



Anggota DPR: Muslimat NU-Aisyiyah Khawatir Penulisan Ulang Sejarah Sepelekan Perempuan
Anggota Komisi X DPR RI Habib Syarief Muhammad mengatakan, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait tidak adanya pemerkosaan massal dalam sejarah Indonesia mendapat sorotan dari Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) hingga Aisyiyah.
Organisasi perempuan tersebut merasa khawatir bahwa penulisan sejarah ulang justru menyepelekan perempuan.
Kekhawatiran itu disampaikan saat dirinya berkunjung ke beberapa organisasi perempuan di masa reses.
"Selama reses kemarin saya berkunjung kepada beberapa organisasi-organisasi perempuan. Sangat keras mereka, ya Muslimat (NU), Fatayat, Aisyiyah, dan sebagainya dalam diskusi-diskusi, kaum perempuan merasa keprihatinan yang dirasakan oleh mereka seakan-akan seperti disepelekan," kata Habib Syarief dalam rapat kerja bersama Kemenbud di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
Ia menuturkan, masalah itu menjadi pembicaraan sentral dalam organisasi-organisasi perempuan tersebut.
Oleh karenanya, ia sepakat dengan permintaan anggota Komisi X DPR Mercy Chriesty Barends, yang meminta Fadli Zon segera meminta maaf atas pernyataannya, baik korbannya berjumlah perorangan maupun massal.
"Dan saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Bu Mercy. Nampaknya perlu ada satu kata-kata yang bisa memberikan kesejukan kepada perempuan Indonesia," ucap dia.
Lebih lanjut, ia pun meminta penulisan sejarah ulang yang dimotori oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) ditunda.
Ia menganggap penulisan ulang sejarah ini terkesan tertutup dan waktunya terlalu singkat.
Hal itu tecermin dari tidak adanya penjelasan perinci mengenai siapa saja yang terlibat dalam tim penulisan sejarah.
Ia mengaku sudah mencoba mencarinya, namun tidak pernah mendapatkan data lengkap.
"Daripada kontroversial terus berkelanjutan, kami dari fraksi PKB mohon penulisan sejarah ini untuk ditunda. Ya, jelas untuk ditunda. Karena yang pertama terkesan sangat tertutup," tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Kebudayaan bakal melakukan penulisan sejarah ulang.
Tujuannya untuk menghapus bias kolonial, menguatkan identitas nasional, hingga menjawab tantangan globalisasi yang relevan bagi generasi muda.
Penulisan sejarah ini akan terdiri dari 10 jilid utama, mulai dari awal peradaban Nusantara, interaksi dengan dunia luar (India, Tiongkok, Timur Tengah, Barat), masa kolonialisme dan perlawanan, hingga Orde Baru dan Era Reformasi.
Buku ini dirancang dengan pendekatan Indonesia-sentris, berbeda dari narasi lama yang masih dipengaruhi sudut pandang kolonial.
Pemerintah sendiri menunjuk sekitar 113 sejarawan dari seluruh Nusantara yang terlibat dalam Tim Penulisan Ulang Sejarah Nasional.
Namun, ada pula yang akhirnya mundur dari tim karena menemukan kejanggalan.
Kritikan demi kritikan pun mewarnai rencana ini, termasuk soal penggunaan istilah "sejarah awal" alih-alih "prasejarah".
Padahal, istilah "prasejarah" sudah digunakan secara global selama ini.
Editor umum penulisan ulang sejarah Indonesia, Profesor Singgih Tri Sulistiyono, mengungkapkan, tim memilih menggunakan konsep “sejarah awal” alih-alih “prasejarah” karena menilai ada bias kolonialisme dalam penggunaan istilah “prasejarah”.
Istilah “prasejarah” yang mengandaikan era sebelum masyarakat mengenal tulisan telah menjadi justifikasi penilaian bahwa masyarakat Indonesia di masa lalu adalah masyarakat inferior sebelum berinteraksi dengan kebudayaan India yang memperkenalkan tulisan.
“Padahal teknologi kita sudah maju di zaman itu,” kata Singgih.
Paradigma “sejarah awal” yang diadopsi timnya bukanlah hal yang baru ada sekarang, melainkan sudah dirintis oleh sejarawan Jacob Cornelis van Leur.
Tag: #anggota #muslimat #aisyiyah #khawatir #penulisan #ulang #sejarah #sepelekan #perempuan