



Efek Domino Serangan AS ke Iran, Picu Bangkitnya Sekutu hingga Adu Kuat Senjata Nuklir Dunia
Presiden AS, Donald Trump, dengan bangga mengumumkan telah mengebom tiga situs nuklir Iran, yakni Fordo, Natan, dan Isfahan, pada Minggu (22/6/2025).
Efek dominonya, peperangan pun dinilai memasuki babak baru yang semakin mengerikan.
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengatakan selama ini peperangan yang terjadi dilakukan menggunakan proksi (perwakilan).
Namun, tindakan AS yang terlibat secara langsung menggempur Iran mengubah kompleksitas dan sifat peperangan.
"Keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam serangan terhadap tiga fasilitas nuklir Iran merupakan eskalasi signifikan yang benar-benar mengubah sifat konflik dari perang proksi menjadi konfrontasi terbuka," kata Fahmi saat dihubungi Kompas.com, Minggu.
Fahmi membaca serangan AS sebagai bagian dari strategi tekanan maksimum dengan risiko politik global yang sangat tinggi.
Dalam analisisnya, Fahmi memprediksi serangan AS akan menimbulkan berbagai akibat sesuai konteks atau tingkatan.
Pada tingkat kawasan, misalnya, perbuatan AS bisa membuat Iran membangunkan semua jaringan proksinya.
Iran berjejaring dengan organisasi militer Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman.
Mereka akan menargetkan pangkalan-pangkalan militer AS di Timur Tengah dan Israel.
"Selama ini berada dalam jangkauan rudal balistik Iran dan sekutunya," ujar Fahmi.
Selain itu, Iran juga bisa menutup Selat Hormuz, tempat lalu lintas distribusi minyak mentah dunia.
"Jika ditutup atau disabotase, bukan hanya negara-negara di Teluk yang terdampak, tetapi pasar energi global bisa langsung terguncang," ujar Fahmi.
Memicu Perlombaan Senjata Nuklir
Alih-alih menghentikan program senjata nuklir, tindakan AS mengebom Iran justru bisa membuat negara itu mempercepat program senjata nuklirnya.
Fahmi menyebut langkah AS secara militer menunjukkan superioritas mereka dalam teknologi dan persenjataan.
Menggunakan jet siluman B-2 dan bunker buster bomb, mereka bisa menghancurkan fasilitas bawah tanah.
"Namun, dari perspektif pertahanan strategis, langkah ini bisa menjadi bumerang," kata Fahmi.
Iran, kata dia, justru bisa keluar dari perjanjian menekan penyebaran senjata nuklir, Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT).
"Artinya, dunia justru masuk dalam siklus baru perlombaan senjata nuklir yang lebih berbahaya," ujar Fahmi.
Peneliti itu menganalisis tindakan AS sebagai bentuk sinyal baru ketegangan internasional.
Ia menyebut AS menempuh tindakan yang sangat berisiko dengan ekses besar.
Serangan militer ke Iran dilakukan tanpa persetujuan kongres dan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hal itu menimbulkan pertanyaan serius terkait legalitas tindakan mereka.
Di sisi lain, sikap AS ini bisa membuat kekuatan normatifnya untuk menekan negara lain agar mengikuti hukum internasional melemah.
"Dunia sedang bergerak menuju babak baru ketegangan internasional yang jauh lebih kompleks dan berbahaya," kata dia.
Arogansi dan Standar Ganda AS
Sementara itu, Pendiri Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis (Lesperssi), Beni Sukadis, melihat serangan AS ke Iran menunjukkan bagaimana wajah bopeng negeri Paman Sam.
Menurut Beni, sebenarnya belum terdapat bukti kuat bahwa Iran menjalankan program senjata nuklir.
Namun, AS mengeklaim bertindak atas nama ancaman nasional.
Iran, kata Beni, bersedia menandatangani perjanjian NPT.
Sebaliknya, Israel tidak pernah mau mengakui kepemilikan senjata nuklir.
Kondisi ini, menurutnya, menunjukkan bagaimana AS menerapkan standar ganda.
