Media Sosial dan Daulat Rakyat
Ilustrasi(Thinkstockphotos)
14:16
12 Juni 2025

Media Sosial dan Daulat Rakyat

HARI Media Sosial yang jatuh setiap 10 Juni, menjadi momen tepat untuk merenungi peran berbagai platform digital sebagai medan demokrasi Indonesia.

Idealnya, media sosial memperkuat suara rakyat. Sayangnya, kecenderungan yang terjadi ialah kegaduhan digital yang mempertontonkan bagaimana narasi otomatis berbasis buzzer (pendengung) yang ditopang Artificial Intellegence (AI) membajak demokrasi elektoral.

Sejak Pilkada DKI Jakarta 2012 hingga Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 lalu, para buzzer kian menjangkiti arsitektur demokrasi kita, termasuk dalam pertarungan kampanye.

Ia berkembang pesat, tapi turut membawa virus: menebar hoaks, kampanye negatif, hingga narasi berbau kebencian.

Guna mendukung hal itu, investigatif Kompas (2/6/2025) mengungkap bagaimana fenomena “peternakan ponsel”, Social Media Marketing Panel (SMM Panel) dan deepfake dijalankan dengan biaya hingga miliaran rupiah. Tak hanya dalam sektor ekonomi, tapi juga di perhelatan elektoral.

AI pun memperluas skala intervensi ini lalu menciptakan opini digital buatan, alih-alih aspirasi publik yang otentik.

Padahal, dalam sistem demokrasi Indonesia, daulat tertinggi ada pada rakyat (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945), sementara pasal 22E mensyaratkan Pemilu-Pilkada yang “luber dan jurdil”.

Jika ruang publik digital diserbu narasi buatan tanpa kontrol dan filter, tak pelak rakyat tak lagi bebas memilih sebab dikacaukan oleh narasi yang diproduksi modal dan algoritma.

Ancaman bagi kedaulatan rakyat

Konsep kedaulatan rakyat—diadopsi pasca-Revolusi Prancis—menunjukkan bahwa sumber kekuasaan tertinggi berasal dari rakyat, bukan penguasa absolut.

Menurut Jimly Asshiddiqie (2007), pascaamandemen UUD 1945 tahun 1999-2002, kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat yang diartikulasikan melalui mekanisme demokrasi representatif.

Namun, manakala narasi digital diproduksi secara artifisial, tanda kebebasan ini sulit disangkal mulai terkikis.

Bagaimana tidak, buzzer dan AI menciptakan ilusi demokrasi: opini palsu yang menggantikan keragaman suara rakyat. Daulat rakyat seolah berganti menjadi daulat algoritma.

Narasi yang seharusnya lahir dari kesadaran kolektif, justru dijelma dari perakitan secara algoritmik untuk memanipulasi emosi. Pilihan masyarakat pun berpotensi lahir dari tekanan algoritma, alih-alih pertimbangan rasional.

UUD 1945 telah tegas menjamin akses informasi yang benar (Pasal 28F) dan persamaan di depan hukum (Pasal 27 ayat 1).

Sedangkan realitasnya justru berbeda—UU ITE lebih sering menjerat kritikus, sementara buzzer yang pro-kekuasaan relatif bebas. Disparitas hukum ini menandakan retaknya pondasi daulat rakyat di era digital.

Padahal dalam konteks hajatan demokrasi, International IDEA (2012) telah merumuskan electoral justice sebagai keadilan prosedural, substantif, dan institusional.

Jika sebelumnya keadilan elektoral menghadapi deru politik uang, manipulasi, dan perilaku tidak independennya penyelenggara, maka gelombang rintangan itu kian hebat sebab diperparah keberadaan buzzer dan AI yang berpotensi makin menjauhkan pencapaian keadilan elektoral dalam setiap hajatan Pemilu maupun Pilkada.

Perlu terobosan hukum

Menghadapi gelombang disinformasi dan manipulasi algoritmik, Indonesia tak bisa lagi mengandalkan pendekatan reaktif. Diperlukan terobosan hukum dan kebijakan yang mampu menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan perlindungan atas proses demokrasi.

Pengaturan yang ada saat ini, seperti Undang-Undang ITE dan utamanya UU Pemilu dan UU Pilkada, belum secara memadai menjangkau kompleksitas penggunaan AI dan buzzer dalam kontestasi politik.

Pada gilirannya, kita dihadapkan pada pertanyaan: langkah-langkah reformasi hukum seperti apa yang patut diambil? Setidaknya tiga langkah awal.

Pertama, perlu dibentuk kerangka hukum yang secara eksplisit mengatur penggunaan teknologi digital dalam penyelenggaraan hajat kepemiluan.

Hal ini termasuk transparansi algoritma yang digunakan oleh platform digital, kewajiban pelabelan konten politik berbayar, serta batasan penggunaan kecerdasan buatan dalam kampanye politik.

Regulasi ini harus menempatkan pemilih sebagai subjek utama yang berhak atas informasi yang jujur dan adil.

Kedua, negara perlu memperkuat kapasitas lembaga penyelenggara pemilu, utamanya KPU dan Bawaslu, agar mampu mengawasi ekosistem digital secara aktif.

Pengawasan siber harus menjadi bagian integral dari sistem integritas Pemilu, bukan sekadar pelengkap. Hal ini menuntut sinergi lintas lembaga, termasuk dengan Kominfo, Dewan Pers, Kepolisian, Kejaksaan, serta organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang pemantauan pemilu.

Ketiga, partisipasi publik harus dihidupkan kembali melalui literasi digital yang masif, kritis dan berkelanjutan.

Pemerintah, akademisi, jurnalis, dan komunitas harus membangun ekosistem informasi yang sehat. Demokrasi tidak akan bertahan bila publik dibiarkan terombang-ambing dalam banjir konten tanpa orientasi etik dan politik yang jelas.

Daulat rakyat di era digital hanya bisa ditegakkan jika negara hadir bukan sebagai penonton atau pelaku manipulasi, melainkan sebagai penjaga ruang publik yang adil.

Pemilu dan Pilkada bukan sekadar soal siapa yang menang, tetapi bagaimana rakyat bisa menentukan masa depan tanpa dibayangi ilusi dan rekayasa.

Masa depan demokrasi bergantung pada kemampuan kita menjaga agar narasi bukan sekadar resonansi algoritma.

Jika suara rakyat digantikan akun otomatis, demokrasi kita akan kehilangan ruh: menjadi ekor buzzer, alih singgasana aspirasi publik.

Ketiadaan sistem yang melindungi keadilan elektoral digital mengokohkan kecemasan yang serius: demokrasi kita dalam bahaya.

Oleh karenanya, 10 Juni bukan sekadar perayaan digital, tapi pengingat: demokrasi digital harus diimbangi hukum yang adaptif, masyarakat yang melek informasi, dan institusi yang berani bertindak.

Jika tidak, maka suara sebenarnya tak lagi terdengar—kita hidup dalam gema algoritma, bukan narasi hati nurani rakyat.

Tag:  #media #sosial #daulat #rakyat

KOMENTAR