Bukan Cuma Laki-laki, Perempuan dan Anak-anak juga Bisa Alami Hemofilia: Kenali Gejalanya
Ilustrasi Pasien Hemofilia (Dok. Istimewa)
10:56
20 April 2025

Bukan Cuma Laki-laki, Perempuan dan Anak-anak juga Bisa Alami Hemofilia: Kenali Gejalanya

Setiap tanggal 17 April, dunia memperingati Hari Hemofilia Sedunia atau World Hemophilia Day (WHD) sebagai momen penting untuk meningkatkan kesadaran akan hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya.

Tahun ini, tema yang diangkat adalah “Access for All: Women and Girls Bleed Too”, yang menyoroti pentingnya akses diagnosis dan pengobatan yang setara, terutama bagi perempuan dan anak perempuan yang kerap kali terabaikan dalam konteks ini.

Di Indonesia, peringatan ini diwarnai oleh kolaborasi antara Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) dan PT Takeda Indonesia. Tujuannya adalah mengajak masyarakat untuk mengenal lebih dalam tentang hemofilia dan pentingnya deteksi dini serta tatalaksana yang tepat.

Hemofilia Bukan Hanya Penyakit Laki-Laki Selama ini, hemofilia sering kali diasosiasikan sebagai penyakit yang hanya menyerang laki-laki karena diturunkan melalui kromosom X. Namun, studi terkini membuktikan bahwa perempuan juga bisa menunjukkan gejala hemofilia atau gangguan perdarahan lainnya.

Sayangnya, banyak dari mereka hidup bertahun-tahun tanpa diagnosis, bahkan tanpa menyadari bahwa mereka membawa kelainan tersebut. Hemofilia sendiri merupakan kelainan pembekuan darah yang menyebabkan darah sulit membeku.

Ini bisa menyebabkan perdarahan spontan atau perdarahan hebat akibat cedera ringan. Terdapat dua tipe utama, yaitu Hemofilia A (defisiensi faktor VIII) dan Hemofilia B (defisiensi faktor IX). Tingkat keparahan sangat tergantung pada kadar faktor pembekuan dalam tubuh pasien.

Menurut World Federation of Hemophilia, sekitar 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Namun di Indonesia, angka resmi masih tergolong rendah. Dari estimasi 28.000 penderita, baru 11% yang teridentifikasi atau sekitar 3.658 orang.

Tantangan Besar: Diagnosa dan Akses Pengobatan Ketua HMHI, dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), mengungkapkan bahwa banyak kasus hemofilia baru terdeteksi setelah pasien mengalami perdarahan berat. Kondisi ini berisiko menyebabkan komplikasi serius seperti disabilitas hingga kematian.

Salah satu tantangan utama dalam penanganan hemofilia adalah terbatasnya fasilitas diagnosis dan akses terhadap terapi di berbagai wilayah Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi IDAI pada 2022 menunjukkan bahwa prevalensi inhibitor terhadap terapi faktor VIII mencapai 9,6% pada anak dengan hemofilia A.

Ini berarti, sebagian pasien mengalami hambatan pengobatan karena tubuh mereka membentuk antibodi yang menolak terapi tersebut.

Kisah Nyata dari Para Pejuang Gangguan Perdarahan HK, seorang pasien hemofilia yang telah berjuang selama lebih dari 34 tahun, mengungkapkan pentingnya edukasi serta pemerataan akses pengobatan.

“Saya berharap, obat konsentrat faktor pembekuan dapat terus ditanggung oleh BPJS. Obat ini menyelamatkan nyawa dan mencegah infeksi melalui transfusi darah,” katanya.

Sementara itu, SRS, seorang remaja 17 tahun yang hidup dengan Von Willebrand Disease (VWD)—gangguan perdarahan turunan lainnya—berbagi kisah tentang sulitnya proses diagnosis.

Gejala ringan seperti lebam dan perdarahan di gusi awalnya dianggap sepele. Ia baru mendapatkan penanganan yang tepat setelah bertahun-tahun dan melalui serangkaian prosedur medis yang panjang.

Sebagai bagian dari upaya memperluas jangkauan informasi dan layanan, HMHI meluncurkan situs resmi dengan tampilan baru yang lebih interaktif dan informatif.

Melalui situs ini, pasien dapat mengakses edukasi kesehatan, cerita inspiratif sesama penyandang, hingga fitur “Teman Hemofilia” untuk saling terhubung dan berbagi dukungan.

Shinta Caroline, Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, menegaskan komitmen perusahaan dalam mendukung pasien dan keluarga.

“Kami ingin menjadi mitra jangka panjang dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Kesadaran adalah kunci. Semakin dini gangguan ini dikenali, semakin besar peluang pasien untuk mendapatkan pengobatan yang tepat,” katanya.

Menuju Masa Depan yang Lebih Setara Hari Hemofilia Sedunia bukan sekadar momen refleksi, tapi juga panggilan untuk bertindak. Diperlukan sinergi antara pemerintah, tenaga kesehatan, industri farmasi, serta masyarakat untuk menjamin akses yang setara bagi seluruh penyandang gangguan perdarahan, baik pria maupun wanita, anak-anak maupun orang dewasa.

