Ketika Hidup Sehari-hari Menjadi Kaca Pembesar Ilmu Kesejahteraan Sosial
DI sebuah minimarket, saya melihat seorang anak kecil ngambek karena tidak dibelikan mainan. Ibunya terlihat lelah, mencoba menenangkan, sambil menahan tatapan orang-orang di antrian. Situasi sederhana itu mengingatkan saya: betapa sering perilaku manusia sehari-hari, yang tampak remeh, sebenarnya adalah pertemuan rumit antara kebutuhan, dorongan, dan tekanan sosial.
Dalam keseharian, kita sering bertanya, “Kenapa anak ini tantrum? Kenapa remaja itu membolos? Kenapa orang dewasa mudah tersinggung atau merasa tidak cukup?” Jawabannya tidak sesederhana “kurang dididik” atau “karakternya begitu”. Kita hidup dalam jejaring sistem, kebutuhan, dan pengalaman yang membentuk tingkah laku.
Dorongan Dalam Diri yang Tidak Selalu Tampak
Tokoh Psikoanalisis Sigmund Freud mengatakan bahwa manusia ibarat gunung es: yang terlihat hanyalah sebagian kecil dari dorongan yang bekerja. Ketika seseorang tiba-tiba marah di jalan, kita mudah menilai dia tidak sabar. Tetapi bisa jadi ia sedang memendam tekanan berat, kehilangan pekerjaan, konflik keluarga, atau kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi.
Yang tampak hanyalah permukaan. Yang tak tampak adalah badai di bawah air. Begitu pula ketika seorang ibu merasa “meledak” menghadapi anaknya. Bukan sekadar karena anak nakal, tetapi karena id (dorongan), ego (realita), dan superego (norma) saling tarik-menarik dalam waktu bersamaan.
Lingkungan yang Membentuk Perilaku
Teori behaviorisme menggambarkan manusia sebagai pembelajar. Perilaku baik maupun buruk terbentuk dari pengulangan. Kita bisa melihatnya setiap hari:
- Remaja yang mendapat pujian ketika membantu, akan mengulangi perilakunya.
- Anak yang dimarahi setiap kali bertanya, lama-lama berhenti bertanya.
- Pegawai yang hanya dimarahi dan tidak pernah diapresiasi akan kehilangan motivasi.
Perilaku bukan hanya “muncul”, melainkan “dibentuk”. Sebagian oleh keluarga, sebagian oleh sekolah, sebagian oleh media sosial, dan sebagian oleh masyarakat yang kadang tanpa sadar “mengondisikan”.
Kesejahteraan yang Berjalan Setapak Demi Setapak
Maslow menjelaskan bahwa manusia tak akan bisa bicara soal prestasi kalau kebutuhan dasar saja belum terpenuhi. Maka tak heran jika anak yang lapar sulit konsentrasi, atau orang tua yang stres ekonomi lebih mudah kehilangan kesabaran. Di sinilah pekerja sosial sering melihat kenyataan pahit: masalah perilaku bukan soal karakter, tetapi soal belum terpenuhinya kebutuhan dasar dan kebutuhan kasih sayang.
Di era media sosial, teori McClelland pun ikut terlihat jelas. Banyak orang melakukan sesuatu demi achievement yang terlihat, power yang diukur dengan jumlah followers, dan affiliation yang ditentukan oleh komentar di dunia maya. Ketika salah satu tidak terpenuhi, muncul kecemasan baru: FOMO, FOPO, YOLO, atau gaya hidup YONO.
Kita menjadi gelisah bukan karena ada ancaman nyata, tetapi karena dunia digital memindahkan standar kebahagiaan.
Pertumbuhan yang Bergantung pada Cara Kita Melihat Diri
Carol Dweck membagi manusia dalam dua pola pikir: fixed mindset dan growth mindset. Dan di era kini, perbedaannya tampak nyata. Kita melihat orang yang gagal sekali lalu menyerah, karena percaya dirinya “memang tidak bisa”. Dan kita melihat mereka yang belajar dari kesalahan, bangkit, lalu tumbuh, karena percaya kemampuan bisa dikembangkan.
Pola pikir bukan hanya memengaruhi karier, tetapi juga hubungan, kesehatan mental, dan partisipasi sosial.
Paul Stoltz membagi manusia menjadi Quitters, Campers, dan Climbers. Dan setiap hari kita bisa melihat ketiganya. Quitters dalah mereka yang menyerah di tengah tekanan hidup. Campers: mereka yang merasa cukup dan berhenti berkembang. Sedangkan Climbers adalah mereka yang terus melangkah meski tertatih.
Tetapi Stoltz mengajarkan bahwa orang tidak “terlahir” dalam salah satu kategori. Mereka bisa berubah, dengan dukungan, kesempatan, dan lingkungan sosial yang tepat.
Kehidupan yang Tidak Berdiri Sendiri
Model Pincus–Minahan mengingatkan kita bahwa tidak ada individu yang berdiri sendiri. Ada sistem keluarga, sekolah, tetangga, lembaga, hingga kebijakan pemerintah yang bekerja di belakang layar.
Ambil contoh kasus remaja bernama Jono yang sering membolos. Mudah menyalahkan Jono, tetapi ketika kita membuka peta sistemnya, gambarnya berubah: keluarga yang penuh konflik, ekonomi terbatas, guru yang komunikasinya kasar, dan kelompok sebaya yang lebih diterima dibanding rumah atau sekolah. Perubahan perilaku tidak mungkin dilakukan hanya dengan menasihati Jono. Sistem di sekelilingnya harus ikut berubah.
Kita Semua Bagian dari Sistem Itu
Di kehidupan sehari-hari, kita mungkin hanya ingin antre dengan tenang di kasir, mengantar anak ke sekolah, bekerja, atau menutup hari dengan damai. Tetapi di balik itu, kita selalu berinteraksi dalam struktur sosial yang memengaruhi siapa kita, bagaimana kita bertindak, dan bagaimana kita tumbuh.
Ilmu kesejahteraan sosial mengingatkan: setiap perilaku adalah cerita. Setiap manusia adalah sistem. Dan setiap sistem dapat diperbaiki. Maka mungkin, lain kali ketika kita melihat orang marah di jalan, anak menangis di toko, atau remaja yang tampak kehilangan arah, kita bisa berhenti sejenak sebelum menilai. Karena mungkin, yang mereka butuhkan bukan kritik, melainkan kesempatan, stimulus yang tepat, atau sekadar ruang aman untuk menjadi versi terbaik dirinya.
Dan bukankah pada akhirnya, negara, masyarakat, dan kita semua sedang berjuang ke arah yang sama? Menuju kesejahteraan sosial yang lebih manusiawi, dimulai dari hal-hal kecil di kehidupan kita sendiri.
Tag: #ketika #hidup #sehari #hari #menjadi #kaca #pembesar #ilmu #kesejahteraan #sosial