



Pilkada Serang: Penyalahgunaan Wewenang Mendes dan Ketidaknetralan Kepala Desa
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Serang 2024 hadirkan dinamika politik yang menarik plus kontroversi. Mahkamah Konstitusi kini membatalkan hasil Pilkada Serang.
Pasangan calon nomor urut 2, Ratu Rachmatuzakiyah dan Muhammad Najib Hamas, awalnya berhasil mengungguli pasangan nomor urut 1, Andika Hazrumy dan Nanang Supriatna.
Berdasar rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ratu-Najib meraih 598.654 suara (70,17 persen), jauh melampaui Andika-Nanang yang memperoleh 254.494 suara (29,83 persen).
Pasangan Andika-Nanang lalu mengajukan gugatan ke MK dengan dalil adanya pelanggaran pemilu yang sifatnya Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM).
Inti gugatannya meninjau keterlibatan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes), Yandri Susanto—suami dari Ratu Rachmatuzakiyah—yang diduga menggunakan jabatannya memengaruhi hasil Pemilu.
Dalam persidangan, MK temukan bukti bahwa Yandri Susanto aktif terlibat dalam kegiatan yang mengarahkan kepala desa untuk mendukung pasangan Ratu-Najib.
Satu buktinya, yakni konsolidasi yang melibatkan 277 kepala desa di Kabupaten Serang dalam acara resmi kementerian yang dikemas sebagai kampanye terselubung.
Selain itu, terdapat rekaman video yang mengindikasi kepala desa terbuka menyatakan dukungan pasangan nomor urut 2 (Tempo.co, 24/02/2025).
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tegas menyatakan bahwa tindakan ini melanggar Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang melarang penggunaan jabatan atau wewenang untuk memengaruhi hasil pemilu.
Pelanggaran ini dinilai melibatkan tidak netralnya aparat desa sehingga penuhi kriteria pelanggaran TSM.
Konsekuensi hukumnya, MK membatalkan hasil Pilkada Serang 2024 dan memerintahkan KPU untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kabupaten Serang dalam waktu maksimal 60 hari pascaputusan.
Meski begitu, pasangan Ratu-Najib boleh mengikuti PSU lantaran tak didiskualifikasi sebagai peserta pemilu.
Pelanggaran TSM
Menteri Desa Yandri Susanto diduga menyalahgunakan jabatannya untuk mendukung pencalonan istrinya sebagai Bupati Serang.
Ia disebut menggunakan fasilitas kementerian, seperti kop surat resmi, untuk mengundang kepala desa ke acara yang dikemas sebagai kegiatan kementerian.
Acara seperti haul, peringatan Hari Santri, dan syukuran diduga menjadi ajang konsolidasi politik bagi pasangan nomor urut 2.
Selama masa kampanye, Yandri juga tercatat intens mengunjungi desa-desa di Serang, mengarahkan kepala desa untuk mendukung pasangan Ratu-Najib, sebagaimana dilaporkan oleh Bawaslu (Viva.co.id, 29/10/2024).
Satu peristiwa yang ditilik, yakni Rakercab APDESI Kabupaten Serang di Hotel Marbella Anyer pada 3 Oktober 2024.
Dalam forum ini, kepala desa terbuka mendeklarasi dukungan untuk pasangan nomor urut 2. Kesaksian di sidang MK mengungkap bahwa setelah acara tersebut, kepala desa berkoordinasi dengan tim pemenangan Ratu-Najib untuk memobilisasi dukungan di masyarakat.
Fakta ini menguatkan dugaan adanya pelanggaran pada prinsip netralitas kepala desa dalam Pilkada (Tempo.co, 24/02/2025).
Pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat negara dan kepala desa terkait dengan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pasal ini melarang pejabat negara, termasuk kepala desa, membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Pelanggaran atas ketentuan ini bisa dikenai sanksi pidana berupa penjara hingga enam bulan atau denda maksimal enam juta rupiah.
Dalam hukum Pemilu, tindakan sebagai pejabat negara dianggap melanggar prinsip netralitas aparatur pemerintahan.
Posisi kepala desa yang berada di bawah koordinasi Kementerian Desa membuat rentan pada pengaruh langsung.
MK menilai bahwa pelanggaran ini bukan lantas melibatkan penyalahgunaan wewenang, tapi berimbas pada hasil Pemilu lantaran memengaruhi pilihan masyarakat secara massif, (Detik.com, 24/02/2025).
Hukum Administrasi Negara
Netralitas aparatur negara merupakan satu prinsip dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Prinsip ini tujuannya memastikan bahwa aparatur negara menjalankan tugasnya tanpa keberpihakan politik, sehingga terjaga “trust” publik pada proses demokrasi.
Dalam pemilu, netralitas menjadi urgen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang dan memastikan bahwa hasil Pemilu representasi kehendak rakyat secara adil dan bebas.
Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, aparatur negara, termasuk kepala desa, dilarang terlibat politik praktis.