"Makin menunjukkan arogansi AS dengan double standard-nya, bahwa Israel boleh punya nuklir dan Iran tidak boleh," ujar Beni.
Sikap AS ini membuat dunia memahami bahwa AS bukan negara yang bisa menjadi mitra dan dipercaya dalam diplomasi internasional.
Sementara, PBB hanya bersuara pada isu-isu yang menjadi bumper kepentingan AS dan sekutunya.
Langkah AS juga semakin membuktikan negara itu menggunakan pendekatan realisme dalam hubungan internasional.
Mereka mempertimbangkan aspek kekuatan sebagai pusat perilaku negara-bangsa.
"Sehingga di masa depan konflik akan semakin meruncing, apalagi ketika China dan Rusia merasa perlu membantu Iran dalam konteks serangan AS baru-baru ini," kata Beni.
Iran Perlu Waktu untuk Bertindak
Terpisah, pengamat Hubungan Internasional (HI) Universitas Parahyangan, Kishino Bawono, menyebut Iran membutuhkan waktu untuk menyerang balik AS.
Iran, menurutnya, tidak akan langsung membalas AS dalam beberapa jam.
Bekas kerajaan Persia itu mungkin membutuhkan waktu hingga beberapa hari.
"Serangannya tidak akan instan, retaliasinya tidak akan (sekarang) ini. Sekarang diserang maka balasan mereka tidak akan muncul sejam, dua jam, atau seharian. Mungkin akan butuh waktu untuk sampai pada akhirnya mereka akan membalas," ujar Kishino dalam wawancara dengan Kompas TV, Minggu.
Kishino mengaku belum mengetahui secara pasti bagaimana Iran akan membalas.
Hal itu sangat bergantung pada kondisi kekuatan Iran saat ini.
Meski demikian, menurutnya, Iran tidak akan tinggal diam karena hendak datang ke meja perundingan.
"Pride (kebanggaan) mereka adalah dari kemampuan untuk membalas," tutur Kishino.
Rusia, China, dan Korut Akan Merespons
Menurut Kishino, negara-negara sekutu Iran tidak mungkin akan tinggal diam melihat kolega mereka dibom AS.
Rusia, China, dan Korea Utara (Korut) yang memiliki hulu ledak senjata nuklir akan bersikap.
"Kalau dilihat geopolitiknya, kemungkinan mereka akan merespons," kata Kishino.
Meski demikian, menurutnya, ketiga negara itu masih menginginkan penyelesaian dengan cara damai.
Ketiganya memang ingin kekuatan AS melemah dan menarik diri dari perang.
Namun, ia tidak mengetahui secara pasti apa yang negara-negara itu lakukan di belakang.
"Namun, saya masih percaya bahwa tiga pihak besar ini masih mengupayakan cara damai," tuturnya.
Sikap Prabowo
Sementara itu, Presiden RI Prabowo Subianto cenderung menginginkan tercapainya resolusi damai guna meredam konflik yang semakin memanas di Timur Tengah.
Pernyataan ini Prabowo kemukakan di depan Presiden Rusia, Vladimir Putin, ketika berbicara dalam St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di Rusia, Jumat (20/6/2025).
"Kami sangat menyesalkan munculnya dan meningkatnya konflik di seluruh dunia, terutama di Timur Tengah. Kami berharap semua pihak dapat mencapai resolusi damai sesegera mungkin," kata Prabowo, dikutip dari kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat.
Prabowo mengajak semua negara yang bisa membuat dunia tetap damai.
Ia berujar kondisi bumi semakin kecil sehingga membutuhkan kerja sama.
"Bagi kami, dunia dan planet ini semakin kecil. Kami akan bekerja sama dengan Anda untuk menciptakan kolaborasi perdamaian dan hidup berdampingan secara damai dengan semua negara," ujarnya.
"1.000 teman itu terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Kami ingin berteman dengan semuanya," tambahnya.
Tag: #efek #domino #serangan #iran #picu #bangkitnya #sekutu #hingga #kuat #senjata #nuklir #dunia