''Streisand Effect'' dan Dinamika Penyensoran Tayangan Kampanye
Ilustrasi kampanye, juru bicara, juru kampanye.(TOTO SIHONO)
06:02
23 Januari 2024

''Streisand Effect'' dan Dinamika Penyensoran Tayangan Kampanye

SEMAKIN dilarang, semakin penasaran. Fenomena ini sudah terjadi, bahkan sejak Adam dan Hawa tercipta.

Dalam pengisahan banyak kitab suci agama disebutkan bahwa manusia pertama yang dilabel Adam dan Hawa pernah dilarang untuk memakan hanya satu jenis buah. Selebihnya, boleh.

Pembatasan itu justru membuat keduanya penasaran tentang buah itu, rupa dan rasanya. Dilalahnya, mereka malah memakan buah terlarang itu. Akibatnya Adam dan Hawa, seperti yang disebutkan di berbagai ajaran agama, jatuh ke dalam dosa.

Rasa penasaran adalah motivasi internal dan melekat di dalam diri manusia untuk mencari tahu tentang objek atau fenemona yang diinginkan.

Penasaran timbul dari efek proses komunikasi, baik komunikasi verbal maupun non-verbal. Rasa penasaran mendorong sikap keingintahuan, atau sering diisitilahkan kaum generasi milenial dan generasi Z dengan kata KEPO (Knowing Every Particular Object).

Salah satu jenis larangan yang semakin sering terjadi saat ini adalah pembatasan dalam berwacana, kebebasan berekspresi dan menyampaikan informasi. Istilah ini sering disebut penyensoran.

Penyensoran bukan saja bentuk komunikasi langsung, melainkan juga komunikasi tidak langsung yang melibatkan peran medium (media).

Dalam kasus penyensoran tayangan Videotron Anies Baswedan, Calon Presiden nomor urut 1, informasi take down tayangan Anies tersebar melalui media dan diterima oleh khalayak.

Dalam proses decoding masyarakat, praktik penyensoran tersebut menciptakan efek penasaran terhadap tayangan Videotron tersebut.

Rasa penasaran ini memunculkan sikap ingin tahu terhadap konten yang disensor dan siapa pula yang melakukan sensor.

Kondisi ini menimbulkan dinamika pada praktik penyensoran videotron Anies. Terlepas penilaian masyarakat terhadap praktik penyensoran, dengan terjadinya penyebaran wacana itu, membuat masyarakat menjadi kepo.

Implikasinya terjadi kontraproduktif jika tidak mau menyebutnya sebagai bumerang. Jika pelarangan tayangan videotron dilakukan agar masyarakat tidak mengetahuinya, justru karena penyensoran itu, perbincangan tentang Anies di masyarakat semakin tinggi.

Inilah yang disebut sebagai Streisand Effect, efek dari menutup sesuatu, justru malah menjadi terbuka.

Pendiri Drone Emprit Ismail Fahmi menemukan bahwa pada 15 Januari 2024 pukul 12.00 – 20.00 WIB, sebelum informasi take down atau penghentian paksa tayangan Videotron Anies tersebar di media sosial, grafik perbincangan Anies masih wajar.

Setelah informasi take down tersebar sekitar pukul 21.00 WIB di kalangan warganet, percakapan tentang Anies menjadi viral di media sosial.

Tayangan videotron Anies yang dihentikan paksa terjadi di salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi. Pihak pengelola mal mengatakan bahwa take down dilakukan karena pemilik lahan tempat Videotron berdiri, tidak mengizinkan tayangan kampanye muncul di Videotron.

Pada dasarnya, jika tayangan yang direncanakan muncul selama seminggu itu tidak dihentikan, perbincangan tentang Anies tidak akan seviral pascapenghentian tayangan. Efek Streisand dari take down ini justru membuat promosi dan popularitas Anies naik.

Kashdan, Rose & Finchan (2004) menjelaskan aksi penyensoran yang tersebar di masyarakat dapat memunculkan rasa ingin tahu. Ada dua jenis rasa ingin tahu yang muncul ketika mendapat informasi penyensoran.

Pertama, rasa ingin tahu yang bersifat aktif. Masyarakat berupaya untuk mencari tahu dengan prinsip 5W 1 H atas hal yang disensor.

Apa yang disensor (what), siapa yang melakukan sensor (who), kenapa disensor (who), di mana disensor (where), kapan disensor (when) dan bagaimana penyensorannya (how).

Kedua, rasa ingin tahu untuk mendalami hal yang kompleks. Dalam hal ini, masyarakat mencari tahu relevansi penyensoran, keterkaitan dengan praktik penyensoran sebelumnya, penyensoran dalam bentuk lain dan mengaitkannya dengan momentum, seperti Pilpres 2024.

Nah, kedua jenis rasa ingin tahu ini, terjadi pada informasi take down Videotron Anies yang menyebabkan Efek Streisand.

Banyak penelitian dan kajian menyebutkan bahwa praktik sensor, apalagi di momentum tahun politik, membawa risiko lebih besar dibandingkan manfaatnya.

Menurut Dean Burnett (2015) dalam artikelnya di The Guardian, hanya orang yang paling tertipu, yang ngotot melakukan sensor dan seolah-olah itu adalah ide yang bagus.

Di sisi lain, sudah banyak juga ramuan untuk melakukan sensor secara smooth. Brian Martin (2015) dari University of Wollongong, Australia mengurai lima taktik agar sensor mengurangi kemarahan dan antipati masyarakat.

Pertama, menyembunyikan keberadaan sensor. Kedua, mendevaluasi target sensor. Ketiga, menafsirkan ulang tindakan dengan berbohong, meminimalkan konsekuensi, menyalahkan orang lain, dan menggunakan pembingkaian yang baik.

Keempat, menggunakan jalur resmi untuk memberikan kesan keadilan. Dan terakhir kelima, mengintimidasi lawan.

Beberapa di antaranya sudah dilakukan pemerintah melalui instrumen peraturan maupun Undang-undang, yang cenderung lebih smooth.

Persoalannya sekarang, banyak masyarakat mengalamatkan pelaku sensor tayangan videotron Anies ke pemerintah atau rezim berkuasa. Padahal, praktik penyensoran yang smooth sudah sering dilakukan rezim berkuasa.

Pasalnya, penguasa hari ini sadar dengan kekuatan media dan mass power. Aksi penyensoran akan dikaitkan sebagai praktik kekuasaan yang dilakukan oleh rezim berkuasa.

Tag:  #streisand #effect #dinamika #penyensoran #tayangan #kampanye

KOMENTAR