Larangan ini ditegaskan dalam Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang melarang pejabat negara menggunakan kewenangan atau program yang terkait dengan jabatannya untuk menguntungkan salah satu pasangan calon.
Pelanggaran prinsip ini bisa merusak integritas pemilu dan mengancam asas demokrasi, (V. A. A Ningtyas, 2021).
Sebagai bagian dari pemerintahan desa, kepala desa punya peran menjaga stabilitas sosial dan politik di tingkat lokal.
Kepala desa diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang secara gamblang melarang terlibat dalam politik praktis.
Pasal 29 huruf (g) dan (j) menyatakan bahwa kepala desa tidak boleh menjadi pengurus partai politik atau terlibat dalam kampanye pemilu.
Larangan ini mencegah konflik kepentingan yang bisa mengganggu pelayanan publik dan menciptakan ketidakadilan di masyarakat, (N. Angkasa & I. Pelangi, 2024).
Kendati, dalam kasus Pilkada Serang 2024, kepala desa di Kabupaten Serang dilaporkan terlibat dalam mendukung pasangan calon tertentu.
Konsolidasi politik yang dilakukan melalui forum resmi indikasi adanya pelanggaran pada prinsip netralitas.
Keterlibatan ini tidak hanya melanggar hukum, tapi menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparatur pemerintah desa sebagai institusi netral, (A. R. R. A. Barri, 2023).
Penyalahgunaan wewenang untuk memengaruhi kepala desa demi kepentingan politik cabup merupakan bentuk abuse of power yang bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik.
Selain itu, keterlibatan kepala desa yang diarahkan juga melanggar Pasal 280 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang melarang kepala desa ikut serta dalam kampanye.
Pelanggaran ini bisa dikenai sanksi administratif hingga pidana berupa kurungan maksimal satu tahun dan denda hingga Rp 12 juta sesuai Pasal 494 UU tersebut.
Dalam hukum administrasi negara, tindakan ini cerminan pelanggaran terhadap prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Implikasi putusan MK
Putusan MK yang membatalkan hasil Pilkada Kabupaten Serang 2024 punya efek pada proses demokrasi di daerah tersebut.
Putusan ini hasil komitmen hukum untuk menjaga integritas Pemilu dari pelanggaran Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Walau, kasus ini berakibat tantangan pada “trust” publik terhadap penyelenggaraan Pemilu.
Ketidaknetralan kepala desa dan keterlibatan pejabat negara dalam mendukung pasangan calon tertentu telah mencoreng prinsip demokrasi yang adil dan bebas.
Masyarakat Kabupaten Serang kini menghadapi ujian kepercayaan terhadap sistem Pemilu, terlebih dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diperintahkan MK.
Jika PSU tidak diawasi dengan ketat dan transparan, maka risiko kecurangan serupa bisa kembali terjadi.
Kasus ini menilik peran Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam mencegah pelanggaran serupa di masa depan.
Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu memastikan bahwa setiap tahapan PSU berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi.
Dalam hal ini, pengawasan yang ketat dibutuhkan, lebih-lebih pada netralitas aparatur desa dan pejabat negara.
Bawaslu bisa memanfaatkan pendekatan partisipatif dengan melibatkan masyarakat dalam pengawasan.
Program seperti "Pojok Pengawasan" yang diterapkan di beberapa daerah dapat jadi model untuk meningkatkan partisipasi publik dalam melaporkan pelanggaran.
Selain itu, Bawaslu memperkuat kapasitas pengawas di lapangan, seperti Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) dan pengawas desa, agar mampu mengidentifikasi dan menindaklanjuti pelanggaran yang cepat dan akurat.
Tanpa sanksi tegas pada pihak yang terlibat, potensi pengulangan pelanggaran terus tinggi. Dalam kasus Pilkada Serang 2024, sekalipun MK memerintahkan PSU, pasangan calon yang didukung oleh pelaku pelanggaran tetap diperbolehkan mengikuti pemilu ulang. Hal ini tersembul pertanyaan ihwal efek jera bagi pihak yang terbukti melanggar hukum.
Sanksi administratif maupun pidana ditegakkan secara tegas untuk menciptakan efek jera. Misalnya, kepala desa yang terbukti tidak netral bisa dikenai sanksi berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, mulai dari peringatan hingga pemberhentian sementara atau permanen.
Selain itu, pejabat negara yang menyalahgunakan wewenangnya menghadapi konsekuensi hukum sesuai dengan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Putusan MK dalam kasus Pilkada Serang 2024 sejatinya untuk memperbaiki sistem demokrasi di Indonesia.
Kendati, suksesnya PSU dan pemilu berikutnya bergantung pada pengawasan yang ketat oleh Bawaslu serta penerapan sanksi tegas pada pelaku pelanggaran.
Tanpa kebijakan tersebut, kepercayaan publik pada demokrasi lokal akan terus tergerus, terbuka peluang bagi terulangnya praktik curang di masa depan.
Tag: #pilkada #serang #penyalahgunaan #wewenang #mendes #ketidaknetralan #kepala #desa