Keluarga Fatherless: Karena Pilihan atau Karena Sistem?
ALIH-alih mewujudkan pepatah “it takes a village to raise a child” dengan mengharapkan peran serta komunitas, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak saat ini menjadi sebuah kemewahan.
Bulan November tepatnya setiap tanggal 12 November, kita peringati sebagai Hari Ayah Nasional. Sepanjang hari itu, media sosial diramaikan oleh berbagai konten ucapan dan peringatan hari ayah. Namun, sesungguhnya apa yang kita rayakan? Sekadar meromantisasi predikat “ayah”, mensyukuri atau justru mengharapkan kehadirannya yang utuh?
Pertanyaan tersebut muncul sebagai refleksi, setelah Hari Ayah Nasional yang mulai diperingati sejak tahun 2006 dimaksudkan untuk menghargai peran ayah, akhir-akhir ini peran ayah justru semakin dipertanyakan dalam keluarga khususnya berkaitan dengan pengasuhan anak.
Sebagaimana data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2024 yang disajikan dalam Harian Kompas tanggal 8 Oktober 2025 pada artikel yang berjudul “Seperlima Anak Indonesia Tanpa Pengasuhan Ayah”, 15,9 juta anak di Indonesia atau 20,1 persen dari 79,4 jumlah anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah atau yang kerap disebut dengan fatherless.
Potensi tumbuh tanpa pengasuhan ayah yang dimaksud dalam data tersebut dicerminkan dalam dua kondisi yaitu anak yang tinggal dalam keluarga tanpa ayah dan anak yang tinggal bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per minggu atau lebih dari 12 jam per hari.
Harian Kompas juga menemukan fakta bahwa tingginya jumlah anak dengan kondisi fatherless di suatu provinsi berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian di provinsi tersebut. Sebagai contoh, 3 provinsi dengan angka perceraian tertinggi di tahun 2024 yaitu Jawa Barat sebanyak 88.985 kasus, Jawa Timur 79.293 sebanyak kasus, dan Jawa Tengah sebanyak 64.937 kasus, juga masuk ke dalam 5 besar provinsi dengan tingkat fatherless tertinggi di Indonesia.
Untuk menilik lebih dalam tentang situasi yang berpotensi menyebabkan keluarga fatherless, berikut hasil penelusuran terhadap sejumlah data di Indonesia yang sedikit banyak memengaruhi pilihan jika tidak bisa disebut menyumbang dilema para ayah di Indonesia untuk hadir dalam keluarga.
Dalam konteks praktis, sejumlah situasi di bidang ketenagakerjaan, seperti mengenai jam kerja berlebih, kurangnya akses untuk mendapatkan paternity leave, tidak terserapnya tenaga kerja pria di pasar kerja lokal sehingga membuat pria harus menjadi pekerja komuter.
Adapun seseorang dikatakan sebagai pekerja komuter apabila melakukan perjalanan secara rutin dengan durasi pergi pulang selama 24 jam untuk tujuan bekerja di kabupaten/kota yang berbeda atau pekerja sirkuler seseorang yang melakukan perjalanan rutin dengan durasi pulang pergi lebih dari 24 jam untuk bekerja di kabupaten atau kota yang berbeda dan kembali ke tempat tinggalnya setidaknya sekali seminggu.
Selain itu, migrasi ke luar negeri sebagai dampak globalisasi, dan sejumlah isu lain menyebabkan pria yang dalam hal ini juga sebagai suami dan ayah, seolah tidak punya cukup pilihan untuk lebih banyak hadir dalam pengasuhan anak. Belum lagi persoalan upah yang dalam beberapa kondisi memaksa pria untuk memiliki side hustle yang semakin memakan waktu dan energinya.
Sebagaimana diungkap dalam publikasi Cerita Data Statistik Indonesia Edisi 2024.01 diperoleh informasi bahwa status pernikahan dan kedudukan dalam rumah tangga juga memiliki hubungan signifikan dengan pertimbangan seseorang untuk memiliki side hustle di mana dalam data tersebut ditunjukkan bahwa tenaga kerja yang memiliki kerja sampingan lebih banyak didominasi oleh laki-laki dibanding perempuan, dan berstatus kawin.
Sejumlah hal lain dapat dipotret sebagai faktor penyebab kondisi fatherless di Indonesia. Berdasarkan data rumah tangga yang keluarganya tinggal satu rumah melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dengan kuesioner Keterangan Objek Rumah Tangga (KOR) tahun 2023, tiga provinsi dengan capaian tertinggi adalah Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan. Sedangkan tiga provinsi dengan capaian terendah adalah Papua, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua Barat.