Dengan meningkatnya kesadaran dan edukasi, kita berharap ke depannya tidak ada lagi anak yang kehilangan masa kecilnya karena pendarahan yang tidak tertangani. Tidak ada lagi perempuan yang merasa sendirian menghadapi gejala yang selama ini dianggap bukan bagian dari hemofilia.

Sebab setiap tetes darah yang keluar tanpa alasan, adalah alasan kuat untuk peduli.

Buatlah 5 judul menarik dari bahan di atasSetiap tanggal 17 April, dunia memperingati Hari Hemofilia Sedunia atau World Hemophilia Day (WHD) sebagai momen penting untuk meningkatkan kesadaran akan hemofilia dan gangguan perdarahan lainnya. 

Tahun ini, tema yang diangkat adalah “Access for All: Women and Girls Bleed Too”, yang menyoroti pentingnya akses diagnosis dan pengobatan yang setara, terutama bagi perempuan dan anak perempuan yang kerap kali terabaikan dalam konteks ini.

Di Indonesia, peringatan ini diwarnai oleh kolaborasi antara Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) dan PT Takeda Indonesia. Tujuannya adalah mengajak masyarakat untuk mengenal lebih dalam tentang hemofilia dan pentingnya deteksi dini serta tatalaksana yang tepat.

Hemofilia Bukan Hanya Penyakit Laki-Laki

Selama ini, hemofilia sering kali diasosiasikan sebagai penyakit yang hanya menyerang laki-laki karena diturunkan melalui kromosom X. Namun, studi terkini membuktikan bahwa perempuan juga bisa menunjukkan gejala hemofilia atau gangguan perdarahan lainnya. 

Sayangnya, banyak dari mereka hidup bertahun-tahun tanpa diagnosis, bahkan tanpa menyadari bahwa mereka membawa kelainan tersebut. Hemofilia sendiri merupakan kelainan pembekuan darah yang menyebabkan darah sulit membeku. 

Ini bisa menyebabkan perdarahan spontan atau perdarahan hebat akibat cedera ringan. Terdapat dua tipe utama, yaitu Hemofilia A (defisiensi faktor VIII) dan Hemofilia B (defisiensi faktor IX). Tingkat keparahan sangat tergantung pada kadar faktor pembekuan dalam tubuh pasien.

Menurut World Federation of Hemophilia, sekitar 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami hemofilia. Namun di Indonesia, angka resmi masih tergolong rendah. Dari estimasi 28.000 penderita, baru 11% yang teridentifikasi atau sekitar 3.658 orang.

Tantangan Besar: Diagnosa dan Akses Pengobatan

Ketua HMHI, dr. Novie Amelia Chozie, SpA(K), mengungkapkan bahwa banyak kasus hemofilia baru terdeteksi setelah pasien mengalami perdarahan berat. Kondisi ini berisiko menyebabkan komplikasi serius seperti disabilitas hingga kematian. 

Salah satu tantangan utama dalam penanganan hemofilia adalah terbatasnya fasilitas diagnosis dan akses terhadap terapi di berbagai wilayah Indonesia.

Penelitian yang dilakukan oleh Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi IDAI pada 2022 menunjukkan bahwa prevalensi inhibitor terhadap terapi faktor VIII mencapai 9,6% pada anak dengan hemofilia A. 

Ini berarti, sebagian pasien mengalami hambatan pengobatan karena tubuh mereka membentuk antibodi yang menolak terapi tersebut.

Kisah Nyata dari Para Pejuang Gangguan Perdarahan

HK, seorang pasien hemofilia yang telah berjuang selama lebih dari 34 tahun, mengungkapkan pentingnya edukasi serta pemerataan akses pengobatan.

“Saya berharap, obat konsentrat faktor pembekuan dapat terus ditanggung oleh BPJS. Obat ini menyelamatkan nyawa dan mencegah infeksi melalui transfusi darah,” katanya.

Sementara itu, SRS, seorang remaja 17 tahun yang hidup dengan Von Willebrand Disease (VWD)—gangguan perdarahan turunan lainnya—berbagi kisah tentang sulitnya proses diagnosis. 

Gejala ringan seperti lebam dan perdarahan di gusi awalnya dianggap sepele. Ia baru mendapatkan penanganan yang tepat setelah bertahun-tahun dan melalui serangkaian prosedur medis yang panjang.

Sebagai bagian dari upaya memperluas jangkauan informasi dan layanan, HMHI meluncurkan situs resmi dengan tampilan baru yang lebih interaktif dan informatif. 

Melalui situs ini, pasien dapat mengakses edukasi kesehatan, cerita inspiratif sesama penyandang, hingga fitur “Teman Hemofilia” untuk saling terhubung dan berbagi dukungan.

Shinta Caroline, Head of Oncology & Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia, menegaskan komitmen perusahaan dalam mendukung pasien dan keluarga. 

“Kami ingin menjadi mitra jangka panjang dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Kesadaran adalah kunci. Semakin dini gangguan ini dikenali, semakin besar peluang pasien untuk mendapatkan pengobatan yang tepat,” katanya.

Editor: Dinda Rachmawati

Tag:  #bukan #cuma #laki #laki #perempuan #anak #anak #juga #bisa #alami #hemofilia #kenali #gejalanya

KOMENTAR