Dari Cerita ke Citra: Cara Penulis Muda Membangun Identitas di Era Digital
PearFest 2025. (Dok. Ist)
13:43
15 Desember 2025

Dari Cerita ke Citra: Cara Penulis Muda Membangun Identitas di Era Digital

Baca 10 detik
  • Lokakarya PearWorkshop x MTN Lab mempertemukan 14 penulis muda dari 10 kota untuk refleksi diri dan identitas kreatif.
  • Acara ini mendukung penulis untuk berani menyuarakan suara mereka dan membangun citra diri di ranah publik.
  • Peserta mendapat masukan langsung dari editor mengenai naskah, premis kuat, dan strategi industri penerbitan.

Di tengah riuh industri kreatif dan derasnya arus konten digital, menjadi penulis hari ini bukan cuma soal menulis dengan baik, tapi juga soal menemukan suara—dan berani memperdengarkannya.

Inilah semangat yang terasa kuat di PearWorkshop x MTN Lab: Name Your Book, Shape Your Voice, salah satu sesi unggulan PearFest 2025 yang digelar di Melting Pop, MBloc Space, Jakarta Selatan.

Sebanyak 14 penulis muda dari 10 kota di Indonesia duduk melingkar, bukan untuk sekadar belajar teknik menulis, tetapi membicarakan hal yang lebih personal: siapa mereka sebagai penulis, cerita apa yang ingin dibawa, dan bagaimana karya itu bisa hidup di luar halaman buku.

Lokakarya ini menjadi ruang aman sekaligus ruang tumbuh, tempat menulis bertemu refleksi diri.

Diselenggarakan oleh Pear Press dan didukung Kementerian Kebudayaan RI melalui program Manajemen Talenta Nasional (MTN) Seni Budaya, sesi ini menempatkan proses kreatif sebagai bagian dari gaya hidup.

Menulis tak lagi dilihat sebagai aktivitas sunyi semata, melainkan praktik yang berkaitan erat dengan keberanian mengambil posisi, membangun citra, dan merawat konsistensi.

“Di era sekarang, cerita yang kuat saja tidak cukup. Penulis juga perlu membangun identitas—bukan hanya untuk bukunya, tapi juga dirinya,” ujar General Manager Pear Press, Namira Daufina.

Di tengah pilihan bacaan yang nyaris tak terbatas, kehadiran penulis di ruang publik, termasuk media sosial, menjadi bagian dari perjalanan kreatif itu sendiri.

Lokakarya ini juga mempertemukan peserta dengan dunia penerbitan dari jarak dekat. Pemateri seperti Christina M. Udiani (KPG) dan Felix K. Nesi berbagi perspektif tentang bagaimana naskah dilihat dari meja redaksi, pentingnya premis yang kuat, serta strategi memperkenalkan diri dan karya tanpa kehilangan kejujuran artistik.

Yang membuat sesi ini terasa istimewa adalah kesempatan peserta untuk mendapatkan umpan balik langsung dari para editor.

Bukan untuk menghakimi, melainkan membuka kemungkinan: apakah cerita ini sudah menemukan bentuknya? Apakah suara ini sudah terdengar jelas?

Bagi para peserta, pengalaman ini terasa seperti jeda penting di tengah perjalanan menulis yang panjang.

“Ketika tahu apa yang dicari penerbit, proses berkarya jadi lebih terarah. Jarak antara penulis dan penerbit juga terasa lebih dekat,” kata Alghifahri Jasin, salah satu peserta asal Ujung Pandang.

PearFest 2025 sendiri mengusung tema The Age of Unlearning—sebuah ajakan untuk berhenti sejenak, melepaskan asumsi lama, dan memberi ruang bagi ketidakpastian sebagai awal perubahan.

Di sinilah menulis menjadi praktik hidup: tentang berani meragukan, belajar ulang, dan terus bertumbuh.

Dari 14 nama yang duduk bersama hari itu, terbentang harapan yang lebih besar: agar semakin banyak penulis muda Indonesia berani melangkah, membawa cerita mereka berjalan lebih jauh, dan menemukan pembaca yang tepat. Karena di balik setiap buku, selalu ada perjalanan personal yang layak dirayakan.

Editor: Vania Rossa

Tag:  #dari #cerita #citra #cara #penulis #muda #membangun #identitas #digital

KOMENTAR