



Waspadai Tuli Akibat Headset, Ancaman Nyata yang Sering Diabaikan
Penggunaan headset atau earphone secara berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pendengaran permanen.
Risiko ini sering kali tak disadari karena gejala awal seperti berdenging tidak langsung mengganggu komunikasi. Namun, dampaknya bisa menurunkan kualitas hidup secara signifikan.
Hal ini diungkapkan oleh Dr. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL(K), dalam seminar daring Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Kamis (12/6/2025).
Ia menjelaskan bahwa gangguan akibat suara bising dari perangkat pribadi (personal listening device) kini menjadi ancaman nyata, khususnya bagi generasi muda.
“Kita jarang sadar karena awalnya hanya terasa berdenging atau ‘kemeng’, tapi lama-lama kemampuan membedakan suara bisa hilang,” ujarnya dalam paparan yang disampaikan secara daring.
Risiko yang diabaikan karena terasa menyenangkan
Berbeda dengan suara bising di tempat kerja yang cenderung dihindari, suara dari musik atau konten hiburan justru dicari.
Inilah yang membuat risiko kehilangan pendengaran dari perangkat audio pribadi makin tinggi.
“Yang berbahaya justru suara yang kita senangi. Otak kita tidak mengaktifkan sistem perlindungan karena dianggap menyenangkan,” ujar Fikri.
Ia mencontohkan kebiasaan belajar sambil mendengarkan musik semalaman sebagai salah satu kebiasaan berisiko tinggi.
“Itu yang paling bahaya. Musik masih menyala sampai pagi dan telinga terus terpapar,” tambahnya.
Paparan suara keras merusak sel rambut dalam di telinga dan ujung-ujung saraf yang bertugas mengirimkan sinyal suara ke otak.
Jika saraf ini rusak, kemampuan membedakan suara—terutama di lingkungan bising—menjadi terganggu.
“Gejala awal bisa berupa berdenging, rasa penuh di telinga, atau kesulitan memahami percakapan di tempat ramai,” jelas Fikri.
Ia menekankan pentingnya aturan “60-60”: mendengarkan dengan volume tidak lebih dari 60 persen dan durasi maksimal 60 menit per hari.
Jika volume sudah berada di area merah pada pengaturan perangkat, tandanya risiko sudah tinggi.
“Itu ambang bahaya,” ujarnya.
Alat mahal belum tentu lebih aman
Memilih jenis perangkat juga penting. Model over-ear dengan fitur active noise cancellation (ANC) direkomendasikan untuk lingkungan ramai karena mengurangi kebutuhan menaikkan volume. Namun, penggunaan sembarangan tetap berisiko.
“Semahal apa pun perangkatnya, kalau volume dinaikkan terus, tetap bisa merusak pendengaran,” tegas Fikri.
Earbuds yang masuk langsung ke liang telinga berisiko menyebabkan iritasi dan infeksi jika tidak dijaga kebersihannya.
Selain itu, tekanan pada telinga meningkatkan produksi serumen (kotoran telinga) yang dapat memicu rasa gatal dan nyeri.
Pemeriksaan rutin dan deteksi dini
Pemeriksaan pendengaran secara berkala direkomendasikan, terutama bagi mereka yang memenuhi dua dari tiga kriteria berikut:
- Menggunakan headset lebih dari 4 jam per hari
- Volume melebihi 80 persen
- Mengalami nyeri atau berdenging setelah penggunaan
Pemeriksaan bisa mencakup audiometri dasar dan tes “speech in noise” untuk mendeteksi kerusakan tersembunyi. Pemeriksaan ini dapat diakses melalui BPJS dengan rujukan yang sesuai.
“Tuli akibat bising adalah kecacatan yang tidak terlihat. Hanya Anda sendiri yang tahu seberapa parahnya,” kata Fikri.
Paparan bising dari perangkat pribadi menjadi salah satu penyebab tuli yang kini mendapat perhatian serius dalam dunia medis.
Dampaknya tidak hanya pada aspek fisik, tetapi juga mental, sosial, dan performa akademik.
Untuk mencegahnya, diperlukan kesadaran kolektif. Terapkan aturan 60-60, pilih perangkat yang sesuai, beri jeda istirahat tiap 1 jam pemakaian, serta periksa pendengaran secara berkala.
“Jaga pendengaran sebelum dia hilang dan tidak bisa diperbaiki,” pesan Fikri menutup sesi seminar daring.
Tag: #waspadai #tuli #akibat #headset #ancaman #nyata #yang #sering #diabaikan