Banjir-Longsor Landa Sumut dan Sumbar, Anggota DPR: Alarm Kerusakan Lingkungan
- Anggota Komisi VIII DPR RI Dini Rahmania menilai, banjir dan longsor yang melanda wilayah Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar) menjadi alarm atas terjadinya kerusakan lingkungan dan masalah tata ruang.
Menurut dia, rentetan bencana di berbagai wilayah bukan sekadar fenomena alam musiman, tetapi akumulasi dari kerusakan yang telah terjadi, dan perlu adanya perbaikan pengelolaan wilayah serapan hingga aliran sungai.
“Bencana tersebut bukan semata-mata fenomena alam, melainkan akumulasi dari kerusakan lingkungan dan pengelolaan tata ruang yang belum sepenuhnya berkelanjutan,” ujar Dini, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (27/11/2025).
“Kita perlu melihat kejadian ini sebagai peringatan keras bahwa pengelolaan hulu, perlindungan kawasan resapan, dan tata kelola daerah aliran sungai, tidak bisa ditunda lagi,” sambung dia.
Politisi Nasdem itu pun menyampaikan keprihatinan mendalam atas terjadinya bencana ekologis tersebut, yang sekali lagi menunjukkan kondisi lingkungan semakin rentan.
Dini menekankan bahwa persoalan tersebut sulit dipisahkan dari dugaan alih fungsi lahan di wilayah hulu yang memperparah risiko bencana.
Oleh karena itu, dia mendorong pemerintah pusat dan daerah agar mengambil langkah tegas untuk memperbaiki tata kelola lingkungan.
“Pemerintah daerah seharusnya mengambil langkah tegas dan terukur. Pengawasan terhadap alih fungsi lahan harus diperketat, terutama di wilayah hulu yang menjadi penyangga ekosistem,” kata Dini.
Dia juga meminta agar pengendalian pembangunan dan perlindungan kawasan lindung lebih diperkuat.
Hal itu dilakukan dengan menghentikan izin pembangunan yang berpotensi menimbulkan kerusakan alam.
“Di wilayah hulu yang menjadi penyangga ekosistem, pemda perlu menegakkan aturan tata ruang tanpa pengecualian. Kemudian menghentikan sementara izin-izin yang berpotensi merusak kawasan lindung,” kata Dini.
Dini berharap agar pemerintah mengoptimalkan pengawasan terhadap potensi kerusakan lingkungan akibat pembangunan dan mendorong dilakukannya rehabilitasi lahan kritis.
“Bencana ekologis adalah konsekuensi dari kebijakan yang tidak berpihak pada keberlanjutan. Karena itu, Pemda harus memperbaiki tata kelola, bukan hanya merespons ketika bencana sudah terjadi,” pungkas dia.
Diberitakan sebelumnya, banjir bandang dan longsor melanda tujuh kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara selama tiga hari terakhir.
Hingga Kamis (27/11/2025), terdapat 37 korban tewas.
Kabupaten Tapanuli Selatan mencatat jumlah korban meninggal dunia terbanyak, yaitu 17 orang.
Disusul Kota Sibolga 8 orang, Kabupaten Tapanuli Tengah 4 orang, Humbang Hasundutan 4 orang, Pakpak Bharat 2 orang, dan Nias Selatan 1 orang.
Sementara BPBD Padangsidimpuan mencatat satu korban tewas di wilayahnya.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut, Kombes Pol Ferry Walintukan, melaporkan masih ada 52 warga dalam pencarian dan 1.168 warga mengungsi.
“Sementara itu, 1.168 warga tercatat mengungsi di berbagai lokasi,” ujar Ferry dalam keterangan tertulisnya.
Dia menambahkan bahwa saat ini bencana juga terjadi di Mandailing Natal, Langkat, Deli Serdang, hingga Kota Medan.
Di Sumatera Barat, 13 kabupaten/kota terdampak banjir dan longsor, dengan 9 korban meninggal dunia hingga Kamis siang.
Tag: #banjir #longsor #landa #sumut #sumbar #anggota #alarm #kerusakan #lingkungan