Pemakzulan Gibran yang Tak Memenuhi Syarat
Presiden Prabowo Subianto (kiri) disaksikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memberikan pengantar saat memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/5/2025). Dalam sidang tersebut Presiden Prabowo Subianto memuji kinerja Kabinet Merah Putih yang telah bekerja selama enam bulan dan telah menghasilkan 28 kebijakan baru yang berkaitan langsung dengan rakyat. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/foc.(ANTARA FOTO / GALIH PR
05:46
4 Juni 2025

Pemakzulan Gibran yang Tak Memenuhi Syarat

DALAM sistem presidensial Indonesia, posisi wakil presiden memiliki kedudukan yang kuat dalam struktur konstitusi.

Pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat dan dilindungi oleh mekanisme hukum yang ketat.

Oleh karena itu, proses pemakzulan bukan hanya soal ketidakpuasan moral atau politik, tetapi harus melalui pembuktian yang sahih dan terbatas pada syarat-syarat yang telah ditentukan dalam UUD 1945.

Surat dari empat jenderal purnawirawan TNI kepada DPR dan MPR yang mengusulkan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka patut diapresiasi sebagai ekspresi kebebasan berpendapat.

Namun, secara konstitusional, usulan tersebut sulit direalisasikan karena tidak terpenuhinya prasyarat hukum dan pembuktian pelanggaran berat yang dapat dikenai pemakzulan.

Etika

Pencalonan Gibran memang dilandasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang membuka ruang bagi calon kepala daerah di bawah usia 40 tahun.

Mahkamah Kehormatan MK memang menyatakan adanya pelanggaran etik oleh hakim Anwar Usman karena konflik kepentingan.

Namun, pelanggaran etik ini tidak serta merta menular pada Gibran sebagai pihak yang tidak terlibat dalam proses peradilan tersebut.

Dalam sistem hukum kita, pelanggaran etik hakim tidak menjadikan putusan otomatis batal demi hukum, apalagi membatalkan status hukum seseorang yang telah sah mengikuti Pemilu dan dilantik sebagai wakil presiden.

Maka, menyimpulkan bahwa Gibran harus dimakzulkan karena lahir dari putusan yang cacat etik adalah kekeliruan logika hukum.

Pasal 7B UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.

Dan semuanya harus dibuktikan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dan diuji oleh Mahkamah Konstitusi.

Sampai hari ini, tidak ada satu pun proses hukum yang menyatakan Gibran melakukan pelanggaran hukum berat. Tidak ada status tersangka, terdakwa, apalagi terpidana.

Bahkan, isu-isu yang diangkat dalam surat purnawirawan lebih menyerupai narasi politik ketimbang fakta hukum yang bisa diuji di pengadilan.

Benar bahwa dalam demokrasi, isu kepantasan, pengalaman, dan integritas menjadi perhatian publik. Namun, dalam konteks jabatan publik yang sudah sah diperoleh melalui pemilu, ukuran kepatutan tidak bisa dijadikan dasar pemberhentian.

Jika tidak, maka setiap pejabat yang dianggap kurang pantas oleh sekelompok orang bisa saja dimakzulkan hanya berdasarkan penilaian subjektif.

Kepatutan adalah ranah etik dan opini. Sedangkan pemakzulan adalah ranah hukum dan pembuktian. Mencampuradukkan keduanya hanya akan membahayakan stabilitas sistem pemerintahan.

Secara politik, proses pemakzulan membutuhkan dukungan dua pertiga anggota DPR dan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi.

Tanpa dukungan bukti dan landasan hukum yang kuat, proses ini tidak hanya akan gagal secara prosedural, tetapi juga menimbulkan preseden buruk dalam penggunaan kewenangan MPR dan DPR.

Demokrasi memang memberi ruang kritik dan kontrol. Namun, ia juga memberi perlindungan kepada pejabat publik dari tekanan yang tidak berbasis hukum. Jika pemakzulan digunakan sebagai alat politik, maka konstitusi telah disalahgunakan.

Konstitusi

Konstitusi memberikan batasan yang sangat ketat dalam mekanisme pemberhentian presiden dan wakil presiden. Ia melindungi sistem pemerintahan dari intervensi emosional dan tekanan opini.

Dalam hal Gibran, tidak ada satu pun syarat hukum dalam Pasal 7B UUD 1945 yang terpenuhi.

Apa yang terjadi dalam proses pencalonan Gibran adalah polemik etik, bukan pelanggaran hukum oleh dirinya.

Maka, koreksi terhadap proses Pemilu seharusnya dilakukan melalui evaluasi regulasi dan pengawasan yang lebih ketat ke depan, bukan dengan cara memaksakan pemakzulan.

Pemakzulan bukan sekadar wacana politik. Ia adalah langkah konstitusional yang sangat serius dan harus didasarkan pada hukum, bukan opini.

 

Ketika kita menggunakan instrumen hukum untuk memuaskan kemarahan moral, maka yang rusak bukan hanya satu individu, melainkan seluruh sistem hukum dan demokrasi kita.

Karena itu, berdasarkan asas hukum, mekanisme konstitusional, dan fakta yang ada, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tidak dapat dimakzulkan.

Kritik terhadap proses politik memang sah, tetapi negara hukum menuntut lebih dari sekadar ketidakpuasan.

Last not but least, mari kita akhiri soal drama politik pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres) 2024.

Kini saatnya kita membuka lembaran baru, merapatkan barisan bersatu padu sesama anak bangsa bahu membahu membangun negeri menuju Indonesia Emas 2045. Semoga.

Tag:  #pemakzulan #gibran #yang #memenuhi #syarat

KOMENTAR