



Fadli Zon Minta Bukti Pemerkosaan Massal Mei 1998, Setara: kalau Mau Dibuktikan Ya Lewat Pengadilan
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan menanggapi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang mempertanyakan bukti konkret terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Menurut Halili, seharusnya pemerintah yang bisa menjawab pertanyaan Fadli Zon melalui proses hukum dan pengadilan terhadap peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998.
“Saya kira begini, kalau kita bicara soal istilah masal misalnya atau bukti yang secara spesifik merujuk pada tempat gitu ya, itu kan kalau mau dibuktikan ya lewat pengadilan. Kan pengadilan yang bisa membuktikan. Masalahnya kan pengadilan tidak pernah dibuka. Siapa yang harus membuka? ya negara,” kata Halili di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (16/6/2025).
Namun, dia menyebut hingga saat ini pemerintah tidak menunjukkan political will atau keinginan untuk mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan kepada korban peristiwa yang terjadi 27 tahun lalu itu.
“Itu kan ini sebenarnya soal pembuktian itu harus di pengadilan dan pembuktian itu menunjukkan bahwa pemerintah sendiri yang tidak punya political will, keinginan politik untuk membuka kasus pemerkosaan massal ini juga pelanggaran HA berat lainnya di masa lalu, tidak punya itikad untuk memberikan hak atas kebenaran itu terus dibalik kasus-kasus itu,” tutur Halili.
Lebih lanjut, dia menjelaskan jika pemerintah tidak memiliki political will, setidaknya pemerintah tidak merekayasa sejarah dengan menegasikan atau menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
“Nah apa yang dilakukan oleh Menteri Fadli ini kan rekayasa, upaya untuk merekayasa dan membelokkan sejarah. Jadi sejarah yang sifatnya abu-abu, instead of itu dibuka kebenaran,” ujar Halili.
“Di balik itu, yang bersangkutan justru mengambil langkah politis untuk merekayasa dan membelokkan itu melalui proyek penulisan ulang sejarah itu,” tandas dia.
Kata Fadli Zon
Melalui media sosialnya, Fadli Zon menyebut peristiwa 13-14 Mei 1998 menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal. Dia mengatakan laporan TGPF Mei 1998 juga tidak bisa memberikan data konkret mengenai terjadinya pemerkosaan massal.
“Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri,” kata Fadli Zon dikutip dari media sosial X miliknya, Senin (16/6/2025).

Dia mengaku mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Menurut dia, pernyataannya tidak menegasikan berbagai kerugian atau menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks kerusuhan Mei 1998.
Sebaliknya, lanjut dia, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan.
“Pernyataan saya dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal,”yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat, ujar Fadli Zon.
Dia mengeklaim pernyataan itu tidak bertujuan untuk menyangkal keberadaan kekerasan seksual, tetapi menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.
“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” tulis Fadli.
Menurut dia, istilah “massal” dalam peristiwa pemerkosaan Mei 1998 masih menjadi perdebatan sehingga dia menilai sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.
“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait ‘perkosaan massal’ perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” tandas Fadli.
Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut bahwa peristiwa Mei 1998 masih bisa diperdebatkan, termasuk soal adanya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa.
Bahkan, dia menyebut tidak ada bukti dan penulisan dalam buku sejarah tentang adanya peristiwa pemerkosaan massal pada Mei 1998.
“Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," ucap Fadli Zon, Senin (8/6/2025).
Tag: #fadli #minta #bukti #pemerkosaan #massal #1998 #setara #kalau #dibuktikan #lewat #pengadilan