



Kontras Catat 602 Kasus Kekerasan dalam Setahun oleh Oknum Polisi
- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat selama Juni 2024 hingga Juni 2025, telah terjadi 602 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri.
Kertas Kebijakan bertajuk “Kekerasan yang Menjulang di Tengah Penegakan Hukum yang Timpang” ini diluncurkan satu hari sebelum HUT ke-79 Bhayangkara.
“Sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025, KontraS mencatat sebanyak 602 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh Polri, dengan peristiwa penembakan sebagai peristiwa terbanyak yang mencapai 411 peristiwa,” ujar Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, dalam keterangannya, Senin (30/2025).
Selain penembakan, bentuk peristiwa lainnya adalah penganiayaan sebanyak 81 kasus, penangkapan sewenang-wenang sebanyak 72 kasus, dan pembubaran paksa sebanyak 42 kasus.
Kemudian, terdapat penyiksaan sebanyak 38 kasus, intimidasi sebanyak 24 kasus, kriminalisasi sebanyak 9 kasus, kekerasan seksual sebanyak 7 kasus, dan tindakan tidak manusiawi sebanyak 4 kasus.
Kasus-kasus ini masing-masing menimbulkan puluhan hingga ratusan korban.
Misalnya, dari 38 kasus penyiksaan, terdapat 86 korban.
Sebanyak 10 orang meninggal dunia akibat disiksa, sementara 76 orang lainnya mengalami luka ringan hingga berat.
“KontraS juga mencatat terjadinya 37 peristiwa extrajudicial killing atau pembunuhan di luar hukum yang menyebabkan 40 orang menjadi korban,” ujar Dimas.
Dalam setahun terakhir, KontraS mencatat telah terjadi 44 peristiwa salah tangkap yang menyebabkan 35 orang terluka dan 8 orang meninggal dunia.
Selain itu, hasil monitoring KontraS mencatat bahwa dalam rentang Juli 2024 hingga Juni 2025 terdapat 89 pelanggaran terhadap kebebasan sipil dalam beragam bentuk.
Pada rentang waktu yang sama, terjadi juga 42 peristiwa pembubaran paksa aksi unjuk rasa yang menyebar di pelbagai wilayah di Indonesia.
“Terdapat 1.020 orang yang menjadi korban pelanggaran, yang mayoritasnya adalah mahasiswa,” kata Dimas.
Namun, selain mahasiswa, jurnalis, paramedis, petani, siswa, masyarakat sipil, serta aktivis juga ikut menjadi korban dalam peristiwa pembubaran paksa aksi unjuk rasa.
“Bahkan, di saat yang bersamaan, aktivis atau pembela HAM juga mengalami kerentanan yang serupa dengan mengalami 62 peristiwa penangkapan, di mana 5 di antaranya mengalami luka-luka,” kata dia.
KontraS menilai, di saat peristiwa kekerasan menimpa masyarakat sipil, di tubuh Polri sendiri terjadi penundaan penegakan hukum yang menjadi suatu kesenjangan tersendiri.
Penundaan penegakan hukum ini juga terjadi dalam bentuk kriminalisasi dan minimnya partisipasi publik dalam pelibatan untuk mengawasi kinerja Polri.
Maraknya peristiwa kekerasan dan penyimpangan wewenang yang ada seharusnya menjadi momen bagi Polri untuk berbenah.
KontraS menegaskan, penegakan hukum, keamanan, dan ketertiban tidak seharusnya dilakukan dengan melanggar hak warga negara.
“Evaluasi dalam bentuk pengetatan pengawasan dan pemberian sanksi, baik sanksi etik maupun sanksi pidana kepada anggota Polri yang melakukan tindak kekerasan secara eksesif dan pelanggaran HAM, harus dilakukan,” tegas Dimas.
Berbarengan dengan itu, pemerintah juga diminta untuk serius mengkaji berbagai wewenang Kepolisian yang menjadi faktor terjadinya tindak kekerasan eksesif serta pelanggaran HAM.
Tag: #kontras #catat #kasus #kekerasan #dalam #setahun #oleh #oknum #polisi