



Makna Bendera Aceh dalam Perjanjian Helsinki dan Qanun 3/2013
- Selesainya sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) membuka harapan lain bagi masyarakat Serambi Mekkah.
Harapan tersebut adalah peluang disahkannya dan dapat dikibarkannya bendera Aceh yang menjadi salah satu poin Perjanjian Helsinki.
Wali Nanggroe Malik Mahmud Al Haythar menjadi orang yang menyinggung harapan ihwal disahkannya bendera Aceh. Ia pun menyinggung hak menggunakan bendera aceh yang termaktub dalam Perjanjian Helsinki yang kemudian diatur dalam Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
"Ya bagi orang-orang Aceh itu diharapkan bahwa bendera itu disahkan. Kami menunggu saja," kata Malik usai bertemu dengan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, Selasa (17/6/2025) malam.
Bendera Aceh juga disinggung Muzakir Manaf yang saat ini memimpin provinsi tersebut. Ia mengatakan, pengibaran bendera Aceh belum dapat dilakukan karena terbentur legalitasnya.
"Dalam proses. Saya rasa dalam proses, belum (boleh berkibar), lah," kata Muzakir Manaf alias Mualem di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2025).
Bendera Aceh dan Maknanya
Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne yang termaktub dalam poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
"Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang, dan himne," bunyi poin 1.1.5 Perjanjian Helsinki.
Perjanjian Helsinki sendiri merupakan bentuk kesepakatan perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berkonflik sejak 1976.
Delegasi Indonesia dalam perundingan tersebut dihadiri oleh Hamid Awaluddin, Sofyan A. Djalil, Farid Husain, Usman Basyah, dan I Gusti Wesaka Pudja.
Adapun dari pihak GAM adalah Malik Mahmud, Zaini Abdullah, M Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman, dan Bachtiar Abdullah.
Usai Perjanjian Helsinki, tindak lanjut pemerintah adalah mengesahkan Undang-Undang 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dalam Pasal 246 ayat (2) UU 11/2006 diatur, pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.
"Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh," bunyi Pasal 246 ayat (3) UU 11/2006.
Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh dijelaskan, bendera Aceh berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 dari panjang, dua buah garis lurus putih di bagian atas, dua buah garis lurus putih di bagian bawah, satu garis hitam di bagian atas, satu garis hitam di bagian bawah, dan di bagian tengah bergambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih dan hitam.
Makna Bendera Aceh sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 adalah sebagai berikut:
- dasar warna merah, melambangkan jiwa keberanian dan kepahlawanan;
- garis warna putih, melambangkan perjuangan suci;
- garis warna hitam, melambangkan duka cita perjuangan rakyat Aceh;
- Bulan sabit berwarna putih, melambangkan lindungan cahaya iman; dan
- Bintang bersudut lima berwarna putih, melambangkan rukun Islam.
Tag: #makna #bendera #aceh #dalam #perjanjian #helsinki #qanun #32013