Data tersebut berdasarkan survey terhadap keluarga yang tidak tinggal dalam satu rumah seperti keluarga dengan salah satu anggota keluarganya menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Berdasarkan angka migrasi total yang bersumber dari Badan Pusat Statistik diperoleh bahwa Provinsi Sumatera Selatan termasuk pada lima provinsi dengan angka migrasi paling rendah sehingga dapat di simpulkan bahwa di Provinsi Sumatera Selatan banyak keluarga yang tinggal dalam satu rumah.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa data migrasi berbanding lurus dengan data rumah tangga yang tinggal satu rumah.
Berdasarkan Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja 2023/2024, data Pekerja Komuter Menurut Provinsi, Daerah Tempat Tinggal, dan Jenis Kelamin tahun 2023 didominasi oleh laki-laki yaitu 5.208.872 pekerja sedangkan perempuan 2.175.449 pekerja. Kemudian berkaitan dengan status perkawinan, berdasarkan data Persentase Pekerja Komuter Menurut Provinsi dan Status Perkawinan tahun 2023, 68,3% pekerja komuter didominasi oleh pekerja yang berstatus kawin.
Data serupa juga didapatkan dari Pekerja Sirkuler Menurut Provinsi, Daerah Tempat Tinggal, dan Jenis Kelamin tahun 2023, di mana 2.802.964 pekerja sirkuler berjenis kelamin laki-laki dan 348.928 pekerja sirkuler berjenis kelamin perempuan.
Selanjutnya berkaitan dengan status perkawinan, berdasarkan Persentase Pekerja Sirkuler Menurut Provinsi dan Status Perkawinan tahun 2023 di mana 71,7% pekerja sirkuler berstatus kawin maka dapat disimpulkan bahwa pekerja sirkuler terdiri dari 88,92 laki-laki dan 71.7% diantaranya berstatus kawin.
Merenungkan Kembali Kedudukan Pria dalam Hukum Perkawinan Indonesia
Irisan antara perihal ketenagakerjaan dan perihal perkawinan membuat kita tak cukup melihat persoalan fatherless dari aspek ketenagakerjaan saja. Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menempatkan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga, serta kewajiban suami untuk memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya.
Konstruksi pasal ini hendaknya dibaca sebagai suatu ketentuan yang pelaksanaannya dapat beragam dipengaruhi oleh berbagai situasi suatu rumah tangga. Sayangnya, pola pikir dan pola hidup yang masih berpegang pada peran gender tradisional mengakibatkan salah kaprah tentang peran sebagai pencari nafkah dan pekerja domestik rumah tangga yang seolah tak boleh dilakukan bersama oleh suami dan istri.
Pola-pola ini bisa jadi memengaruhi bagaimana perkawinan dikelola hingga dapat berujung pada konflik rumah tangga dan perceraian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, kondisi ekonomi menempati posisi kedua dalam alasan pengajuan perceraian dan perceraian lebih banyak diajukan oleh istri atau disebut juga cerai gugat. Fakta ini menunjukkan bahwa angkatan kerja Indonesia yang didominasi oleh pria berstatus kawin tidak berbanding lurus dengan minimnya persoalan rumah tangga bahkan yang berujung perceraian yang diakibatkan oleh faktor ekonomi.
Sejumlah pasal lain dalam Undang-Undang Perkawinan dan persoalan seputar perkawinan juga berkontribusi dalam potensi ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan. Di antaranya kebolehan poligami yang sulit untuk dapat menghasilkan perlakuan yang adil kepada istri dan anak, dispensasi kawin yang biasanya diberikan untuk perkawinan anak yang berpotensi menciptakan orang tua yang tidak siap dalam pengasuhan, hak asuh anak pasca perceraian yang hanya ada pada salah satu pihak, dan anak luar kawin yang kelahirannya tidak dicatatkan.
Kompleksitas relasi antara regulasi yang bias gender, perspektif patriarki yang mengakar dan praktik hubungan keluarga dan pekerjaan yang diperdaya oleh modernisasi mengancam kehadiran ayah dalam keluarga.
Maka jika kita tilik lebih dalam, situasi fatherless dalam keluarga bukan semata soal pilihan bebas seorang pria. Berbagai sistem dalam masyarakat yang saling berkaitan namun tak saling mendukung, patut disangka menjadi penyebab utama, untuk itu persoalan yang tak seksi di mata negara ini, semoga suatu saat menjadi perhatian.
Tag: #keluarga #fatherless #karena #pilihan #atau #karena #sistem