Sama-sama Nonton YouTube, Kenapa Perilaku Anak Ada yang Positif dan Negatif?
- YouTube termasuk platform digital yang berisi video baik untuk pembelajaran maupun hobi yang bisa diakses anak. Namun, meski sama-sama mengakses YouTube, mengapa ada anak yang perilakunya jadi positif, dan ada pula yang jadi negatif?
“Ada banyak faktor penyebab, pertama sudah pasti dari parenting atau situasi di rumah,” kata psikolog sekaligus Ketua Bidang E (Humas, Media dan Edukasi) Himpunan Psikologi Indonesia, Samanta Elsener, M.Psi., saat ditemui di Kantor Google Indonesia, Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).
Situasi di rumah seperti apa yang bisa memengaruhi anak? Simak penjelasannya.
Hubungan pola asuh dan menonton YouTube
Berkaca dari serial Adolescence
Samanta mengatakan bahwa situasi seperti ini bisa terlihat dari serial Netflix, Adolescence, yaitu serial yang menggambarkan seorang bocah laki-laki bernama Jamie Miller yang melakukan tindak pidana karena terpapar pandangan misoginis di dunia maya.
Dalam serial tersebut, Miller datang dari keluarga yang harmonis. Namun, ia terpapar konten negatif karena orangtuanya terlalu membebaskannya mengakses dunia maya.
“Orangtuanya lupa memberikan pengawasan terhadap bagaimaan anak mengonsumsi konten-konten sehingga mereka menyerap. Anak itu reseptifnya tinggi sekali, dan rasa penasarannya juga sangat luar biasa,” ujar Samanta.
Alhasil, ketika anak mendapatkan banyak variasi konten di dunia maya, tetapi tidak ada diskusi lebih lanjut dengan orang dewasa di sekitarnya dan juga pengawasan, anak bisa menjadi negatif karena terpapar konten negatif.
Psikolog dan Ketua Bidang Humas HIMPSI, Samanta Elsener, di sela acara Beranda Jiwa di kantor Google Indonesia di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).
Beda halnya dengan anak yang bisa mendiskusikan apa pun yang ditemukan di dunia maya dengan orang dewasa di sekitarnya, dan aksesnya diawasi oleh mereka.
Anak hanya menganggap konten negatif sebagai konten belaka atau “sekadar informasi tambahan”, dan ia kembali menjalani hari-hari seperti biasa.
“Anak menjadi liar. Dia merasa bahwa melakukan ini (apa yang dilihat dalam konten negatif di dunia maya) boleh. Norma yang ada di dalam standar sosial itu jadi tidak ada di dalam diri anak,” ucap Samanta.
Anak tidak bisa berpikir panjang
Karena tidak ada diskusi lebih lanjut dengan orang dewasa di sekitarnya, dapat dikatakan bahwa kompas moral anak terhadap konten negatif yang dilihatnya, bisa diterapkan di dunia nyata.
Mereka jadi tidam bisa berpikir panjang, dan cenderung lebih bersikap impulsif sesuai emosi yang sedang dirasakan.
“Karena menurut dia, dari semua konten-konten yang didapatkan, itu layak dia lakukan,” kata Samanta.
Bisa saja ia meluapkan emosinya dengan memukul orang, tanpa berpikir bahwa tindakannya bisa melukai orang lain dan membuat dirinya terjerat dalam masalah.
Sebab, anak meniru konten yang dilihat, dan mencontoh apa yang terjadi dalam konten tersebut. Ini karena tidak ada orang dewasa yang mengatakan bahwa emosi bisa dikeluarkan dengan cara yang lebih positif, bukan seperti apa yang ada dalam konten tersebut.
Apa yang bisa dilakukan oleh orangtua?
Diskusi dengan anak
Sama-sama nonton YouTube, kenapa ada anak yang perilakunya positif dan ada yang negatif? Ini jawaban psikolog.
Apa yang bisa dilakukan oleh orangtua, atau orang dewasa di sekitar anak-anak, adalah membuka diskusi yang terbuka dengan topik yang lebih bervariasi dengan anak.
Topik yang lebih lebar bisa membantu anak memiliki sudut pandang yang lebih luas, sekaligus mengetahui cara yang tepat untuk meregulasi emosi.
“Diskusi dengan konteks sosial. Jadi diskusi bukan cuma makan apa, enak enggak. Kita harus bisa memberikan pertanyaan yang tepat,” tutur Samanta.
Perihal sekolah, misalnya, alih-alih menanyakan soal pelajaran, orangtua bisa lebih kreatif dengan menanyakan teman yang paling seru diajak bermain, apakah ada guru yang sedang marah, atau kejadian yang membuat anak kesal di sekolah.
“Anak akan jadi terbiasa untuk ekspresif, untuk cerita sama orangtuanya. Dari situ orangtua bisa mengukur seberapa baik atau buruk keterampilan sosial anak di lingkungan sekolah atau di lingkungan pergaulan mereka,” terang Samanta.
Mengenal teman-teman anak
Selanjutnya adalah mengenal teman-teman anak, bukan sekadar kenal wajah tetapi kenal nama dan karakter masing-masing. Ajak mereka ngobrol ketika diajak anak main ke rumah.
Dengan begitu, orangtua juga tahu kegiatan apa saja yang anak dan teman-temannya lakukan saat bermain di dalam kamar.
“Kalau enggak diajakin ngobrol, cuma hai hai, mereka main ke rumah sih tapi dibiarin saja, itu mereka bisa ‘bereksperimen’ di dalam kamarnya dan orangtua enggak itu melakukan ‘eksperimen’ apa,” terang Samanta.
Kembali ke poin sebelumnya, yaitu diskusi dengan anak, mereka akan terbuka dengan orangtua tentang apa yang dilakukan dengan teman-temannya. Anak juga punya pertahanan diri terhadap apa yang terjadi di lingkungannya, supaya itu tidak dilakukan oleh dia,” pungkas Samanta.
Tag: #sama #sama #nonton #youtube #kenapa #perilaku #anak #yang #positif #negatif