan memperdalam krisis kepercayaan terhadap DPR lembaga yang sejatinya menjadi penjaga suara rakyat.
John Stuart Mill dalam Considerations on Representative Government (1861) mengingatkan: “Hakikat pemerintahan perwakilan bukan pada hak-hak istimewa para wakil, melainkan pada hak dan suara mereka yang diwakili.”
Pernyataan itu terasa sangat relevan hari ini. Rakyat tidak menuntut kemewahan dari wakilnya, hanya ketulusan untuk benar-benar mendengar.
Sebab di balik setiap rupiah yang naik dalam anggaran reses, terdapat harapan yang belum dijawab dan janji yang belum ditepati. Wakil rakyat adalah pengembang amanah rakyat (Pembukaan UUD 1945) pemiliki kedaulatan.
Tag: #kenaikan #dana #reses #antara #amanah #kenyamanan #kekuasaan