Putusan Mahkamah Konstitusi dan Marwah Demokrasi
Gedung Mahkamah Konstitusi.(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
14:02
2 Juli 2025

Putusan Mahkamah Konstitusi dan Marwah Demokrasi

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan pemilu daerah (DPRD dan kepala daerah), dengan jeda waktu dua tahun hingga dua setengah tahun, telah menimbulkan kegelisahan konstitusional mendalam.

Di tengah upaya bangsa ini memperkuat demokrasi substansial, putusan tersebut justru berpotensi merusak tata kelola demokrasi elektoral dan mengganggu sistem checks and balances dalam kerangka ketatanegaraan.

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD.

Ketika jadwal pelaksanaan pemilu daerah dipisahkan dengan jeda waktu hingga dua setengah tahun, muncul risiko konstitusional berupa perpanjangan masa jabatan tanpa pembaruan mandat rakyat melalui pemilu.

Ini bukan sekadar masalah administratif, tetapi menyangkut prinsip dasar demokrasi: legitimasi yang bersumber dari rakyat melalui proses elektoral yang sah.

Dalam tradisi pemikiran demokrasi modern, seperti dikemukakan oleh Robert A. Dahl dalam On Democracy (1998), demokrasi mensyaratkan dua elemen utama: participation dan contestation.

Artinya, warga negara tidak hanya harus diberi kesempatan untuk memilih secara periodik, tetapi juga harus yakin bahwa proses itu adil, kompetitif, dan berlangsung pada waktu yang pasti.

Ketika masa jabatan perwakilan diperpanjang tanpa pemilu, maka elemen contestation menjadi kabur karena tidak ada ruang untuk mengganti atau menilai ulang wakil rakyat melalui mekanisme elektoral.

Dari sudut pandang hukum tata negara, pengaturan semacam ini bertentangan dengan asas periodisasi jabatan publik yang diakui luas dalam praktik konstitusi modern.

Negara-negara demokrasi seperti Jerman dan India, misalnya, secara ketat menjaga lima tahun sebagai masa jabatan lembaga legislatif, sebagaimana tertuang dalam "Grundgesetz Jerman" (Pasal 39 ayat 1) dan "Constitution of India" (Article 83 dan 172).

Perubahan terhadap siklus elektoral hanya dapat dilakukan melalui amandemen konstitusi secara formal, bukan melalui tafsir yudisial yang mengikat secara langsung.

Putusan MK a quo juga menandai pergeseran fungsi Mahkamah dari negative legislator menjadi positive legislator.

Teori klasik Hans Kelsen (1945) menempatkan mahkamah konstitusi sebagai penjaga norma, bukan pembuat norma.

Namun, dalam beberapa putusan terakhir, termasuk Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan sekarang Putusan No. 135/PUU-XXII/2024, MK telah bertindak melampaui wewenangnya, dengan merancang secara teknis sistem dan jadwal pemilu.

Praktik ini membahayakan prinsip open legal policy dalam sistem demokrasi, di mana pembentuk undang-undang (DPR dan presiden) memiliki ruang diskresi untuk merancang hukum berdasarkan dinamika politik dan kebutuhan masyarakat.

 

Ketika MK menutup ruang ini, maka proses politik menjadi terkunci oleh satu tafsir hukum yang tidak fleksibel dan tidak dapat diaudit secara demokratis.

Membela kedaulatan rakyat

Dalam konteks ini, relevan kiranya mengingat kembali gagasan demokrasi dari Bung Karno. Dalam pidato Lahirnya Pancasila (1 Juni 1945), Bung Karno menegaskan bahwa demokrasi Indonesia bukan hanya soal pemilu dan prosedur formal, tetapi merupakan cerminan dari jiwa gotong royong, musyawarah, dan kekuasaan rakyat yang dijalankan untuk kemaslahatan umum.

Demokrasi, bagi Bung Karno, adalah alat perjuangan rakyat, bukan alat elite untuk mempertahankan kekuasaan teknokratis yang tak tersentuh kritik.

"Demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi barat yang hanya berdasarkan perhitungan suara terbanyak. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang hidup, yang mengakar dalam kebudayaan bangsa," tulis Bung Karno dalam Di Bawah Bendera Revolusi (1963).

Jika Mahkamah Konstitusi memaksakan pemisahan pemilu dengan argumentasi teknis, maka ini menciptakan situasi di mana pemilu kehilangan roh kerakyatan dan hanya menjadi agenda administratif.

Lebih dari itu, rakyat tidak lagi bisa menilai kinerja seluruh wakilnya dalam satu waktu yang sama, sebagaimana dimungkinkan dalam sistem pemilu serentak. Ini menjauhkan rakyat dari kekuasaan yang seharusnya mereka miliki.

Demokrasi elektoral tidak boleh terlepas dari semangat kedaulatan rakyat. Apabila institusi konstitusional seperti MK justru membatasi proses itu dengan tafsir yang kaku dan merugikan partisipasi politik rakyat, maka kita tengah menyaksikan kemunduran demokrasi sebuah erosion of democracy yang diam-diam, tapi sistemik, sebagaimana diperingatkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018).

Karena itu, penulis berpandangan bahwa implementasi Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 perlu ditinjau ulang secara serius. Kami menawarkan tiga langkah solutif:

Pertama, moratorium implementasi putusan hingga adanya kejelasan hukum dan politik melalui revisi undang-undang atau konsultasi konstitusional lintas lembaga.

Kedua, konsolidasi nasional lintas partai dan masyarakat sipil untuk merumuskan model pemilu yang demokratis, efisien, dan tidak melanggar prinsip periodisasi jabatan.

Ketiga, pengembalian MK pada fungsi asasi sebagai negative legislator, dengan pengawasan publik dan reformasi kelembagaan.

Demokrasi Indonesia terlalu mahal untuk dipertaruhkan pada tafsir sempit dan prosedural. Jika kita ingin menjaga bangsa ini tetap kokoh dalam bingkai konstitusi dan kedaulatan rakyat, maka seluruh pemangku kepentingan termasuk Mahkamah Konstitusi harus sadar bahwa tafsir hukum tidak boleh mengalahkan amanat sejarah dan semangat demokrasi.

Tag:  #putusan #mahkamah #konstitusi #marwah #demokrasi

KOMENTAR