Kematian Musuh Kremlin, Alexei Navalny Memicu Kemarahan Barat
Tugu peringatan sementara untuk Alexei Navalny berada di luar konsulat Rusia di Montreal, Kanada. (AP-Yonhap)
08:03
20 Pebruari 2024

Kematian Musuh Kremlin, Alexei Navalny Memicu Kemarahan Barat

- Di saat kemarahan atas kematian musuh utama Kremlin, Alexei Navalny bergema di seluruh dunia. 

Presiden Rusia, Vladimir Putin menutup telinga terhadap kemarahan Barat ketika ia bersiap untuk memperpanjang masa pemerintahannya yang telah berlangsung selama 24 tahun dalam pemilihan umum bulan depan, sementara polisi di seluruh Rusia terus meredam upaya-upaya protes.

Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya sedang mempertimbangkan sanksi-sanksi baru terhadap Rusia atas kematian Navalny, dan tindakan Kremlin baru-baru ini di Ukraina. 

Namun, karena bantuan Amerika Serikat untuk Ukraina masih tertahan di Kongres dan sekutu NATO di Eropa berjuang guna mengisi kekosongan tersebut.

Banyak yang bertanya-tanya apa yang dapat dilakukan Barat untuk menghentikan pemimpin Kremlin yang kejam itu, mengingat beberapa putaran hukuman sebelumnya telah gagal.

Mark Galeotti, kepala perusahaan konsultan Mayak Intelligence yang berbasis di London, dalam sebuah komentar di YouTube menulis. Tidak ada ruang untuk sanksi tambahan yang bernilai besar terhadap Rusia, yang sudah menjadi salah satu negara yang paling banyak dijatuhi sanksi di dunia.

Sebaliknya Galeotti mengatakan, Barat seharusnya lebih fokus untuk bekerja sama dengan sekutu-sekutu Navalny, dan membantu masyarakat Rusia untuk mendapatkan akses ke saluran-saluran informasi yang melawan propaganda Kremlin.

Menurut Galeotti, upaya-upaya semacam itu adalah kunci terutama saat ini, yang menggambarkan kematian Navalny sebagai langkah lain dalam transisi Putin dari otoritarianisme hibrida menjadi despotisme preman yang brutal.

Sekutu Amerika Serikat dan NATO telah mempertimbangkan lebih banyak tindakan untuk meningkatkan dukungan bagi Ukraina, dimana militer Rusia baru saja memaksa pasukan Ukraina untuk mundur dari benteng pertahanan utama di bagian Timur, Avdiivka, setelah pertempuran sengit selama empat bulan. 

Sekutu mendiskusikan cara-cara untuk meningkatkan biaya perang ke Rusia untuk memaksa Putin mundur. Namun, pemimpin berusia 71 tahun itu telah bersumpah untuk terus maju, menolak untuk melepaskan semua keuntungannya. 

Putin juga menyatakan dalam sebuah wawancara dengan mantan pembawa acara Fox News, Tucker Carlson, pada pekan lalu, bahwa Barat akan cepat atau lambat dipaksa untuk menegosiasikan sebuah kesepakatan sesuai dengan keinginannya.

Mantan duta besar Inggris untuk Belarusia dan peneliti senior untuk Rusia serta Eurasia di International Institute for Strategic Studies di London, Nigel Gould-Davies menyatakan kematian Navalny menunjukkan kekejaman, dan penghinaan Putin terhadap opini Barat serta internasional. 

Rusia mengumumkan kematian Navalny pada hari Jumat (16/2), tepat pada saat para pemimpin Barat berkumpul di sebuah konferensi keamanan di Munich, Jerman.

"Putin memberikan tantangan kepada Barat. Menjelang ulang tahun kedua perang (Ukraina), dia kembali menguji tekad Barat," kata Gould-Davies.

Kematian Navalny seharusnya menjadi peringatan bagi para anggota Partai Republik Amerika Serikat yang menentang bantuan untuk Ukraina di Kongres, dan juga mendorong sekutu-sekutu NATO di Eropa untuk meningkatkan bantuan mereka kepada Ukraina.

"Pada akhirnya ini tergantung pada pelajaran yang diambil Barat," katanya.

Namun kematian Navalny tampaknya tidak menggerakkan ketua DPR Amerika Serikat pada hari Jumat, yang berkomitmen dengan paket bantuan $61 miliar atau sekitar Rp 959 triliun yang diusulkan untuk Ukraina, yang dianggap penting bagi kemenangan Ukraina.

Sementara itu, Putin, pemimpin Rusia yang paling lama berkuasa sejak diktator Soviet Josef Stalin, melaju kencang menuju enam tahun kekuasaan berikutnya dalam sebuah kampanye yang melibatkan tiga saingan utama yang dicalonkan oleh partai-partai yang bersahabat dengan Kremlin. 

Boris Nadezhdin, seorang politisi liberal yang menjadikan mengakhiri perang di Ukraina sebagai slogan utama kampanyenya, dilarang mencalonkan diri oleh para pejabat pemilu.

Gould-Davies mengatakan, meski ada sedikit keraguan bahwa Putin akan menang dalam pemilu, kematian pria tersebut masih menunjukkan betapa dia melihat Navalny sebagai ancaman.

"Cara Kremlin melakukan kampanye pemilu sejauh ini menunjukkan bahwa mereka tidak percaya diri. Bahkan dari penjara pun, Navalny berhasil menyuarakan pendapatnya," katanya Gould-Davies.

Kematian Navalny hanya beberapa minggu sebelum pemilihan presiden pada 15-17 Maret, yang mungkin menandai tindakan terakhir dari pembongkaran dan penghancuran segala kemiripan oposisi terorganisir Rusia menjelang pemungutan suara.

"Meski yakin akan kemenangannya bulan depan, Putin masih khawatir akan campur tangan Barat dalam pemilu, dan memandang Navalny sebagai musuh yang dimanipulasi oleh Barat untuk merongrong kepentingan nasional serta negara," ujar Tatiana Stanovaya, seorang peneliti senior di Carnegie Russia Eurasia Center.

"Dia dengan tulus percaya bahwa Barat akan menggunakan momen ini untuk merusak stabilitas dan menimbulkan kerusakan politik pada kampanyenya," tulisnya dalam sebuah komentar. 

"Hal itu akan mendorongnya untuk mengambil pendekatan yang lebih hawkish (agresif terhadap mangsa), dan lebih represif terhadap manifestasi permusuhan apa pun, yang mungkin dikaitkan dengan upaya eksternal untuk ikut campur. Hal ini secara khusus dapat menciptakan pendekatan yang lebih ketat terhadap media dan jejaring sosial."

Dikutip dari Korea Herald, Navalny yang meninggal pada usia 47 tahun, muncul sebagai ancaman besar lebih dari satu dekade yang lalu. 

Navalny memainkan peran penting dalam menggalang protes besar-besaran terhadap pemerintahan Putin di Moskow pada 2011 sampai 2012, dan menjalankan kampanye yang sukses untuk mengekspos korupsi pemerintah.

Editor: Nicolaus Ade

Tag:  #kematian #musuh #kremlin #alexei #navalny #memicu #kemarahan #barat

KOMENTAR