Curhat Komunitas DAS Balantieng, Hulu Menyoal Kompensasi, Hilir Tuntut Ketegasan Polisi
Ilustrasi tambang ilegal.(Suara.com/ANTARA)
11:01
15 Desember 2025

Curhat Komunitas DAS Balantieng, Hulu Menyoal Kompensasi, Hilir Tuntut Ketegasan Polisi

Baca 10 detik
  • Diskusi multipihak di Bantaeng membahas isu keadilan sosial ekonomi Sungai Balantieng, menghasilkan Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS).
  • Masyarakat hulu menuntut kompensasi ekonomi atas pelestarian hutan, dijawab RPDAS dengan rekomendasi pengembangan agroforestri sebagai insentif.
  • Petani hilir mengeluhkan kekurangan air irigasi akibat perebutan dan tambang ilegal, menyarankan penegakan hukum tegas untuk menjaga ekosistem.

Masalah lingkungan di Sungai Balantieng, Sulawesi Selatan, bukan sekadar air keruh dan sampah. Ada isu keadilan sosial dan ekonomi di balik itu. Hal ini dirasakan masyarakat hulu hingga hilir. Tuntutan terkait itu disuarakan melalui diskusi multipihak di Hotel Agri, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis (11/12/2025).

Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Balang Institute dan Program Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia Fase 7 digelar untuk mempertemukan seluruh pihak dalam misi penyelamatan Sungai Balantieng. Solusi tersebut dituangkan dalam Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS).

Curhatan masyarakat pun beragam. Mereka mengisahkan kondisi riil di wilayah masing-masing yang dialiri Sungai Balantieng. Dari kelompok hulu, masyarakat merasa upaya pelestarian hutan selama ini hanya membebani mereka. Mirisnya, mereka tidak mendapatkan imbalan ekonomi dari upaya pelestarian tersebut.

Balang Institute, didukung Program GEF SGP Indonesia Fase 7, menggelar diskusi menyusun rencana penyelamatan sungai atau Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Balantieng. Acara ini digelar di Hotel Agri, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis (11/12/2025).(Dokumentasi Pribadi) PerbesarBalang Institute, didukung Program GEF SGP Indonesia Fase 7, menggelar diskusi menyusun rencana penyelamatan sungai atau Rencana Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (RPDAS) Balantieng. Acara ini digelar di Hotel Agri, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis (11/12/2025).(Dokumentasi Pribadi)

Dalam hal ini, masyarakat dari kelompok hulu merupakan penjaga air. Di sisi lain, mereka juga menghadapi tantangan serta jeratan ekonomi yang berat. Bahkan, mereka acapkali terpaksa mengalihfungsikan lahan. Mereka merasa wilayah hulu membutuhkan perhatian dan penanganan khusus.

"Hulu itu sangat membutuhkan perhatian dan penanganan khusus. Jangan kita di hulu saja melakukan pelestarian. Kenapa bisa terjadi banjir dan sebagainya di hilir? Karena pohon-pohon tinggi ini ditebangi dengan tidak bertanggung jawab," ujar salah satu perwakilan dari masyarakat hulu.

Inti dari curhatan tersebut yakni masyarakat hulu menuntut agar ada kompensasi atau cara mencari nafkah lain yang adil atas jasa mereka menjaga lingkungan. Nah, guna menjawab tuntutan ini, RPDAS merekomendasikan pengembangan kebun campur yang produktif (agroforestri).

“Model ini menjamin masyarakat bisa panen terus-menerus, baik itu bulanan, tahunan, dan jangka panjang. Alhasil, mereka punya insentif ekonomi yang kuat untuk tidak lagi merusak hutan,” ujar Sidi Rana Menggala selaku Koordinator Nasional GEF SGP Indonesia.

Keadilan juga disuarakan oleh petani di wilayah Hilir. Mereka mengeluh bahwa wilayah tengah acapkali berebut dan mengambil air irigasi terlalu banyak. Buntutnya, hal ini membuat mereka mereka kekurangan air. Ditambah, masalah ini diperparah dengan banyaknya tambang batu atau pasir ilegal dan pengikisan tanah atau abrasi pascabanjir.

Menanggapi masalah yang melibatkan pelanggaran hukum seperti tambang ilegal, perwakilan dari kelompok Hilir menyarankan perlunya keterlibatan polisi atau aparat penegak hukum. Dalam hal ini, polisi bisa lebih mempertajam taring dalam menindak tegas para pelaku tambang ilegal terutama yang merugikan ekosistem di wilayah Sungai Balantieng.

Peserta diskusi menuliskan masalah yang terjadi di Sungai Balantieng ketika menyusun RPDAS. Acara ini digelar di Hotel Agri, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis (11/12/2025).(Dokumentasi Pribadi) PerbesarPeserta diskusi menuliskan masalah yang terjadi di Sungai Balantieng ketika menyusun RPDAS. Acara ini digelar di Hotel Agri, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, Kamis (11/12/2025).(Dokumentasi Pribadi)

"Seharusnya air yang keluar dari yang hulu itu juga ya sampai hilir. Kalau saya lihat, perlu keterlibatan Aparat Penegak Hukum (APH) karena seperti kajian cepat, tidak usah kita cerita di sini sama dengan masalah-masalah kita di sini, kadang-kadang yang tertangani ini salah-salah," tutur perwakilan dari masyarakat hilir.

Usulan ini membuktikan bahwa masalah lingkungan di Balantieng tidak cukup diatasi hanya dengan kebijakan. Dibutuhkan pula taring yang tajam dari para penegak hukum. Alhasil, mereka bisa dengan tegas menindak para pelaku pelanggaran di lapangan.

Untuk memastikan keadilan ekonomi antara wilayah, RPDAS juga mendorong skema Imbal Jasa Lingkungan (IJL). Mekanisme ini memastikan pihak yang menikmati manfaat air di hilir bisa memberikan imbalan kepada pihak yang menjaga kualitas air yakni masyarakat di hulu. Ini adalah langkah terstruktur untuk mencapai keadilan.

Pada penutup kegiatan, para pihak meneken pakta integritas tentang kesetaraan gender dan pencegahan pelecehan seksual menunjukkan komitmen program pemulihan DAS Balantieng ini harus melibatkan semua orang dan tidak meninggalkan kelompok masyarakat manapun membuktikan bahwa solusi lingkungan harus berjalan seiring dengan keadilan sosial.(*)

Editor: Rendy Adrikni Sadikin

Tag:  #curhat #komunitas #balantieng #hulu #menyoal #kompensasi #hilir #tuntut #ketegasan #polisi

KOMENTAR