

seseorang yang berpura-pura sukses (Freepik/drobotdean)


Orang yang Berpura-pura Sukses Tapi Sebenarnya Sedang Bangkrut Biasanya Menunjukkan 10 Perilaku Halus Ini Menurut Psikologi
Dalam era media sosial dan pencitraan digital, tekanan untuk tampil sukses sangat tinggi. Banyak orang terdorong untuk menunjukkan keberhasilan finansial, status sosial, dan gaya hidup glamor meskipun kenyataannya tidak demikian. Menurut psikologi, fenomena ini disebut dengan istilah "impression management"—upaya sadar atau tidak sadar untuk memengaruhi persepsi orang lain terhadap diri sendiri. Dalam konteks finansial, ini bisa berarti seseorang berpura-pura kaya dan sukses padahal sebenarnya sedang menghadapi masalah keuangan serius, bahkan bangkrut.
Psikologi mengungkapkan bahwa orang yang berada dalam situasi ini biasanya menunjukkan perilaku halus tertentu yang bisa menjadi tanda peringatan. Dilansir dari Geediting pada Sabtu (28/6), terdapat 10 perilaku halus yang sering dilakukan oleh orang yang berpura-pura sukses padahal sebenarnya sedang bangkrut:
1. Terlalu Sering Membicarakan Kesuksesan Masa Lalu
Alih-alih fokus pada pencapaian saat ini, mereka kerap mengulang cerita-cerita lama tentang saat-saat kejayaan mereka. Ini adalah bentuk kompensasi psikologis untuk menutupi realita finansial mereka saat ini. Mereka berharap orang lain tetap mengasosiasikan mereka dengan kesuksesan.
2. Gaya Hidup Lebih Mewah daripada Pendapatan
Orang yang sedang bangkrut namun ingin terlihat sukses sering mempertahankan gaya hidup tinggi—makan di restoran mahal, berlibur ke luar negeri, atau mengenakan barang-barang branded—meski itu semua dibeli dengan kartu kredit atau utang. Ini disebut sebagai “living beyond means”, yang merupakan tanda klasik masalah keuangan.
3. Sering Pamer di Media Sosial Secara Berlebihan
Mereka rajin mengunggah foto-foto liburan, kendaraan mewah, atau momen berbelanja. Namun, dalam dunia psikologi, ini bisa menjadi tanda narsisme kompensatoris, yaitu ketika seseorang membangun citra tertentu untuk menutupi ketidakamanan atau krisis personal di balik layar.
4. Menghindari Pembicaraan Detail Tentang Kondisi Keuangan
Ketika diajak bicara tentang investasi, aset, atau kondisi tabungan, mereka cenderung menghindar, mengalihkan topik, atau memberikan jawaban samar. Ini adalah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) untuk menghindari rasa malu atau kecemasan akan terungkapnya kenyataan.
5. Sering Meminjam Uang Tapi Membuat Alasan yang Tidak Masuk Akal
Mereka bisa meminjam uang dari teman atau keluarga dengan alasan "bisnis lagi besar", "modal tambahan", atau "uang tertahan sebentar", padahal sebenarnya untuk menutup kebutuhan harian yang mendesak. Ini adalah bentuk distorsi realitas demi menjaga citra sukses.
6. Memiliki Utang Kartu Kredit yang Tak Terbayar
Dalam banyak kasus, mereka menggunakan kartu kredit untuk membiayai gaya hidup glamor, padahal tidak punya cukup penghasilan untuk membayar kembali. Mereka terus menunda pembayaran dan berpindah dari satu pinjaman ke pinjaman lainnya, menciptakan lingkaran utang yang menyesakkan.
7. Terlalu Fokus pada Penampilan Luar
Mereka bisa sangat memperhatikan brand pakaian, sepatu, jam tangan, atau mobil yang dikendarai. Semua ini bertujuan untuk menciptakan kesan sukses secara visual. Namun, perhatian berlebihan terhadap penampilan seringkali menjadi cara menutupi kekosongan emosional atau kejatuhan finansial.
8. Menggunakan Bahasa Tubuh yang Tidak Konsisten
Dalam interaksi sosial, mereka mungkin tampak percaya diri dan berbicara lantang, tetapi bahasa tubuh mereka mengungkapkan kegelisahan: tangan berkeringat, postur tidak stabil, atau menghindari kontak mata saat ditanya tentang topik tertentu. Psikologi menyebut ini sebagai incongruence, ketidaksesuaian antara kata dan sikap.
9. Sering Mengkritik Orang Lain yang Berjuang secara Finansial
Untuk menjaga citra mereka, mereka cenderung merendahkan orang-orang yang jujur tentang kesulitan finansial. Ini adalah bentuk projection—memproyeksikan rasa takut dan kegagalan pribadi kepada orang lain sebagai cara mempertahankan ego.
10. Mengandalkan Validasi dari Lingkungan
Alih-alih meraih rasa percaya diri dari dalam, mereka bergantung pada pujian, pengakuan, dan validasi eksternal. Jika tidak mendapat pengakuan tersebut, mereka bisa merasa terpuruk. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu krisis identitas dan bahkan depresi.
Mengapa Seseorang Melakukan Ini?
Psikolog menyebut fenomena ini sebagai “false self syndrome”, yaitu saat seseorang membangun identitas palsu untuk diterima oleh masyarakat. Faktor pemicunya bisa beragam, seperti trauma masa kecil, tekanan sosial, perbandingan dengan orang lain, atau rasa takut dianggap gagal.
Kesimpulan
Berpura-pura sukses padahal sebenarnya bangkrut adalah bentuk tekanan psikologis yang berat dan melelahkan. Dibalik tampilan mewah dan citra gemerlap, seringkali tersembunyi kecemasan, ketakutan, dan rasa malu. Jika Anda mengenali tanda-tanda ini pada seseorang—atau bahkan pada diri sendiri—penting untuk memahami bahwa kejujuran dan kerendahan hati adalah langkah pertama menuju pemulihan dan kesejahteraan sejati.
Dalam dunia yang terlalu sibuk menilai dari apa yang tampak, menjadi otentik adalah bentuk keberanian yang langka—dan sangat berharga.
***
Editor: Novia Tri Astuti
Tag: #orang #yang #berpura #pura #sukses #tapi #sebenarnya #sedang #bangkrut #biasanya #menunjukkan #perilaku #halus #menurut #psikologi