Pilpres Taiwan: Jangan Menambah ''Hot Spot'' Baru
TANGGAL 13 Januari 2024 ini, Taiwan menyelenggarakan hajatan pilpres empat tahunan. Ada tiga paslon yang akan bertanding, yaitu pasangan calon Lai Ching-te dan Hsiao Bi-khim dari Partai Demokrat Progresif (Progressive Democratic Party, PDP), Hou Yu-ihv dan Jaw Shaw-kong dari Partai Kuomintang (KMT), dan Ko Wen-je dan Cynthia Wu dari Partai Rakyat Taiwan (Taiwan People Party, TPP).
Menurut analisis terhadap jajak pendapat yang dilakukan oleh Dr Liao Da-chi dari Universitas Nasional Sun Yat-sen (CNA, 3/1/2024), calon terkuat yang diperkirakan memenangi pilpres 2024 adalah Lai Ching-te. Ia adalah Wakil Presiden Taiwan, yang juga Ketua PDP.
Ketua PDP sebelumnya, Tsai Ing-wen, mengundurkan diri pada 2022 karena kalah dalam pilkada. Tsai Ing-wen adalah presiden Taiwan saat ini, yang sudah dua periode menjabat sehingga tidak berhak maju lagi pada pilpres 2024.
Menurut perkiraan Dr Liao Da-chi, suara PDP di parlemen akan turun, dari 62 kursi menjadi 46 kursi.
Sebaliknya, suara KMT bertambah dari 38 kursi menjadi 56 kursi. Namun jumlah kursi KMT ini belum cukup untuk membuatnya menjadi partai mayoritas di DPR yang minimal menguasai 57 kursi.
Maka KMT harus berkoalisi dengan TPP, yang perolehan kursinya meningkat menjadi 8 kursi, dari 5 kursi pada pemilu sebelumnya.
Jika koalisi ini terjadi, maka KMT dan TPP akan menjadi partai yang menentukan, sebaliknya PDP berada pada posisi sulit.
Calon independen
Adapun Partai Kekuatan Baru (New Power Party, NPP) tidak mengajukan calon, walaupun berhak karena memperoleh lebih dari lima persen suara pada pemilu sebelumnya. Syarat Presidential threshold 5 persen itu ditetapkan dalam UU Pemilu.
Partai kecil dan perseorangan dapat mengajukan calon presiden, dengan syarat didukung cukup banyak warga dengan bukti tanda tangan dari 1,5 persen jumlah pemilih (tahun ini 290.000 orang).
Pada pilpres 2024 ini, hanya 9 dari 10 calon presiden independen yang memenuhi syarat jumlah tanda tangan tersebut. Satu calon itu adalah Terry Gou, pendiri perusahaan teknologi global Foxconn, yang berpasangan dengan aktris Lai Pei-hsia.
Gou berhasil menyerahkan 900.000 tanda tangan ke Komisi Pemilihan Umum. Namun ditengah proses validasi tanda tangan, ia menyatakan mundur dari pencalonan presiden.
Ia dituduh telah membeli tanda tangan (Taipei Times, 24/10/2023). Modal dana saja rupanya tidak cukup menjamin keberhasilan seorang calon independen.
Koalisi setengah jalan
Pilpres Taiwan kali ini diwarnai dengan upaya pembentukan koalisi antara KMT dan TPP. Upaya ini dimaksudkan untuk mengalahkan paslon Lai-Hsiao dari PDP yang dalam beberapa jajak pendapat sebelumnya selalu memperoleh suara terbanyak, walaupun tidak terpaut jauh.
Menurut Taiwanese Public Opinion Foundation pada Juni 2023, misalnya, TPP mendapat dukungan dari 22,2 persen responden, melampaui KMT yang memperoleh 20,4 persen. Adapun dukungan untuk PDP yang berkuasa hanya sebanyak 24,6 persen.
Namun, rencana berkoalisi ini menemui jalan buntu. Semula TPP dan KMT sepakat bahwa posisi calon presiden ditentukan berdasarkan hasil survei elektabilitas tertinggi.
Namun setelah survei dilakukan, kesepakatan tidak terjadi karena beberapa alasan, antara lain terkait dengan bobot suara.
Upaya mencari titik temu antara Hou You-yi (KMT) dan Ko Wen-je (TPP) juga dibantu oleh mantan Presiden Ma Ying-jeou (KMT) dan Terry Gou.
Ma Ying-jeou (KMT) ikut mengatasi kebuntuan antara KMT dan TPP, dengan menyetujui usulan Ko Wen-je (TPP) untuk melakukan pemungutan suara melalui telepon.
Cara ini dianggap lebih menguntungkan TPP, karena dapat menjangkau pemilih muda yang diandalkannya.
