WHO Dinilai Lamban Adopsi Strategi Pengurangan Risiko Tembakau, Pakar Soroti Tantangan Kebijakan Global
Ilustrasi perdebatan mana yang lebih berbahaya, rokok konvensional atau rokok elektrik, tidak ada habisnya. (American Heart Association)
22:35
5 November 2025

WHO Dinilai Lamban Adopsi Strategi Pengurangan Risiko Tembakau, Pakar Soroti Tantangan Kebijakan Global

-Mantan Direktur Penelitian Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Prof Tikki Pangestu menyoroti lambatnya adopsi strategi Tobacco Harm Reduction (THR) di berbagai negara. Semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan potensi manfaat produk tembakau alternatif bagi perokok dewasa.

Berbicara dalam International Military Medicine Symposium & Workshop (IMEDIC) 2025, Prof Tikki menilai inovasi seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menekan epidemi merokok global. Namun, dia menyebut, adopsinya justru terhambat kebijakan yang masih konservatif.

“Mengapa produk-produk inovatif ini belum digunakan secara luas sebagai strategi pengurangan bahaya yang bisa membantu mengakhiri epidemi merokok? Ini masih menjadi tantangan besar bagi banyak negara,” ujar Prof. Tikki dalam sesi bertajuk Strengthening Health Resilience in the Era of Global Challenges di Jakarta.

Prof Tikki mengidentifikasi lima faktor utama yang memperlambat implementasi kebijakan pengurangan risiko tembakau di berbagai negara. Pertama, sikap WHO yang cenderung menolak strategi THR menjadi hambatan terbesar. WHO sering diikuti banyak negara, terutama negara berpenghasilan menengah ke bawah.

“Jika WHO menolak, negara-negara lain akan mengikuti. Akibatnya, banyak pemerintah tidak dapat menilai manfaat produk tembakau alternatif secara objektif,” kata Tikki Pangestu.

Kedua, regulasi yang tidak proporsional dan terfragmentasi juga dinilai mempersempit akses masyarakat terhadap produk tembakau alternatif. Ketiga, misinformasi publik turut memperkeruh situasi. Banyak narasi keliru yang menyamakan risiko produk tembakau alternatif dengan rokok konvensional, padahal riset menunjukkan tingkat risikonya bisa mencapai 90 persen lebih rendah.

Hambatan keempat muncul dari ketidakpercayaan terhadap industri tembakau, yang masih dibayangi citra buruk masa lalu. Hal ini membuat niat sebagian pelaku industri untuk beralih ke produk rendah risiko sering dipandang skeptis.

Terakhir, Prof Tikki menyebut, pergeseran fokus kebijakan dari membantu perokok dewasa menuju isu nikotin dan generasi muda, justru melemahkan tujuan utama THR.

“Pengguna vape dewasa 15 kali lebih banyak dibandingkan anak muda. Jadi mengapa fokusnya justru beralih ke kelompok minoritas ini? Bukti sangat sedikit yang menunjukkan mereka berakhir menjadi perokok,” ujar Tikki Pangestu.

Menurut Prof Tikki, pendekatan kebijakan yang menolak THR justru menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Salah satunya adalah tumbuhnya pasar gelap produk tembakau alternatif, seperti yang terjadi di Australia.

“Ketika Anda melarang sesuatu, pasar gelap, penyelundupan, dan bahkan kekerasan dalam penjualan akan muncul,” tegas Tikki Pangestu.

Untuk mengatasi hambatan tersebut, Prof Tikki menekankan perlunya kepemimpinan politik yang kuat, dialog terbuka, dan kolaborasi lintas sektor dalam merumuskan kebijakan kesehatan berbasis bukti ilmiah.

Pertama, negara-negara perlu mendorong WHO agar membuka ruang diskusi yang lebih inklusif terkait nilai dan potensi produk tembakau alternatif. Kedua, dukungan lintas pemangku kepentingan, mulai dari konsumen, akademisi, investor, hingga asosiasi profesi dan lembaga kesehatan, harus dimobilisasi untuk memperkuat advokasi kebijakan yang seimbang.

Ketiga, menurut dia, dibutuhkan kemitraan jangka panjang antara sektor publik, akademisi, dan industri, dengan contoh positif dari Inggris melalui program Switch to Stop, yang menyediakan produk alternatif bagi satu juta perokok sebagai bagian dari strategi kesehatan nasional.

“Kepemimpinan politik sangat penting. Inggris telah menunjukkan bukti kuat bahwa program Switch to Stop membantu masyarakat beralih dari rokok ke produk alternatif dengan dampak kesehatan yang nyata,” terang Tikki Pangestu.

Prof Tikki menutup dengan seruan agar perdebatan global soal tembakau beralih dari wacana ideologis menuju solusi berbasis sains, demi mengurangi angka kematian akibat merokok dan meningkatkan kualitas hidup jutaan orang di dunia.

Editor: Latu Ratri Mubyarsah

Tag:  #dinilai #lamban #adopsi #strategi #pengurangan #risiko #tembakau #pakar #soroti #tantangan #kebijakan #global

KOMENTAR