Adapun Terry Gou ikut menengahi kebuntuan koalisi karena pencalonannya telah menyebabkan suara untuk PDP bertambah, sedangkan untuk TPP dan KMT menurun.
Kendati ada penengah, tetap saja tidak terjadi kesepakatan antara KMT dan TPP, hingga batas waktu pendaftaran calon presiden terlampaui.
Alhasil, kedua partai papan tengah tersebut harus saling berhadapan, sekaligus juga bersaing dengan partai petahana PDP pada Pilpres 2024 ini. Membentuk koalisi yang solid rupanya tidak mudah.
Faktor luar negeri
Pilpres Taiwan ini cukup menarik perhatian, karena ada faktor luar negeri yang hampir selalu menggelayuti hati dan pikiran warga Taiwan setiap menyelenggarakan pilpres.
China menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsi di dalam negara People's Republic of China (PRC).
Kebijakan Satu China (One China Principle) itu secara formal disepakati oleh Partai Kuomintang yang menguasai pemerintah dan Partai Komunis China pada 1992.
Inti dari konsensus itu adalah kedua pihak mengakui hanya ada satu negara China. Akan tetapi, pemahaman ”China” ini bebas sesuai dengan penafsiran oleh Beijing ataupun Taipei (Kompas.id, 1/1/2024).
PDP menafsirkan Konsensus 1992 sebagai ”satu China dengan dua sistem”. Dan penafsiran itulah yang diterima oleh penduduk Taiwan, terbukti dengan kemenangan Presiden Tsai Ing-wen pada Pilpres 2016 dan 2020.
Penafsiran yang sama juga diakui oleh mayoritas negara di dunia, yang menerima keberadaan semacam Duta Dagang Taiwan. Hanya ada 13 negara yang mengakui Taiwan sebagai negara yang berdaulat, dengan demikian ada Duta Besar Taiwan di sana.
Namun pada saat pilpres berlangsung, melempar gagasan untuk menjadi negara yang berdaulat dapat menjadi bahan kampanye yang menarik, khususnya untuk generasi muda.
Oleh sebab itu, China sering mengirim isyarat agar Taiwan tidak melenceng dari konsensus Prinsip Satu China menjelang pilpres.
Pada Juni 2023 lalu, sepuluh pesawat tempur dan pengebom China melintasi garis median Selat Taiwan, dan empat kapal perang China berpatroli di lokasi itu.
Oleh Taiwan, ini berarti China telah memasuki wilayah kekuasaannya, dari laut dan udara. Maka ketegangan pun terjadi.
Taiwan mengerahkan pesawat tempur, kapal, dan sistem rudal darat untuk berjaga-jaga. Beruntung satu peluru pun tidak keluar.
Selain insiden itu, pilpres tahun ini berbeda dengan pilpres sebelumnya karena adanya pernyataan dari Presiden China, Xi Jinping, pada Kongres Partai Komunis China tahun 2022.
Ia akan menyatukan kembali Taiwan di bawah kendali Beijing, seperti halnya Hongkong dan Macau.
China tampak tidak menyukai calon presiden Lai Ching-te (PDP) karena dianggap separatis, dan Presiden Xi dikabarkan sudah meminta militernya untuk ancang-ancang menyerang Taiwan pada 2027 (Kompas.id, 7/1/2024).
Sikap China itu tentunya mendorong para paslon untuk berhati-hati. Secara formal, mempertahankan status quo adalah pilihan yang rasional bagi setiap partai.
Pemerintah Taiwan dapat terus menjalankan misi dagangnya dengan semua negara di dunia tanpa hambatan, dan masalah ekonomi termasuk kelangkaan perumahan akan dapat diatasi.
Namun menjadi negara merdeka untuk menentukan nasib sendiri adalah cita-cita setiap warga negara, termasuk rakyat Taiwan. Seperti dikatakan oleh Presiden Tsai Ing-wen dalam pidato Tahun Baru terakhirnya (31/12/2023):
“Kita harus percaya pada Taiwan yang global, pada demokrasi, dan kepada diri kita sendiri. Segala keputusan mengenai Taiwan harus ditentukan oleh rakyatnya, bukan oleh pihak luar.”
Menjadi berkah bagi banyak negara jika Pilpres di Taiwan dapat berjalan dengan mulus. Dunia akan mendapat pasokan chips dari Taiwan tanpa ada kendala dalam produksi dan distribusi.
Dengan pendapatan yang meningkat, maka turis asal Taiwan diharapkan akan semakin banyak membawa devisa bagi negara-negara yang didatangi, termasuk Indonesia.
Siapapun pemenangnya, presiden terpilih diharapkan dapat menjaga hubungan dengan China, sehingga tidak muncul hot spot baru di dunia, menambah apa yang terjadi di Eropa utara dan Timur Tengah.